Anne Avantie: Refleksi 25 Tahun Berkarya

Anne Avantie.

“Orang yang memakai karya saya tidak membeli sebuah kain yang kemudian dijahit, tapi mereka membawa brand yang dibanggakan.”

Itulah pandangan desainer Anne Avantie (49) soal hasil karyanya sendiri selama ini. Sebuah karya yang tidak melulu menonjolkan keindahan fisik, tapi membawa berbagai elemen kehidupan yang diharapkan dapat memberi inspirasi bagi sesama.

Anne sendiri menganggap bahwa dunia fashion yang membesarkan namanya tersebut bukanlah akhir yang dituju dari sebuah perjalanan, melainkan hanya sejumput bagian dari proses kehidupan. Apalagi sejak sang Ibu divonis mengidap kanker serviks pada 1996 lampau, Anne betul-betul merasa terpanggil untuk membantu sesama yang dianggapnya kurang mampu dan butuh uluran tangan.

Berbagai masalah yang datang dalam hidup Anne selama ini justru dianggap sebagai titik awal perjalanan kariernya untuk jadi lebih baik lagi ke depan. Sebuah introspeksi yang membawa inspirasi dan inovasi pada setiap karyanya selama 25 tahun berkecimpung di dunia fashion.

“Saya lahir dari keluarga yang kurang beruntung, kemudian saya mengalami keterpurukan dalam rumah tangga orangtua, saya pun gagal dalam berumah tangga, terpuruk setengah mati saat membangun image Anne Avantie, itu sebuah perjalanan panjang yang berdarah-darah. Justru segala kekurangan itu saya gunakan sebagai alat, bahwa ketika saya merasa kurang itu saya mengayuh sepeda kencang sekali,” tutur Anne.

“Kalau bicara soal trofi juara, itu kan cuma ada tiga: emas, perak dan perunggu. Tapi bagaimana saya menggunakan semua kesempatan yang ada dengan saya anggap bahwa semuanya adalah kesempatan emas.”

Rangkuman karier Anne yang mencakup jatuh-bangun hidupnya selama ini akhirnya menjadi tema utama pagelarannya yang akan berlangsung pada 3 September 2014 mendatang. Dengan mengusung “25 Tahun Anne Avantie Berkarya Merenda Kasih”, Anne akan mengusung tema yang lebih kaya dari sebelumnya.

“2014 ini adalah refleksi 25 tahun saya berkarya. Saya akan masukkan unsur tari, unsur pesta, unsur pernikahan, dan lainnya yang akan membuat karya saya lebih kaya dan beragam. Kenapa merenda? Karena saya ingin menjadi benang yang menjahit, bukan gunting yang memisahkan,” ujar perempuan yang memiliki phobia akan ketinggian ini.

Selain itu, tahun ini Anne pun akan memunculkan kembali beberapa inovasi pada karyanya. Bila saat ini sedang booming baju tanpa jahitan di tangan, Anne akan mencoba desain baru tanpa jahitan di samping.

Inspirasi datang kepadanya melalui berbagai hal, salah satunya akar budaya Nusantara yang begitu bervariasi. Oleh karena itulah pada Februari mendatang ia akan mengusung tema “Legong-Serimpi” dalam pagelaran busananya di Indonesia Fashion Week 2014.

“Tema tersebut adalah paduan karakter dari dua daerah berbeda, Jawa dan Bali, yang sebenarnya memiliki kesamaan dan menjadi satu dalam Indonesia. Saya ingin setiap orang merdeka dengan karakter, inspirasi, mimpi dan pemikirannya untuk menjadikan Indonesia maju. Sekecil apapun, saya ingin mengambil peran untuk itu,” ujar Anne kembali.

Saat ini, banyak tokoh publik dan nama-nama besar dari berbagai latar belakang datang ke Anne untuk memesan hasil karyanya, misalkan Agnes Monica, Krisdayanti, Rossa dan juga Regina Idol. Prosedurnya selalu sama, setiap pemesan akan mengatur janji untuk bertemu dengan Anne yang hanya berada di Jakarta pada akhir pekan – hari-hari lain ia habiskan di Semarang. Kemudian, pemesan akan diukur tubuhnya dan berkonsultasi langsung dengan Anne soal desain yang diinginkan.

Syahdan, rancangan akan dikirim ke Semarang untuk dibuat langsung di sana oleh para karyawan Anne yang berjumlah kurang lebih 250 orang. Butuh waktu kira-kira tiga hingga lima bulan untuk penyelesaian sebuah kebaya. Untuk harga sendiri, Anne tidak bisa menyebutkan detailnya karena setiap karya bersifat private order.

Dari awalnya hanya seorang penyewa baju tari dan pembuat kostum panggung, hingga akhirnya Anne telah mencicipi rasanya mendesain sebuah gaun malam, gaun pengantin hingga kebaya bertaraf internasional. Padahal, Anne sendiri hanya sempat menyelesaikan pendidikan tingkat SMP pun tak pernah menimba ilmu di sebuah sekolah fashion. Phobia Anne akan ketinggian juga membuatnya urung pergi ke kota mode dunia macam Paris dan Milan

“Saya dulu sudah lama sekali pernah ikut Kuala Lumpur Exhibition dan tiga tahun lalu sempat ke Singapura untuk cek kesehatan. Namun, selebihnya saya tidak pernah ke mana-mana lagi,” ujar Anne.

Namun, keterbatasan tersebut tidak membuatnya patah semangat dalam menelurkan berbagai inovasi. Bahkan karyanya kerap menjadi trendsetter yang juga menjadi acuan bagi para desainer lainnya.

“Sebetulnya trend itu tidak terjadi hari ini, tapi bagaimana caranya kita menggiring sejak dua atau tiga bulan sebelumnya. Kita akan lihat pangsa pasar, apakah mereka mengapresiasi kita atau tidak. Puji syukur saat ini apa yang saya lakukan selalu bisa menggugah industri,” tutur Anne.

Di sisi lain, pada akhirnya karya Anne kerap diplagiat oleh banyak orang di berbagai pelosok Nusantara. Saat ini, kita bisa melihat desain yang kurang lebih serupa di berbagai tempat, dari kalangan menengah ke bawah hingga menengah ke atas.

“Semuanya energi positif buat saya, karena semua membangun semangat saya. Ketika karya saya dikepung oleh para plagiat dari Sabang sampai Merauke, saya selalu memiliki motivasi bahwa ekor itu tidak pernah berada di depan. Ekor tidak pernah mengancam karena ia berada di belakang,” tegas Anne.

Dengan semangat tinggi, Anne terus berkarya untuk turut berkontribusi mengharumkan nama bangsa. Modal pantang menyerahnya tersebut selalu ia bawa dalam menjalani liku-liku kehidupan sehari-hari.

“Hidup saya itu seperti membawa sebuah lilin yang terus ditiup angin. Saya tidak bisa menghalau angin agar tidak memadamkan lilin saya. Namun, bagaimana caranya agar saya bisa terus menghidupkan lagi dan lagi lilin yang saya bawa itu. Persoalan akan terus ada, semakin besar dan semakin pelik, tapi saya akan terus berjuang untuk menghidupkan lilin saya kembali,” ujar Anne.

Saat ini, sang Ibu telah pulih dari kanker serviks. Anne pun aktif terjun dalam berbagai kegiatan sosial seperti bergabung dalam Kick Andy Foundation dan membuat Wisma Kasih Bunda di Semarang yang banyak menolong para penderita Hydrocephalus. Seluruh karyawannya di Semarang juga awalnya tak memiliki latar belakang fashion sama sekali, hal yang ia lakukan sebagai bentuk penebusan masa lalunya sendiri. Anne juga aktif menjadi penulis rohani dan mengisi acara motivasi di berbagai kesempatan.

Semua ia lakukan dengan tulus karena mengingat bahwa hidup yang ia jalani saat ini hanyalah sebuah proses. Masalah, hanyalah alat yang memotivasinya untuk semakin tajam dalam berkarya dan berbagi pada sesama.

Setelah 25 tahun berkarya, Anne belum lelah menebar inspirasi.

***

Catatan
1. Tulisan ini pertama dimuat di majalah GeoTimes edisi 10 Maret 2014.

Bagikan

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Scroll to Top