Kamis, 24 Januari 2008
Sudah lebih dari dua jam sejak tengah hari. Siang itu, Samidi (80) hendak mengambil air sumur di belakang rumahnya yang terletak di Desa Bleber, Kecamatan Kras, Kabupaten Kediri, Jawa Timur. Naas, niatnya tersebut terhalang oleh sesuatu yang tak pernah ia sangka. Marwiyah, anak perempuannya yang berusia 45 tahun, ia temukan sedang mengambang kaku bersama sang cucu, Santi Novitasari, di atas permukaan air sumur yang berjarak sekitar 2,5 meter dari permukaan tanah.
Gangguan kejiwaan dan faktor ekonomi, diyakini sebagai alasan utama Marwiyah menceburkan diri ke dalam sumur bersama anaknya yang baru berusia tiga tahun. Sang bayi, yang merupakan anak bungsu dari tujuh bersaudara, mungkin tidak dan belum bisa mengerti pilihan tindakan yang diambil ibunya tersebut. Yang pasti, sang ibu telah menangis dalam hati lebih banyak dari yang anaknya tersebut isakkan sejak lahir.
Senin, 14 Januari 2013
Manotar Simorangkir (32) terkejut luar biasa saat sejumlah polisi dan warga menjemputnya dari tempat kerja di sebuah perusahaan galangan di Tanjung Uncang, Batam, pada siang itu. Seketika ia dibawa pulang dan menemukan sang istri, Maritan Manulang (30), telah terbujur kaku akibat menenggak obat anti-serangga dan menggantung diri di ruang tengah rumahnya sendiri di perumahan Puteri Hijau, Sagulung, Batam. Sontak, Manotar pun pingsan. Bahkan, ia tak sempat membaca surat wasiat peninggalan sang istri.
Berikut isi surat Maritan, “Pak, maafkan aku atas langkah yang kuambil ini, aku tak sanggup lagi menanggung penderitaan yang aku buat sendiri tanpa sepengetahuanmu. Aku banyak buat utang. Sekali lagi aku mohon maaf, biarlah kesalahan yang aku lakukan ini kutanggung sendiri. Dan hari ini jatuh tempo pembayaran angsuran rumah, aku tak pegang apa-apa lagi. Kutitip Ika dan Putri, tolong jaga dan besarkan mereka dengan penuh kasih sayang, karena aku tak sanggup lagi menanggung malu ini.”
“Ika, jaga Putri buat mama yah, sayangi adikmu yah, maafkan mama, boru mama aku tak sanggup lagi. Papa, jangan sampai kau biarkan Ika sama Putri menderita sepeninggalku. Kalau kau tak sanggup mengasuh mereka, titipkan mereka sama orang yang kau percayai. Aku sangat sayang sama kalian, tapi aku tak mampu lagi.”
***
Lima tahun telah terlewati, dan nyatanya semua tetap sama. Lima tahun telah terlewati dan seorang ibu kembali ditemukan bunuh diri. Lima tahun telah terlewati, masyarakat Indonesia masih dihantui lingkaran setan bernama kemiskinan.
Angka lima, tidak akan berarti apa-apa bila kemiskinan berhasil dientaskan. Angka lima, tidak akan berarti apa-apa bila seorang ibu tidak sampai sakit jiwanya dan mengajak bayinya sendiri bersama ke liang lahat. Angka lima, tidak akan berarti apa-apa bila seorang ibu tidak putus asa hingga menggunakan dua cara berbeda untuk memastikan dirinya sendiri mati.
Menurut data yang dilansir Badan Pusat Statistik (BPS) pada 2 Januari 2013 lalu, perekonomian tanah air tumbuh hingga 6 persen, sementara kemiskinan hanya berkurang 0,13 persen. Hal ini berarti, pertumbuhan ekonomi yang ada tidak berjalan efektif karena tidak benar-benar dinikmati oleh golongan miskin yang hingga September 2012 lalu masih berjumlah 28,59 juta orang (11,6 persen). Bandingkan, di Cina 1 persen pertumbuhan ekonomi bisa menekan 0,92 persen masyarakat miskin. Sedangkan, 1 persen pertumbuhan di Malaysia bisa menekan 2,99 persen warga miskin dan di Thailand 1 persen pertumbuhan bisa mengentaskan 6,25 persen kemiskinan. Bahkan, masih menurut BPS, kecendrungan kesenjangan antara si kaya dan si miskin yang dihitung lewat Rasio Gini justru melebar.
Goenawan Mohamad pernah mengatakan bahwa orang kecil, pada akhirnya, adalah orang yang terlalu sering kalah. Hal itu karena, orang kecil adalah mereka yang kerap kehabisan pilihan untuk menentukan jalan hidupnya sendiri. Syahdan, apa yang kecil bagi orang lain bisa menjadi begitu besar dan berharga untuk mereka.
Lalu bila pemerintah terkesan tak bisa diandalkan, kepada siapa lagi kita harus meminta pertolongan? Jawabannya: diri sendiri. Seperti ujaran terkenal Bill Gates, “Jika Anda lahir miskin, itu bukan salah Anda, tapi jika Anda mati miskin, itu salah Anda.”
Maka, marilah kita bersyukur untuk segala yang kita miliki saat ini. Hargai apa yang dianggap kecil dan syukuri apa yang dirasa besar yang pernah kita miliki selama ini. Kesempatan untuk bersekolah dengan layak mungkin hal kecil untuk banyak orang di Indonesia, tapi merupakan hal besar untuk lebih banyak orang lainnya di berbagai penjuru tanah air. Kesempatan untuk hidup mungkin hal besar bagi banyak orang, tapi hal kecil bagi lebih banyak orang miskin lainnya di berbagai pelosok nusantara. Karena hidup ideal yang kerap dikeluhkan banyak orang, kerap begitu didambakan dan menjadi alasan kematian bagi lebih banyak orang kecil lainnya, tidak hanya di Indonesia tapi juga dunia.
Tabik, untuk mereka yang selalu bersyukur akan hidup yang dijalaninya saat ini. Salut, untuk mereka yang belajar menghadapi masalah, bukan kabur dari masalah.