Balada Pendidikan di Papua

Murid-murid di SD Kecil Inpres Kibay, Papua (3/6/14).
Murid-murid di SD Kecil Inpres Kibay, Papua (3/6/14). Andrey Gromico.

Andri Hidayat bingung bukan kepalang. Biasanya anak-anak telah datang di sekolah, tapi kali ini seluruh kelas di SD YPPK Kenandega, Distrik Waris, Kabupaten Keerom, Papua, kosong melompong. Entah murid-murid itu di mana.

Setelah bertanya kepada penduduk sekitar, semuanya jelas. Anak-anak diajak orang tua ke luar kampung, turun ke kota berbelanja beramai-ramai.

“Besoknya terlihat mereka memakai baju, tas, sepatu baru atau bermain dengan sepeda baru,” kata Andri, guru relawan dari Pulau Jawa yang tiba di Waris sejak November 2013.

Budaya konsumtif memang masih lekat dengan gaya hidup masyarakat Papua. Padahal, Papua merupakan daerah termiskin di Indonesia. Pada Agustus 2012 Menteri Badan Perencanaan dan Pembangunan Nasional Armida Alisjahbana mengungkapkan hal itu.

“Tingkat kemiskinan di daerah Papua 31,11 persen. Tingkat kemiskinan nasional saat ini 11,96 persen,” kata Armida. “Di Papua, daerah yang makmur yang lebih dekat ke laut atau pesisir pantai. Di daerah pegunungan, tingkat kemiskinan masih tinggi. Kesejahteraan di sana perlu diratakan dan itulah yang pemerintah upayakan.”

Distrik Waris terletak di daerah pegunungan. Dari wilayah perkotaan di Distrik Arso, harus menempuh jarak lebih dari 100 kilometer untuk mencapai Waris. Ada enam kampung kecil yang berdekatan dalam wilayah Waris, yaitu Ampas, Yuwainda, Kalimo, Kalifam, Banda, dan Pund. SD YPPK Kenandega di Kalifam.

Biaya yang harus dikeluarkan untuk turun ke kota tidak murah. Menurut Andri, biasanya warga menyewa mobil atau naik taksi (sebutan untuk angkot di Papua) dengan biaya lebih dari Rp 100 ribu per kepala.

Inilah yang jadi kendala. Sesungguhnya, berbagai dana bantuan untuk sekolah dan masyarakat rutin turun dari pemerintah. Pada Februari 2014 Kepala Dinas Pendidikan Pemuda dan Olahraga Provinsi Papua Elias Wonda mengatakan, Papua mendapat alokasi dana Bantuan Operasional Sekolah dari pemerintah pusat Rp 345 miliar.

“Dana tersebut akan dibagikan kepada seluruh sekolah yang tersebar di seluruh Papua,” kata Elias pada media lokal Tabloid Jubi. “Dananya sudah lama dikirim dari pusat. Tetapi masih ada administrasi yang harus diselesaikan oleh Gubernur, sebelum ditransfer ke kabupaten/kota.”

Pada Juli 2013 Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Mohammad Nuh datang ke Kabupaten Lanny Jaya untuk menyerahkan Bantuan Siswa Miskin Rp 108 miliar untuk SD, SMP, SMA, dan SMK di Papua.

Khusus untuk Kabupaten Keerom, ada lagi dana tambahan melalui program Bantuan Keuangan Kepada Kampung yang telah berjalan sejak Maret 2011. Melalui program ini, setiap kampung mendapat dana Rp 1 milliar per tahun dengan sasaran 30 persen untuk gaji aparatur dan non-aparatur kampung, serta 70 persen untuk pembangunan.

Namun, seluruh dana itu tak menjamin keberhasilan pembangunan infrastruktur serta pendidikan di kampung, khususnya daerah pedalaman. Di antaranya karena masalah penyelewengan dana serta para guru kontrak dari pemerintah yang kerap lalai menjalankan tugas.

“Guru-guru itu bisa malas karena keuangan sekolah tidak transparan. Ada kepala sekolah yang kerap nakal menyelewengkan dana Bantuan Operasional Sekolah ataupun Bantuan Siswa Miskin. Jadi, guru-guru berpikir, golongan sama tapi kepala sekolah tidak pernah mengajar, enak-enak dapat uang. Buat apa guru capek-capek mengajar kalau begitu?” kata Mohamad Rowi, Sekretaris Dinas Pendidikan dan Pengajaran Kabupaten Keerom.

Ketika tak ada transparansi dana dari pihak sekolah, warga pun sulit memantau langsung. Hal ini terjadi di SD YPPK Kenandega, Waris. Pada 2007 Sergius Fatem, warga asli Waris, diangkat sebagai kepala sekolah. Sejak itu sekolah dikelola dengan sangat tertutup, terutama soal arus keluar-masuk dana.

“Ada beberapa sumber pemasukan dana untuk sekolah, tapi yang rutin adalah BOS dan dana gratis untuk siswa miskin yang tak mampu bayar uang sekolah,” kata Krispinus Bidi, pastor paroki yang menjabat sebagai kepala sekolah sejak 2014. “Dana BOS saja bisa sampai 53 juta per semester. Itulah yang membuat orang bertanya-tanya, dana begitu besar tapi kenapa tak ada perubahan apa-apa di sekolah.”

Pada 2011 Sergius mundur dan menyerahkan jabatan kepala sekolah kepada istrinya, Yustina May. Kondisi tak berbeda. Selama dua periode, Kepala Sekolah SD YPPK Kenandega diduga kuat menyedot dana pendidikan untuk kantong pribadi.

Fasilitas sekolah pun terbengkalai. Kantor guru bahkan berubah jadi gudang. Suasana pun tak kondusif hingga banyak guru keluar. Bila menentang keputusan kepala sekolah, mereka segera didepak dengan berbagai cara.

Kegiatan belajar-mengajar juga berlangsung seadanya. Sekolah berjalan selama tiga hari saja, dari Senin hingga Rabu. Alasannya, anak-anak dianggap malas. Padahal, tiap Kamis Sergius dan Yustina turun ke kota untuk menjalankan usaha lain di sana. Maka, sekolah libur dari Kamis hingga Minggu.

Pada Agustus 2011 tarekat Katolik Ende (Flores) mengirimkan Krispinus untuk mengabdi di Waris selama empat tahun. Tujuannya membina sekolah yayasan yang ada di Waris. Namun, karena sulit melakukan pendekatan pada Sergius, Krispinus mencoba berbicara pada para orang tua dan tokoh masyarakat.

“Saya bilang, kalau memang kita peduli pada sekolah, kita mau hak-hak anak dipenuhi dan sekolah berjalan dengan baik, maka ada sikap yang harus diambil oleh orang tua,” kata Krispinus kala itu.

Seiring berjalannya waktu, tak juga datang perubahan signifikan. Puncaknya terjadi pada Oktober 2013. Kala itu warga merasa muak. Kekesalan yang menumpuk selama ini mendorong mereka bergerak memboikot sekolah.

“Saat itu masyarakat menutup sekolah. Semua dipalang. Kayu-kayu dipakukan ke pintu,” ujar Krispinus. “Mereka mau menyampaikan aspirasi dan menuntut agar dinas, yayasan, serta pihak-pihak di kecamatan duduk bersama dengan orang tua murid. Kepala sekolah dan guru-guru juga dipanggil semua untuk ditanyai, kenapa sekolah dari tahun ke tahun kondisinya semakin parah.”

Pertemuan pun terjadi di gereja setempat antara seluruh pihak terkait. Kondisinya panas. Warga mengeluarkan seluruh unek-unek yang tersimpan selama beberapa tahun terakhir. Tak ada jalan lain, kepala sekolah dituntut segera mundur dari jabatan. Setelah itu barulah SD YPPK Kenandega kembali bernyawa.

Selain itu, menurut Rowi, guru yang bermasalah kerap dipindahkan ke daerah lain tanpa diberikan penataran soal perbaikan kualitas mengajar. Jadi, pemerintah kerap memindahkan masalah, bukan menyelesaikannya.

Orang tua murid juga jarang menempatkan pendidikan sebagai prioritas utama bagi anak-anaknya. Siswa kerap bolos sekolah karena diajak oleh orang tua berburu ke hutan atau mencari nafkah di negeri seberang, Papua Nugini. Beberapa kampung memang terletak di daerah perbatasan sehingga warga bisa dengan mudah keluar-masuk Papua Nugini.

Misalnya Kibay, kampung paling ujung timur wilayah Indonesia yang masuk dalam Distrik Arso Timur, Keerom. Dari sana, berjalan kaki masuk hutan beberapa jam warga bisa mencapai perbatasan Papua Nugini. Pernikahan silang antara warga Papua dan Papua Nugini biasa terjadi di Kibay.

Hal yang sama terjadi di Kampung Sangke, Arso Timur. Kepala Sekolah SD YPK Sion Sangke, Onesmus Suebu, berujar, “Semua tergantung pada faktor ekonomi. Kalau warga sedang hidup berkecukupan, mereka akan lama menetap di kampungnya. Bila tidak, mereka akan mencari nafkah di PNG.”

Masalah lain, daya tangkap siswa untuk menyerap materi pelajaran secara umum tidak sekuat anak-anak di Pulau Jawa. Hal ini dikui Nanang Kristanto dan Haryati, dua guru relawan di SD Kecil Inpres Kibay yang bertugas pada Oktober 2013 hingga Juni 2014.

Untuk sekadar membaca, materi yang sama harus diulang selama berhari-hari atau bahkan berminggu-minggu. Lalu selewat libur panjang seperti Natal dan Tahun Baru, apa yang sudah dipelajari dengan mudah terlupa begitu saja. Menurut Nanang, hal itu terjadi karena anak-anak jarang sarapan sebelum ke sekolah sehingga mudah mengantuk ketika belajar di kelas.

“Sebuah materi harus diulang-ulang terus sampai mereka mengerti, bukan menghafal. Karena rata-rata memang anak-anak di sini menghafal cara belajarnya,” kata Haryati. “Contohnya, mereka tahu angka 1 sampai 10. Tapi ketika kita menunjukkan sebuah angka dan bertanya itu angka berapa, mereka tidak tahu.”

Karena itu, Rowi merasa sulit bagi sekolah-sekolah di pedalaman untuk mengikuti sistem pendidikan sesuai kurikulum dari pemerintah pusat. “Sudahlah, tidak usah bicara kurikulum. Pokoknya pikirkan bagaimana caranya agar anak-anak SD bisa membaca, menulis, dan berhitung. Itu saja, sudah,” kata Rowi.

Kondisinya serba salah. Uang ada, tapi warga belum pandai mengelolanya. Sekolah ada, tapi orang tua belum bisa mempercayakan anak sepenuhnya pada lembaga sekolah.

Menurut Rowi, salah satu solusi yang tepat adalah membuat asrama di sekolah-sekolah sehingga siswa bisa belajar secara intensif sehari-sehari. Sesungguhnya, konsep ini telah berlangsung di Waris sejak akhir 2013.

Semua berawal dari ide Krispinus untuk membuat asrama dadakan bagi para siswa kelas VI SD di pastoran seberang gereja. Anak-anak ke sekolah pagi hari, lalu langsung pulang kembali ke asrama. Sorenya mereka belajar lagi hingga malam. Kegiatan ini berlangsung dari November 2013 hingga Mei 2014. Para siswa boleh kembali ke rumah seminggu sekali di akhir pekan.

Seluruh kerja keras itu tidak sia-sia. Saat hasil try out Ujian Nasional keluar, siswa kelas VI SD YPPK Kenandega berhasil mendapat nilai tertinggi di antara seluruh sekolah di wilayah Waris. Bahkan setelah Ujian Nasional, murid perempuan Yuditsara Amo meraih nilai 85 untuk mata pelajaran Ilmu Pengetahuan Alam.

Seperti kata fisikawan Yohanes Surya, “Tidak ada anak yang bodoh, yang ada hanya anak yang tidak mendapat kesempatan belajar dari guru yang baik dan metode yang benar.”

***

Catatan
1. Tulisan ini pertama dimuat di majalah GeoTimes edisi 14 Juli 2014.

Bagikan

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Scroll to Top