Pelukis dan dalang ini gemar mengulik kreativitas dan nalar dalam karyanya.
Beberapa hari terakhir, saya sudah mengatur waktu dengan Aditya Novali untuk melakoni sesi foto. Kami sudah sepakat untuk bertemu pada Jumat, 12 September 2014, tapi masih tak ketemu soal jam. Setelah berkompromi, pukul 4 sore dipilih sebagai waktu ideal. Saya pun lega ada kepastian.
Namun pada hari yang ditentukan, pukul 9 pagi, masuk pesan singkat dari rekan fotografer, Felix Jody.
“Aditya minta dimajuin jadi jam 1,” katanya. Selang 30 menit, “Dimajukan lagi jadi jam 11,” kata Felix.
Ini memang saat-saat yang tak bisa diprediksi dalam kalender acara Aditya. Rabu pekan sebelumnya, kami telah berjumpa untuk sesi wawancara. Esok harinya ia mesti pulang kampung ke Solo dan baru kembali ke Jakarta pada Jumat pagi, tepat pada waktu perjanjian kami yang kedua.
“Minggu pagi saya harus kembali lagi ke Solo, lalu Senin subuh saya ke Yogya untuk acara residensi. Kamis pagi tiga hari kemudian saya kembali ke Solo, malamnya baru ke Jakarta. Jumat, 19 September, siangnya saya langsung terbang ke Roma untuk pameran.”
Pertemuan kedua dengan kami juga dimajukan jadi siang hari karena sorenya ia ingin mengambil visa ke Italia di Kuningan City. Tak ingin ingkar janji pertemuan, Aditya terpaksa mengubah jadwal berulang kali. Ia memang ingin semuanya tertata baik dan teratur.
Aditya memang anomali dunia seni. Tak seperti seniman kebanyakan yang bergaya santai dan terkesan urakan dalam penampilan, ia justru senantiasa berdandan rapi. Rambutnya pendek cepak, berkacamata tipis, bahkan kumis dan janggutnya selalu tercukur bersih tanpa cela. Dalam berkarya, ia juga seperti itu.

“Beberapa orang bilang saya sepertinya punya OCD (Obsessive Compulsive Disorder). Semuanya harus berada sesuai urutan yang benar. Di ruang kerja saya juga begitu. Misal semua rak harus ada namanya satu-satu, ada pembagiannya masing-masing untuk menyimpan apa. Saya freak soal hal itu,” katanya, tertawa.
Itu terjadi bukan hanya sekali-dua kali, dan telah terbentuk sejak lama. Aditya menghabiskan masa kecilnya di Solo. Ia lahir pada 17 November 1978 dan tumbuh besar di sana. Saat menjejak bangku sekolah dasar, ia telah jadi yang tersibuk di lingkungan teman-temannya sendiri.
Ayahnya seorang arsitek, sementara ibunya sibuk bekerja sebagai desainer interior. Kedua orangtuanya juga sempat mendirikan sanggar lukis di Solo. Karena itu, Aditya sudah mulai melukis sejak usia 4 tahun. Orangtua mendukung penuh hobinya hingga Aditya kerap ikut serta dalam berbagai lomba, entah di Yogyakarta atau Jakarta.
Selain melukis, saat SD ia juga kerap bersentuhan dengan dunia wayang. ”Dulu di Solo saya suka melihat pertunjukan wayang tradisional saat acara nikahan, pesta atau pertunjukan lainnya di Taman Sriwedari. Orangtua juga berpikiran terbuka, mereka justru mendorong saya untuk mendalaminya lebih jauh.”
Selama kelas 2 hingga 5 SD, dia merintis karier sebagai dalang cilik. Ia kerap tampil bersama rekan-rekan sepantaran di berbagai acara. Salah satu yang membanggakan adalah kala ia diundang bermain dalam acara pertukaran kebudayaan di Istana Negara.
“Kalau tidak salah waktu itu saya sempat lima kali tampil. Tiga kali di Taman Mini Indonesia Indah, dua kali di Istana Negara. Ditonton langsung sama Pak Harto dan Bu Tien.”
Bahkan, ia sempat menggabungkan dua hal yang disukainya, lukis dan wayang, dalam satu waktu. Saat kelas 5 SD, Aditya sempat mendalang dalam sebuah pameran tunggal lukisan karyanya sendiri.
“Jadi saat SD saya merasa justru lebih sibuk daripada sekarang. Ya, tapi semuanya dibawa senang, anggap seperti bermain-main saja.”

Aktivitas mendalang terpaksa berhenti saat kelas 6 karena Aditya harus fokus mempersiapkan diri jelang evaluasi belajar tahap akhir nasional – kini disebut sebagai ujian nasional. Setelahnya hingga SMA, ia lebih sibuk melukis dan masih sempat mengadakan pameran beberapa kali.
Saat kuliah, Aditya memutuskan masuk Universitas Parahyangan di Bandung pada 1997 dengan mengambil jurusan arsitektur. Saat itu menurutnya seni rupa merupakan sesuatu yang bebas, abstrak. Karena itu ia ingin memperkuat teknik dasar dengan mengambil arsitektur; selain terpengaruh jejak sang ayah juga di sisi lainnya. Ia lulus pada 2002.
“Setelah lulus, saya baru sadar tidak begitu suka jadi arsitek.”
Ia sempat membangun beberapa rumah, mendesain perabotan rumah tangga dan lainnya, tapi bosan. Maka kemudian dunia seni memanggilnya kembali. Pada 2004, ia kembali mengadakan pameran tunggal dengan judul Art Portable, berlokasi di CP Artspace, Jakarta. Selain lukisan, ada pula beragam kerajinan tangan dari kayu, baja maupun aluminium hasil kreasinya.
“Saat itu banyak kritik yang bilang kalau hasil kerajinan tangan saya bukanlah sebuah produk seni. Tapi sekarang saya sudah membuktikan sebaliknya.”
Cara Aditya membuktikan diri adalah dengan terus mengasah diri. Ia banyak membaca, terutama soal seni dan filosofinya. Namun, ia tak punya seniman favorit sebagai panutan.
“Suatu hari teman saya pernah bilang, kalau kamu ingin punya gaya yang orisinal, lebih baik kamu tidak tahu sama sekali, atau kamu mencoba tahu tentang semuanya yang berkaitan dengan seni. Saya memilih untuk jadi yang kedua,” jelas Aditya. “Karena itu saya jadi book freak.”
Selain itu, ia juga sempat melanjutkan kuliah S2 di Design Academy Eindhoven, Belanda, yang fokus pada conceptual design. Ia menimba ilmu di sana pada masa 2006 hingga 2008. Di kampusnya itu, hanya ada 30 orang per angkatan, terkumpul dari berbagai belahan dunia dan beragam latar belakang. Ada antropolog, musisi dan lain sebagainya. Karena itu pikirannya jadi lebih terbuka. Ia semakin yakin bahwa seni adalah medium lintas batas.
Kembali ke Tanah Air, Aditya bertekad kembali bergelut serius di bidang seni. Ia sempat mengikuti beberapa kompetisi lokal dan internasional dengan membawa ide rotatable painting. Jadi, ia membuat sebuah lukisan dengan pembagian beberapa blok besar.
Masing-masing blok itu bisa diputar sendiri oleh pengunjung dan menampilkan pemandangan berbeda di tiap sisinya. Misalnya, sisi pertama menampilkan jendela rumah tanpa penerangan sehingga bernada muram. Di sisi lain, rumah terlihat lebih cerah dan hangat, dan sebagainya.

“Konsepnya begini, setelah lukisan jadi, hak atas lukisan itu tidak lagi ada di kita, tapi ada di audiens. Sehingga mereka bisa membuat lukisannya sendiri sesuai pilihan visual yang diinginkan. Waktu itu saya pakai konsep yang berlawanan, ada sisi yang cantik, ada yang buruk rupa dan sebagainya. Terserah audiens ingin membawanya ke zona nyaman yang mana.”
Setelah mendapat apresiasi positif dari para juri perlombaan itu, Aditya memutuskan mengadakan pameran tunggal dengan konsep serupa berjudul Indoscape: A “Geo-History”. Ia berlokasi di Canna Gallery, Jakarta, pada 2011.
Dari sana, ia mulai membuka jalan untuk berkarya dengan cakupan lebih luas lagi. Apalagi setelah perkenalannya dengan perwakilan dari Primo Marella Gallery yang berbasis di Milan, Italia. Aditya mendapat tawaran untuk melaksanakan pameran tunggal Beyond the Walls di Milan pada 2013 soal rotatable objects.
Banyak pengalaman ia dapat dari sana. Menurutnya, kualitas karya orang Indonesia sesungguhnya tak kalah bila dibandingkan dengan para seniman internasional.
“Kita harus bangga terhadap diri sendiri, jangan minder. Karena, sebenarnya soal kemampuan dan ide kita tidak ada masalah. Warisan budaya kita juga luar biasa.”
Ia sudah menyadari soal itu saat kuliah di Belanda.
“Ketika kita berada di luar berbaur dengan budaya global, kita justru baru menyadari bahwa apa yang kita miliki itu dahsyat sekali. Selama ini kita tidak pernah sadar saja.”

Mengobrol dengan Aditya seru. Ia adalah tipikal narasumber yang tak bisa menerima keheningan. Ketika pembicaraan terhenti, ia yang akan balik bertanya.
“Akhir-akhir ini suka datang ke acara apa, Mas?”
“Sudah makan siang?”
Namun, tak seperti biasanya, ketika sesi foto berlangsung di apartemennya, ia sempat terdiam selama beberapa saat dan justru memancing keheningan pekat. Kala itu fotografer memintanya berlakon sebagai dalang dengan memainkan dua buah wayang mini.
Tak lama, barulah dia berujar, “Saya jadi kepikiran. Sudah lama saya tidak mendalang. Dari wayang-wayang ini, kita bisa bikin apa lagi ya untuk jadi karya seni?”
Idenya memang kerap datang tak terduga. Terkadang, inspirasi justru muncul dari kebuntuannya sendiri. Misalnya pameran teraktual Aditya, Painting Sense, di Roh Projects, Jakarta, pada 12 Juli hingga 16 Agustus lalu.
Sebelumnya, seorang rekan menggoda Aditya untuk kembali melukis lagi; menggambar utuh di atas kanvas, bukan membuat sebuah rotatable painting.
“Tapi saya saat itu tidak kepikiran sama sekali mau melukis apa. Akhirnya dari situ saya balik cara berpikirnya. Saya bertanya lagi, sebenarnya apa sih melukis itu? Lalu saya kepikiran untuk membuat pameran soal alat-alat sekunder dalam proses lukis itu sendiri. Ternyata banyak sisi yang bisa diangkat.”

Misalnya, ia menampilkan kanvas dari berbagai bahan dasar seperti baja, pleksiglas, kayu ataupun batu. Ada juga kanvas berbagai model dan ukuran, kuas yang dimodifikasi bentuknya, berbagai pensil dan lain sebagainya. Menariknya, Aditya bereksperimen membuat lukisan dengan beragam bahan dari ruang kerjanya, entah lem aibon, pewarna kayu, dan bahkan betadine.
“Warna yang dihasilkan sungguh menarik. Misalnya ketika lem putih bertemu dengan pewarna kayu cokelat, hasilnya yang keluar adalah warna biru,” kata Aditya. “Di situ memang saya mencoba jadi medium-based artist. Saya biarkan diri terlarut dalam proses dan melakukan banyak kesalahan yang justru berujung pada karya baru.”
Aditya memang terus berusaha menajamkan diri dan menetapkan standar setinggi mungkin dalam berkarya. Itulah yang membawanya melanglang buana.
Seperti saat ini ia sedang berada di Roma dalam rangka persiapan pameran karya seniman-seniman muda Indonesia. Pembukaan acara akan berlangsung pada 26 September 2014. Acara itu justru terselenggara berkat kerja sama antara sebuah art foundation di Melbourne, Australia, dan kedutaan besar Indonesia untuk Vatikan.

Dari seorang dalang cilik, Aditya tumbuh menjadi seorang arsitek dan lalu berganti haluan jadi seniman tulen. Sebelumnya ia tak pernah menyangka. Namun hatinya tak bisa berbohong.
“Menjadi seniman itu bukan sesuatu yang Anda pilih. Itu adalah sesuatu yang Anda inginkan untuk menjadi. Dulu saya tidak mau jadi seniman, saya mau jadi product designer. Tapi dunia seni terus menarik saya kembali.”
***