Saat masih kuliah jurnalistik dahulu, seorang dosen pernah berujar pada saya, “Di era Orde Baru, wartawan hanya bisa memberitakan delapan dari 10 fakta, tapi semuanya tepat. Kini, wartawan bisa memberitakan 12 dari 10 fakta, dan kita tak tahu mana yang benar.”
Bagi sebagian orang, mungkin kata-kata dosen saya itu terlampaui menggeneralisasi persoalan atau bahkan bisa dianggap sebagai anti-perkembangan zaman. Namun, tak bisa dimungkiri, apa saja bisa jadi berita di era banjir informasi dewasa ini. Dan, makin sulit bagi kita untuk tidak skeptis melihat begitu mudahnya sebuah media daring menerbitkan berita-berita dengan judul bombastis yang sama sekali tidak nyambung dengan isi, kemudian menghapusnya selang beberapa jam setelah mendapat badai protes dari warganet.
Untuk itu, mungkin kita perlu tahu bagaimana para wartawan, terutama yang bekerja di media-media arus utama, memproduksi berita dalam kesehariannya.
Saat menghadiri sebuah acara yang menghadirkan banyak narasumber penting sekaligus, banyak wartawan memutuskan untuk bekerja sama dengan membuat “lapak”. Caranya mudah, seorang wartawan tinggal mengirimkan surel ke seluruh rekan yang menghadiri acara tersebut. Kemudian, wartawan itu atau rekan-rekan lainnya tinggal memilih opsi “reply all” dan mengirimkan hasil “tikpet” atau “ketik cepet” omongan narasumber, transkrip wawancara, keterangan pers atau soft copy materi presentasi narasumber ke sana.
Masalahnya, tak jarang wartawan salah menuliskan angka atau kutipan narasumber dalam hasil tikpet atau transkripnya, entah karena buru-buru atau kurang memahami isu. Karena itu, seorang pen-tikpet atau pentranskrip ulung dengan tingkat akurasi tinggi niscaya akan disayang oleh rekan-rekannya di lapangan.
Keberadaan lapak jadi begitu krusial karena wartawan kerap dikejar-kejar para redaktur medianya masing-masing untuk mengirimkan berita secepat mungkin. Haram hukumnya untuk “bobol”, terutama dari media saingan utama.
Masalah bobol-membobol bukan hanya soal kecepatan, tapi juga eksklusivitas berita. Karena itu, tak jarang seorang wartawan berupaya keras mengorek informasi penting dari narasumber, apalagi bila wartawan dari media saingannya sedang tak ada di lokasi liputan. Bila narasumber enggan bicara spesifik, kira-kira saja juga boleh. Yang penting, ucapannya mengindikasikan sesuatu yang punya nilai berita tinggi.
Alhasil, narasumber yang terlampau “baik hati” kerap terpancing untuk bicara sesuatu lebih banyak dari seharusnya.
“Saya enggak ingat angkanya.”
“Kira-kira saja, Pak. Sampai Rp 1 miliar enggak?”
“Ya kurang lebih-lah.”
Angka Rp 1 miliar pun segera jadi headline di berbagai media. Media-media yang bobol kebakaran jenggot menyuruh para wartawannya untuk mem-follow up hal tersebut. Narasumber terkait sontak panik, lalu buru-buru mengklarifikasi pernyataan sebelumnya atau bahkan menuntut media-media yang telah memberitakannya.
Sering, ini sering sekali terjadi.
Belum lagi bila wartawan yang bertugas tidak akrab dengan isu yang diliputnya. Misal, minggu-minggu pertama berada di desk ekonomi sering jadi pengalaman menyebalkan bagi seorang wartawan yang sebelumnya lebih banyak bersentuhan dengan isu politik.
Bisa jadi karena mendadak ia harus berkutat dengan setumpuk angka dan istilah-istilah njelimet nan teknis di sektor-sektor tertentu, entah ekonomi makro, perbankan ataupun energi. Padahal, sebelumnya ia telah terbiasa menulis soal manuver-manuver para politisi Tanah Air. Alhasil, jenis judul berita yang dihasilkannya pun berubah dari “Prabowo Bertemu SBY di Cikeas” menjadi “Rupiah Kembali Terdepresiasi”.
Seorang kawan yang bekerja di kantor berita ternama pernah bercerita soal pengalamannya pertama kali meliput ekonomi. Tak paham dengan isu yang dihadapi, ia nekat tetap mengirim berita ke kantor. Berita terbit, dan segera dicomot oleh media-media yang telah berlangganan jasa kantornya. Tak lama, ia baru sadar telah salah menulis angka. Tak ada yang bisa dilakukan untuk memperbaikinya.
“Sejak itu, kalau memang gue enggak ngerti atau ragu dengan sesuatu, mending enggak gue bikin aja beritanya sekalian,” katanya.
Tak hanya itu, bila wartawan telah menulis dan mengirim berita dengan setepat-tepatnya pun, selalu ada risiko saat redaktur di kantor “memoles” berita tersebut menjadi lebih “seksi”, entah di judul ataupun isi. Tujuannya jelas, agar warganet tertarik meng-klik dan menyebarkannya di berbagai media sosial dalam tempo sesingkat-singkatnya.
Setelahnya, mereka yang disebut “pengamat” akan menganalisis berita-berita yang telah terbit tersebut, termasuk berita salah yang menyesatkan pembaca, dan memberikan komentarnya pada wartawan, entah via telepon, pesan singkat atau bahkan acara diskusi yang mereka adakan sendiri. Wartawan pun beramai-ramai mengutip mereka hingga kesalahan yang ada kian berlipat ganda.
Memang, praktik seperti ini tak selalu terjadi setiap saat. Namun, satu yang pasti, di tengah berbagai kepentingan dan agenda setting media dengan ragam afiliasi politik dan bisnis yang berbeda, ingatlah, jangan langsung percaya dengan apa pun yang Anda baca.
Sebisa mungkin, perhatikan tren pemberitaan sebuah media, cek ulang sebuah fakta di dua atau tiga sumber pemberitaan lain, dan tarik napas dalam-dalam sebelum memutuskan untuk membagikan sebuah tautan.