Beda Rasa Polisi UI

Pentas Polisi oleh Teater Universitas Indonesia pada 5 Oktober 2015.
Pentas Polisi oleh Teater Universitas Indonesia pada 5 Oktober 2015. Gizela Cindy.

Polisi gemar merumitkan hal sederhana. Premis inilah yang tampak dalam naskah The Police karya sastrawan Polandia, Slawomir Mrożek. Itu bisa terjadi karena polisi kehilangan arti dalam dunia utopis yang begitu damai dan tanpa cela. Alhasil, mereka mencari-cari masalah demi unjuk eksistensi.

Teater Universitas Indonesia (UI) sempat mengadaptasi naskah tersebut dalam pentas Polisi di Kampus UI, Depok, pada 12-13 Februari 2015. Delapan bulan berselang, mereka memainkannya kembali dalam ajang Festival Teater Jakarta Pusat di Taman Ismail Marzuki, Jakarta, pada 5 Oktober 2015. Pada kesempatan pertama, pelatih Alfian Siagian berperan sebagai sutradara. Namun kini, ia beralih jadi pemain. Hafid Fuad yang jadi sutradara.

Dibawakan dua kali di waktu berbeda, pentas Polisi pun menghasilkan konteks politik yang berbeda. Saat ia pertama dimainkan pada Februari, baru saja mencuat konflik antara Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri) dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Banyak pihak menganggap polisi melakukan aksi balas dendam atas penetapan Komisaris Jenderal Budi Gunawan sebagai tersangka sesaat setelah ia menjadi calon tunggal Kepala Polri. Buntutnya, seluruh komisioner KPK dilaporkan ke polisi.

Status tersangka Budi Gunawan pun dianggap tidak sah oleh hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Sarpin Rizaldi. Alhasil, dua pemimpin Komisi Yudisial, Suparman Marzuki dan Taufiqurrohman Syahuri, menilai Sarpin telah merusak tatanan hukum. Belakangan, Sarpin melaporkan keduanya ke Bareskrim atas tuduhan pencemaran nama baik. Bareskrim urung melimpahkan kasus tersebut ke Dewan Pers. Kasus ini kian berlarut-larut saja.

Tak hanya itu. Sebelumnya, dua pemimpin negara dalam pentas Polisi pertama disebut Raja Muda dan Baginda Wali. Kali ini, Teater UI langsung merujuk pada Presiden dan Wakil Presiden. Obrolan antara Kepala Polisi dan tahanan revolusioner pun menunjukkan bahwa presiden yang berkuasa di dunia mereka adalah seorang Jawa kurus yang terkesan “ndeso”. Kritik tajam juga sempat muncul dari mulut Sersan. Setelah terlalu lama mendekam di penjara akibat dikorbankan Kepala Polisi, Sersan perlahan menyadari bahwa pemerintahan negaranya belum sampai ke tahap ideal. Apalagi dengan adanya masalah “BPJS, Kartu Indonesia Sehat yang omong kosong, dan Kartu Indonesia Pintar yang tidak ada”.

Sersan mulai meragukan kinerja pemerintah.
Sersan mulai meragukan kinerja pemerintah. Gizela Cindy.

Realisme Magis
Dalam sambutannya di selebaran pentas, sutradara Hafid Fuad berujar bahwa Teater UI berusaha “mewujudkan sebuah pendekatan pentas ala realisme magis yang masih asing di telinga awam”.

Gaya realisme magis kerap digunakan dalam berbagai medium, entah sastra, lukisan, ataupun film. Pada dasarnya, ia berusaha menampilkan elemen magis yang tak nyata atau tak masuk akal sebagai bagian alami dari sebuah latar atau lingkungan yang begitu realistis. Pendekatan ini banyak digunakan dalam lingkup sastra Amerika Latin. Contohnya dalam novel One Hundred Years of Solitude karangan Gabriel García Márquez.

Dalam pementasan, hal ini terlihat sejak awal kala sosok tahanan revolusioner yang dimainkan Ignas Praditya bisa bebas lalu lalang di kantor polisi tanpa ada satu pun petugas yang mengacuhkannya. Bahkan saat latar berganti ke rumah Sersan, sang tahanan terlihat masuk begitu saja, terdiam di tengah ruangan mengamati segala hal yang terjadi. Kepala Polisi serta Sersan dan istri seakan tak bisa melihat atau mencium keberadaannya.

Di akhir cerita, sang tahanan revolusioner sukses diangkat jadi staf khusus bidang revolusi dan kegiatan antipemerintah. Singkatnya, ia jadi intel pemerintah. Maka, keberadaan tahanan itu di ruang tamu rumah Sersan seakan jadi metafora sosok intel yang terus mengintai tanpa kita sadari. Beberapa kali Kepala Polisi sempat menatap tajam ke arah tahanan itu. Ia terlihat curiga, tapi toh tetap tak sadar dan tak bisa berbuat apa-apa.

Adegan magis juga sempat kita dapati di kantor polisi setelah Sersan mulai mengeluhkan kinerja pemerintah. Tak lama, masuk tujuh orang mengibarkan bendera Merah Putih dengan latar musik bernuansa perjuangan. Kehadiran mereka tidak menginterupsi, melainkan membawa efek dramatisasi.

Efek dramatisasi melalui kibaran bendera Merah Putih.
Efek dramatisasi melalui kibaran bendera Merah Putih. Gizela Cindy.

Alfian Dominan
Keberadaan Alfian Siagian, pelatih yang ikut mendirikan Teater UI satu dekade silam, jelas memberi warna tersendiri. Kehadirannya sebagai Sersan begitu menghentak dan memberi energi. Kapan saja Alfian muncul di atas panggung, perhatian penonton akan selalu tertuju padanya. Sosoknya mengingatkan kita akan mendiang Dudung Hadi dari Teater Koma, entah dari segi postur yang pendek gempal, suara nan lantang, hingga kemampuan mengatur tempo permainan.

Berulang kali Alfian membuat penonton tergelak dengan segala tingkah dan celetukannya. Misalnya kala Kepala Polisi baru tiba di rumah Sersan.

“Sersan, saya kira kamu kaget melihat kedatangan saya.”

“Siap kaget!” jawab Alfian segera dengan suara membahana, memancing ledak tawa penonton.

Atau kala Alfian mengenakan seragam dinas kekecilan dan berusaha menjaga kebugaran dengan berlatih mengangkat barbel di depan atasannya. Kata-kata sang Kepala Polisi yang dimainkan oleh Hafid Fuad pun jadi kerap tertutup keriuhan yang ditimbulkan para penonton. Dengan segala hormat, kehadiran Alfian mau tak mau mengerdilkan keberadaan para pemain lain di atas panggung. Apalagi, lidah Hafid dan Ignas kerap terselip saat berdialog panjang.

Alfian Siagian tampil menonjol sebagai Sersan.
Alfian Siagian (kedua dari kanan) tampil menonjol sebagai Sersan. Gizela Cindy.

Lakon pun ditutup dengan adegan kejar-kejaran yang kaku antara sang staf khusus, Kepala Polisi, dan Jenderal. Melihat semua itu, Sersan hanya bisa berteriak, “Hidup kebebasan!”

Akhirnya, memang harus Alfian yang menutup pentas ini.

Baca juga Sentilan Telak untuk Polisi.

Bagikan

1 thought on “Beda Rasa Polisi UI”

  1. Ulasan indah untuk dibaca, kak punyakah naskah Polisi ini? sebelumnya perkenalkan nama saya Fajar Bintang, mahasiswa dari salah satu sekolah tinggi di Buahbatu, Bandung. Ingin mengadakan penggeledahan terhadap naskah Polisi ini. kalau tidak keberatan, bolehkah saya mengharapkan kakak Viriya mengirimkan naskahnya pada saya :))

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Scroll to Top