Sejak menjabat sebagai pelatih di musim 2008/2009, Pep Guardiola sukses membawa Barcelona menjadi salah satu tim terbaik di Eropa, bahkan dunia. Tim asuhannya itu berhasil meraih sederetan trofi bergengsi dengan pola permainan atraktif nan menghibur ala “tiki-taka”. Rasa kekeluargaan serta persaingan sehat antarpemain dalam memperebutkan satu tempat di tim utama, menjadi salah satu kunci konsistensi serta tingginya level permainan mereka.
Bila kita sadari, sejak naik pangkat menjadi manajer tim senior Barcelona, Guardiola selalu membawa setidaknya satu pemain bintang berharga mahal ke dalam tim di setiap musimnya. Kedatangan para superstar tersebut membuat para bintang lama di tim tetap terpacu untuk tampil maksimal bila tidak mau kehilangan tempatnya di tim utama. Ada bintang yang sukses melejit dan menjadi pilihan reguler pelatih, ada pula yang malah meredup dan kehilangan sinarnya.
Di awal musim 2008/2009, Guardiola merekrut Daniel Alves dengan harga 29 juta euro, plus tambahan 6 juta euro yang tergantung pada penampilan dan prestasinya selama berkarier di Camp Nou. Saat itu, Alves bukan pemain sembarangan. Ia adalah kapten Sevilla yang sukses membantu timnya memboyong 2 Piala UEFA, 1 Piala Super Eropa, 1 Copa Del Rey dan 1 Piala Super Spanyol. Kehadirannya pun dianggap tepat untuk mengisi kekosongan di pos bek kanan yang baru saja ditinggal pergi Gianluca Zambrotta ke AC Milan.
Ia pun mendatangkan kembali Gerard Pique dari Manchester United serta gelandang kreatif Arsenal, Aliaksandr Hleb. Pique didatangkan sebagai pelapis Rafael Marquez dan Gabriel Milito yang mulai tua dan rentan akan cedera. Sementara itu, Hleb masuk untuk menambah daya saing di lini tengah setelah kepergian Deco ke Chelsea. Hal ini jelas membuat Xavi dan Andres Iniesta tetap terpacu untuk tampil maksimal bila tak mau kehilangan tempatnya di tim utama.
Guardiola sukses membawa persaingan sehat dalam timnya. Pemain yang menjadi pilihan pertama adalah mereka yang menunjukkan performa terbaik dan kedisiplinan tinggi dalam latihan mau pun pertandingan sebenarnya. Pada November 2008, El Mundo Deportivo melaporkan kalau ada beberapa hal yang diminta Guardiola untuk diperhatikan oleh para pemainnya. Bila ada yang melanggar, ia akan didenda dan uangnya digunakan untuk makan malam bersama seluruh tim atau aksi sosial di masyarakat.
Denda sebesar 6 ribu euro akan diberikan ke pemain yang datang terlambat saat para pemain lainnya telah berada di lapangan untuk berlatih. Selain itu, denda 2 ribu euro akan menjadi ganjaran bagi para pemain yang melewati jam malam di hari Senin sampai Jumat. Untuk memastikan para pemain tidak melanggarnya, para staf Barca akan menelepon rumah para pemain secara acak untuk memeriksanya.
Guardiola juga ingin menjaga kekompakan timnya dengan meminta semua pemain untuk menyantap sarapan pagi secara bersama saat pertandingan tandang. Mereka yang terlambat bergabung untuk makan pagi itu akan terkena denda 500 euro oleh sang pelatih. Cara ini, terbukti efektif dalam membentuk pola hidup sehat serta membangun chemistry dalam diri para pemain Barcelona.
Di akhir musim perdananya, Barcelona berhasil menjadi tim pertama asal Spanyol yang merengkuh tiga gelar dalam satu musim, yaitu La Liga, Copa Del Rey dan Liga Champions. Alves sukses menyatu dalam tim dan tampil menawan sebagai bek kanan andalan Guardiola. Pique pun mematenkan posisinya sebagai tandem utama kapten Carles Puyol di lini tengah pertahanan tim. Sayangnya, Hleb kalah bersaing dengan duet “Xaviesta” di lini tengah sehingga hanya menjadi pilihan reguler di bangku cadangan.
Hleb sendiri mengakui ketangguhan Xavi dengan mengatakan, “Di lini tengah, Xavi adalah nyawa Barcelona. Saya hanya melihat ia dua kali kehilangan bola. Di dalam pertandingan dan saat latihan, dia adalah jantung dari permainan Barca.”
Musim 2009/2010, Hleb dipinjamkan ke Stuttgart dan Samuel Eto’o dijadikan salah satu alat tukar bagi transfer Zlatan Ibrahimovic ke Barcelona. Guardiola memang sejak lama dikabarkan kurang menyukai permainan Eto’o yang cenderung egois dalam proses pencarian gol. Ibrahimovic, spesialis juara liga yang penasaran dengan trofi Liga Champions, menjadikan Barcelona sebagai pilihan tepat untuk mewujudkan mimpinya itu.
Ibra memang bukan pemain sembarangan. Ia adalah top skor Serie A musim 2008/2009 dengan 25 golnya sepanjang kompetisi. Pemain asal Swedia ini juga sukses meraih lima gelar Serie A berturut-turut dalam lima tahun bersama Juventus dan Inter Milan, walau dua gelarnya bersama “Si Nyonya Tua” harus dicabut akibat kasus calciopoli.
Selain itu, ia dikenal sebagai pesepak bola berteknik tinggi dan kuat dalam adu fisik dengan pemain lawan. Tingginya yang mencapai 195 cm juga membuatnya unggul dalam duel udara. Pertukarannya dengan Eto’o plus sejumlah uang tunai dirasa pantas untuk melabuhkannya ke Camp Nou.
Ibra datang ke Barcelona bersama beberapa pemain baru lainnya seperti Maxwell dan Dmitro Chigrinskiy. Maxwell hadir untuk menggantikan kekosongan akibat hijrahnya bek gaek Sylvinho ke Manchester City. Ia juga akan memanaskan persaingan dengan Eric Abidal, bek kiri reguler musim sebelumnya. Sementara itu, duet bek tengah Puyol-Pique, dibuat “risau” hidupnya dengan kedatangan Chigrinskiy, bek andalan Shakhtar Donetsk.
Kedatangan para pemain baru tersebut juga diharapkan dapat menambah variasi permainan Barcelona sehingga tidak mudah tertebak gayanya oleh tim lawan di musim selanjutnya. Permainan Ibra yang tak mudah ditebak dengan gol dan umpan-umpan indahnya selama ini juga dianggap akan cocok dengan permainan atraktif Barcelona.
Awalnya, Ibra sukses merajut harapan akan kesuksesan dengan mencetak tujuh gol dari tujuh penampilan pertamanya bagi Barcelona. Akan tetapi, sejak didera cedera, ia kesulitan untuk tampil konsisten dan menampilkan performa terbaiknya seperti di Inter dahulu. Ambisinya untuk meraih gelar tertinggi Eropa pun kembali pupus setelah timnya tersingkir di babak semifinal Liga Champions oleh mantan klubnya sendiri, Inter. Walau ia berhasil membawa Barcelona mempertahankan trofi La Liga, penampilannya dianggap jauh dari ekspektasi fans.
Pelatih legendaris Italia, Arigo Sacchi, menyatakan pendapatnya tentang kegagalan Ibra di Barcelona. “Barcelona membuat sebuah kesalahan dengan mendatangkan Ibrahimovic. Dia seorang pemain yang fantastis secara individu. Tapi dalam tim, dia merugikan pemain lain agar dapat menyatu dengan sistem,” ujar Sacchi.
Mantan pemain Ajax itu mencoba membela diri dengan mengatakan bahwa Guardiola adalah penyebab utama turunnya performa dirinya. “Berkat Barcelona saya mengerti bahwa peruntungan bisa berubah dengan cepat di sepak bola. Masalah saya di Nou Camp hanya satu, sang filsuf (Guardiola), lainnya tidak ada masalah,” ungkap Ibra.
“Pada awalnya tidak ada yang menilai penampilan saya buruk, semua istimewa. Akan tetapi enam bulan kemudian sesuatu terjadi, saya tidak tahu apa. Saya menunggu reaksi, tetapi Guardiola enggan berbicara dengan saya sejak Februari 2010. Jika Anda tidak memiliki sosok yang bisa menyuntikkan motivasi, Anda lebih baik tidak usah bertarung. Untuk alasan itu lah pelatih dihadirkan.”
Banyak orang percaya bahwa Guardiola tidak senang akan sikap Ibra yang individualistis. Hal itu akibat permainannya yang tidak bisa menyatu dengan tim. Saat kehilangan bola, ia juga jarang berlari kembali ke daerah pertahanan sendiri untuk merebut kembali penguasaan bola.
Setelah mendepak Ibra ke Milan, Barcelona mendatangkan top skor timnas Spanyol sepanjang masa, David Villa, di awal musim 2010/2011. Villa yang menjadi tumpuan lini serang Valencia dalam beberapa tahun terakhir, dianggap lebih sesuai dengan gaya permainan kolektif Barcelona. Hal itu karena ia sendiri sukses menjalin kerja sama dengan para pemain tim Catalan itu saat mereka bahu-membahu di timnas Spanyol untuk merengkuh gelar Piala Eropa 2008 dan Piala Dunia 2010.
Villa sendiri sukses meraih 2 trofi Copa Del Rey, masing-masing sekali bersama Real Zaragoza dan Valencia. Selama lima tahun bermain di Valencia, ia berhasil membangun karier sebagai salah satu penyerang paling berbahaya di Eropa dengan mencetak 108 gol dari lebih dari 160 pertandingan yang dilewati. Dengan berbagai trofi dan penghargaan individu yang ia raih selama ini, Barcelona pun berani membayarkan 40 juta euro sebagai tebusan untuk membawanya ke Camp Nou.
Selain Villa, Javier Mascherano dan Adriano Correia juga dihadirkan untuk menambah kedalaman serta meningkatkan kompetisi internal tim. Sergio Busquets yang musim sebelumnya sukses mematenkan posisi sebagai gelandang bertahan di lini tengah Barcelona, mendapat giliran untuk “diuji” oleh Guardiola. Ia akan bersaing dengan Mascherano untuk mempertahankan posisinya tersebut. Sementara itu Adriano datang sebagai pelapis Abidal yang kerap didera cedera dan Maxwell yang tak konsisten performanya.
Hasilnya, Villa sukses menyatu dalam tim dan menjadi pilihan reguler Guardiola dalam skema tiga penyerang bersama Pedro Rodriguez dan Lionel Messi. Ia berhasil mencetak 23 gol sepanjang musim tersebut untuk membantu tim meraih trofi La Liga dan Liga Champions. Walau jumlah golnya dalam semusim hanya lebih baik dua angka dari jumlah gol Ibra musim sebelumnya, ia dianggap sukses mengimbangi permainan “tiki-taka” ala Barcelona dan tampil baik secara keseluruhannya.
“Saya sangat cocok dengan gaya permainan Barca. Semua pemain di dunia ini akan merasa mudah ketika bermain bersama Messi. Dia benar-benar membuat orang-orang di sekitarnya menjadi lebih baik,” ujar Villa.
Sementara itu, Adriano dan Mascherano belum bisa menjadi pilihan utama dalam skema permainan Guardiola. Adriano masih menjadi pelapis Abidal, dan Mascherano pun harus rela berganti posisi menjadi bek tengah untuk menggantikan rekan-rekannya yang cedera.
Menjelang dimulainya musim 2011/2012, Guardiola kembali menjalankan aksinya. Pedro yang berhasil menggantikan peran Thierry Henry sebagai penyerang sayap dan bermain reguler sepanjang musim lalu, dihadapkan pada persaingan baru dengan datangnya bintang asal Chili, Alexis Sanchez. Sanchez dikenal sebagai pemain berteknik tinggi dan berhasil membawa Udinese meraih jatah terakhir kualifikasi Liga Champions musim depan. Ia didatangkan dengan nilai 26 juta euro dan akan mengenakan seragam bernomor punggung 9 di tim barunya itu.
Di musim-musim sebelumnya, para pemain baru yang dihadirkan Barcelona cenderung menemui kesulitan untuk menembus tim utama. Mascherano, Ibrahim Afellay, Maxwell, Chirginskiy dan Hleb harus memendam asanya untuk tampil di lapangan karena kalah bersaing dengan Busquets, Pedro, Abidal, Pigue, Puyol, Xavi dan Iniesta. Ibra pun tampil melempem dan hanya bertahan setahun di sana. Bisa dikatakan, hanya Alves dan Villa yang benar-benar sukses meraih kepercayaan Guardiola serta menjadi pilihan pertama di pos bek kanan dan penyerang tengah.
Kenyataan itu tidak membuat Guardiola ragu untuk mendatangkan kembali bintang berharga mahal dalam diri Sanchez. Karena biarpun Sanchez gagal menempatkan diri dalam tim utama, kehadirannya berpotensi mendongkrak performa anak-anak lama Guardiola untuk tampil maksimal mempertahankan posisinya. Itulah resep jitu Guardiola dalam meramu tim, yaitu menghadirkan sebuah persaingan sehat dalam tim untuk memaksimalkan talenta para pemainnya, serta membuat mereka tidak cepat berpuas diri.
Sikap berpuas diri memang berbahaya bagi para pemain Barcelona yang sudah mendapatkan segalanya di level klub dan juga internasional. Suasana kompetitif yang dibangun oleh Guardiola jelas bertujuan untuk membangkitkan kembali rasa lapar anak-anak didiknya tersebut. Bisa kita katakan, Barcelona ala Guardiola adalah Barcelona yang selalu lapar dan tak pernah puas. Mengerikan, bukan?
***