Tak terasa, 30 tahun telah berlalu sejak Marty McFly pertama kali menjelajah waktu menggunakan DeLorean dalam film Back to the Future. Ia pertama dirilis pada 1985 dan kemudian sukses menghasilkan dua sekuel, masing-masing dirilis pada 1989 dan 1990. Melalui trilogi ini, para penonton diajak bermain-main menembus pelbagai dimensi waktu, dari era koboi pada 1885 hingga era mobil terbang pada 2015.
Sebentar. Mobil terbang pada 2015?
Dalam film kedua, Marty memang mesti singgah ke masa depan, tepatnya 21 Oktober 2015, untuk menghindarkan anaknya dari usaha perampokan Hill Valley Payroll Substation. Marty datang dari 1985. Karena itu wajar bila ia begitu terkesima melihat dunia telah berubah jadi begitu canggih dalam kurun tiga dekade. Pertanyaannya, seberapa akurat penggambaran dunia pada 2015 dalam film tersebut dengan kenyataan yang ada kini?
Sedari awal, sutradara Robert Zemeckis telah mengutarakan kekhawatirannya akan risiko menciptakan dunia yang sama sekali berbeda dengan kenyataan yang akan datang. Setelah berembuk dengan sang penulis naskah, Bob Gale, barulah mereka mencapai kata sepakat. Pada prinsipnya, mereka bermaksud menggambarkan dunia masa depan yang baik untuk dihuni manusia, dunia yang ideal nan optimis.

Selama ini, para filsuf kerap membagi prediksi dunia masa depan ke dalam dua kategori besar: utopia dan distopia. Plato sempat membahas konsep dunia utopia dalam Republic (380 SM). Ia menyebutnya sebagai kallipolis (negara/kota yang elok) yang dipimpin oleh filsuf-raja setelah melalui masa pendidikan keras selama 50 tahun. Diharapkan, kebijaksanaan tinggi sang filsuf dapat mengentaskan kemiskinan melalui distribusi sumber daya yang merata. Penegakan hukum pun berjalan dengan baik, sampai-sampai tidak ada tempat untuk para yuris seperti pengacara, konselor, ataupun hakim.
Pada 1516, Thomas More juga sempat menerbitkan buku berjudul Utopia yang membahas kehidupan masyarakat ideal di pulau imajiner di Samudra Atlantik. Dibandingkan dengan masyarakat negara-negara Eropa yang gemar bertengkar dan berselisih paham, More menganggap kehidupan masyarakat Utopia begitu adil dan teratur. Di sana, hukum begitu sederhana hingga yuris pun (lagi-lagi) tak ada. Pria dan wanita mendapat pendidikan setara, kepemilikan swasta diganti dengan gaya komunal, serta toleransi beragamanya tinggi.
Di sisi lain, beberapa kritik menyebutkan dua konsep utopia tersebut adalah perlambang rezim totaliter atau masyarakat komunis ekstrem. Bahkan, filsuf Karl Popper sempat menunjuk Plato sebagai kambing hitam atas meningkatnya totaliterisme di abad ke-20 yang mencuatkan tokoh-tokoh seperti Joseph Stalin dan Adolf Hitler. Namun tak pelak, konsep utopia secara umum dipahami sebagai sebuah sistem sosial politik tanpa cela yang membentuk kehidupan masyarakat nan ideal.
Dalam film Back to the Future Part II, ciri-ciri dunia utopia terlihat dalam beberapa adegan, terutama dari sisi penegakan hukum. Saat baru tiba di masa depan, 21 Oktober 2015, Doc Brown menunjukkan halaman depan koran USA Today kepada Marty. Di sana, terdapat artikel yang membahas penangkapan anak Marty. “Dalam dua jam setelah penangkapannya, Marty McFly Jr. telah dituntut, dinyatakan bersalah, dan dihukum 15 tahun penjara di lembaga pemasyarakatan negara.”
Dr. Emmett Brown pun menjelaskan, sistem hukum di masa itu telah bekerja dengan sangat cepat sehingga dalam dua jam saja anak Marty langsung mendapat hukuman penjara. Para pekerja hukum seperti pengacara dan hakim juga telah disingkirkan sebagai konsekuensi berjalannya model sistem ini.

Lain halnya kala Marty dewasa – yang memang hidup di era 2015 – menerima panggilan video dari rekan kerjanya, Douglas J. Needles. Marty terpancing menerima tawaran bisnis ilegal karena tak terima disebut pengecut. Tak lama, bos Marty asal Jepang, Ito Fujitsu, segera muncul di layar besar. Ternyata, selama ini Marty terus diawasi. Alhasil, ia segera dipecat karena ketahuan berbuat curang bersama Needles.
Sementara itu, sisi distopia muncul kala Marty dan Doc Brown kembali ke 1985 setelah menuntaskan pekerjaan di 2015. Ternyata, mereka justru menemui dunia berbeda dari yang mereka kenal selama ini. Biff Tannen tua dari 2015 telah mencuri almanak olahraga yang sempat dibeli Marty di sana, lalu memberikannya pada diri sendiri di 1955 dengan menggunakan DeLorean. Biff muda pun sukses besar, bertaruh di segala bidang olahraga mengacu pada hasil yang tertera di almanak dari masa depan tersebut. Dari sana, muncullah realita alternatif di 1985, tempat segalanya berjalan suram dengan Biff jadi tokoh utamanya.
Secara umum, distopia adalah segala hal yang berseberangan dengan utopia. Dalam banyak kasus, ia kerap digambarkan sebagai hasil atas usaha gagal manusia menciptakan kondisi masyarakat ideal. Misalnya dalam novel Time Machine (1895) karya H.G. Wells. Di sana diceritakan tentang perjalanan seorang pria ke masa depan. Lantas, ia melihat masyarakat telah terbagi dua: manusia kelas atas dan Morlocks. Karena terlalu lama tenggelam dalam damai, manusia justru jadi kian tak terpelajar dan tak peka. Sementara itu Morlocks jadi semakin agresif dan kejam.
Setelahnya, dunia distopia juga muncul dalam novel Brave New World (1932) karya Aldous Huxley dan Nineteen Eighty-Four (1949) karya George Orwell. Dalam dua novel tersebut, proses dehumanisasi dan gaya pemerintahan totaliter yang kerap menindas rakyat digambarkan lebih ekstrem. Huxley dan Orwell tumbuh besar dan hidup di masa Perang Dunia I dan II. Hal ini diyakini memengaruhi perspektif mereka dan banyak penulis lain di zaman tersebut untuk menggambarkan dunia masa depan yang gelap dan penuh sengsara.
Saat berada di Museum Biff Tannen di dunia 1985 alternatif, Marty menyaksikan sejarah singkat kesuksesan Biff melalui sebuah tayangan televisi. Dari sana diketahui, Biff berhasil melegalkan judi dan merombak gedung pengadilan di Hill Valley jadi hotel kasino raksasa pada 1979. Sebelumnya, Marty juga melihat kawasan rumahnya telah jadi begitu kumuh. Bahkan kepala sekolah Marty di SMA Hill Valley, Gerald Strickland, sempat beradu tembakan dengan para begundal jalanan. Belum lagi dengan fakta bahwa ayah Marty telah dibunuh dan ibunya terpaksa menikahi Biff. Dunia itu jadi begitu kacau dan minim harapan.

Untuk memperbaiki segala “kerusakan” yang ada, Marty dan Doc Brown kembali ke 1955 untuk merebut almanak yang ada di tangan Biff muda. Setelahnya, sejarah ideal pun dapat mereka kembalikan.
Kisah ini terus berlanjut hingga Back to the Future Part III saat Doc Brown menjalin kasih dengan seorang guru sekolah bernama Clara Clayton dan menciptakan mesin waktu berbentuk kereta terbang pada masa 1885.
Pengetahuan untuk menciptakan kendaraan terbang tentu didapat Doc Brown kala singgah ke masa serba canggih di 2015. Di sana, segalanya memang terlihat futuristis. Penggambarannya bahkan seakan kelewat optimis. Selain mobil terbang, kita juga bisa melihat skateboard terbang, tali sepatu yang dapat mengikat sendiri, robot untuk mengajak anjing jalan-jalan, atau bahkan alat rehidrasi untuk memperbesar ukuran pizza. Selain skateboard terbang, alat-alat lainnya kini masih terjebak dalam ranah fiksi.
Namun, itulah risiko penggambaran dunia utopia. Secara etimologis, ia berasal dari bahasa Yunani “eu-topos” yang berarti tempat yang baik. Walau begitu, pengucapannya juga sama dengan “ou-topos” yang bermakna tak bertempat. Alhasil, utopia adalah tempat ideal yang tak nyata, yang cuma ada dalam sudut khayal kita.