Penyakit Alzheimer bersifat satu arah: sekali jalan, tak ada cara untuk berputar kembali.
Desiree Sylvia Pojoh tahu benar sifat ibunya: pikun, pemarah, dan gampang curiga. Tak jarang sang ibu mengarang cerita dan menuduh salah satu anaknya, lalu meminta dukungan dari yang lain. Adu domba seperti itu bukan hal baru bagi perempuan yang akrab disapa Chili tersebut.
Chili hanya bisa maklum. Ibu sudah tua, mungkin hanya cari perhatian, pikirnya. Dia tak ambil pusing dengan segala drama yang dibuat-buat sang ibu.
Pada 2011, di usia 85 tahun, sang ibu bahkan tinggal sendiri di rumah seluas 1.200 meter persegi di Cijantung, Jakarta Timur. Dia susah percaya orang lain dan selalu penuh prasangka. Alhasil, Chili yang kerap kebagian tugas mampir untuk menengoknya sembari membereskan pekerjaan rumah sehari-hari.
“Dia kalau ada apa-apa selalu telepon aku, dan aku akan langsung datang ke rumah bantu ini-itu,” kata Chili.
Suatu hari, mendadak sang ibu susah dihubungi. Selama kurang lebih dua minggu Chili berusaha menelepon, tapi tak juga diangkat. Mau datang dan menengok langsung pun tak bisa. Kunci rumah telah diganti karena sang ibu kesal bila Chili mampir dan masuk seenaknya. Satu-satunya yang masih memiliki akses ke sana adalah Ingrid Harriet Eileen Pojoh, kakak perempuan Chili yang disapa Inge.
Singkat cerita, Chili mengajak Inge menengok ibu mereka. Sesampainya di sana, kondisi rumah mengenaskan. Banyak tanaman telah layu. Lampu-lampu tetap menyala di siang bolong. Tiga anjing piaraan sang ibu pun terlihat ceking dan lesu. Tak hanya itu, rumah tersebut kosong. Sang ibu telah raib entah ke mana.
Di kemudian hari, kejadian inilah yang akhirnya membuat Chili sadar, ternyata dia tak tahu apa-apa soal ibunya.
***
Kusuma Dewi Suharya serba salah. Perempuan berusia 44 yang biasa disapa DY (baca: Diway) ini berangkat ke Australia pada pertengahan 2008 untuk meneruskan studi pasca-sarjana di Curtin University. Namun belum genap satu semester, sang ayah, Yaya Suharya, telah memintanya pulang ke Jakarta.
“Mama mau operasi.”
“Operasi apa, Pa?”
“Hernia.”
DY tak bisa pulang begitu saja karena waktu operasi ibunya, Tien Suhertini, bentrok dengan jadwal ujian. Dia menahan cemas dan berdoa dari jauh untuk kesembuhan sang ibu. Dia khawatir atas sejumlah risiko pasca-operasi mengingat ibunya telah berusia 74 tahun.
Sesungguhnya, DY jarang bisa akur dengan sang ibu. Tiap hari ada saja keributan di rumah. Ibunya kerap meledak tanpa aba-aba, entah marah-marah menuduh pembantu rumah tangga mengutil barang, mencurigai suami menaruh hati pada sang pembantu, hingga mengurung diri di kamar karena merasa tak ada yang memihak atau sekadar memedulikannya.
Kadung jengah dengan tingkah ibunya, DY kerap mencari pelarian di luar rumah. Dia kuliah jurnalistik di Ohio State University, Amerika Serikat (lulus 1997), pergi mengejar gelar master ke Australia, serta kerap terlibat dalam kegiatan sosial di berbagai kota di Indonesia. Semua dilakukan karena dia tidak betah berlama-lama di rumah.
Meski begitu, DY memastikan keempat kakaknya bisa mengawali proses operasi dan memberi pesan kepada ayahnya agar mencatat segala omongan dan resep dari dokter. Dia berharap segalanya bisa berjalan baik.
Operasi itu berjalan lancar. Namun, masalah justru datang saat proses pemulihan. Nafsu makan sang ibu mendadak turun drastis. Emosinya kian labil. Keluarga bolak-balik ke dokter di sejumlah rumah sakit untuk mencari tahu penyebabnya.
Salah satu dokter menduga, kondisi gigi dan mulut sang ibu tak sehat sehingga dia enggan makan. Benar saja, setelah diperiksa, ditemukan setumpuk kotoran di sela gigi dan gusi. Imbasnya, dokter harus membersihkan mulut dan merombak gigi, dari mencabut, menambal hingga memasang gigi palsu.
Setelahnya, tetap saja sang ibu enggan makan. Mulut terasa pahit, katanya. Berat badannya terus turun. Belakangan dokter memvonisnya mengidap malnutrisi.
DY terkejut bukan main. Bagaimana mungkin malnutrisi bisa menyerang seorang ibu dari kalangan kaya di Jakarta, yang anak-anaknya bisa disekolahkan ke luar negeri?
Terlebih lagi, ini terjadi saat DY sedang kuliah komunikasi kesehatan di Australia. Seketika, dia merasa mendapat tamparan begitu keras.
***
Chili tak bisa berpikir dengan jernih. Dia segera menelepon kenalan pengacara untuk meminta saran. Mereka sepakat untuk mencari sang ibu di segala tempat yang terpikirkan: panti jompo, rumah sakit, dan kamar mayat.
“Kita sampai mengecek 49 tempat penampungan untuk lansia di Jakarta dan Bogor,” kata Chili.
Namun, kabar baru tiba selewat 29 hari. Ada yang melihat ibunya di wilayah Klender, Jakarta Timur. Jaraknya belasan kilometer dari rumah di Cijantung. Percaya tak percaya, suami Inge segera ditugaskan untuk mengecek ke sana. Ternyata benar, itu dia.
“Kondisinya saat itu sudah seperti gembel. Sandal kiri dan kanan beda. Tasnya juga sudah kosong,” ujar Chili.
Ternyata, sang ibu lupa jalan pulang, berjalan tak tentu arah dari satu tempat ke tempat lain. Beruntung, ada saja tunawisma yang welas asih berbagi tempat tidur dan makanan. Hingga kemudian satuan pamong praja menciduk dan membawanya ke tempat penampungan untuk orang lanjut usia.
Chili dan keluarga langsung membawa ibunya ke rumah sakit untuk menjalani pemeriksaan lengkap. Kemudian, merujuk ke dokter geriatri atau spesialis penanganan orang lanjut usia. Hasilnya, tes MRI atau pemindaian untuk melihat pencitraan otak menunjukkan bahwa ibu Chili mengidap demensia vaskuler.
Demensia adalah gangguan pembuluh darah di otak yang mampu menyebabkan manusia kehilangan ingatan serta kesulitan berpikir ataupun memecahkan persoalan. Dalam banyak kasus, Alzheimer jadi pintu masuk utama bagi penyakit demensia.
Penyakit Alzheimer disebabkan oleh munculnya plak dan belitan-belitan di otak hingga menghambat komunikasi antarsel syaraf dan menyebabkan sel-sel itu mati. Penyebabnya beragam, bisa karena bawaan genetik, depresi, stroke ringan, ataupun komplikasi penyakit seperti diabetes, serta tekanan darah dan kadar kolesterol tinggi.
Total, ada tujuh tahapan penyakit Alzheimer yang secara umum terbagi ke tiga level berbeda: ringan, sedang, dan berat. Pada tahap ringan, penderita akan kehilangan memori jangka pendek. Pada tahap sedang, pasien mulai kehilangan fungsi eksekutif otak untuk melakukan kegiatan sehari-hari seperti mandi, memasak, atau mengemudi. Ia pun mengalami disorientasi waktu dan tempat serta kehilangan kemampuan berbahasa dengan baik.
Pada tahap berat, penderita telah kehilangan memori jangka panjang dan sudah tak bisa beraktivitas secara normal, entah tak mampu berjalan atau bahkan menelan makanan.
“Alzheimer itu mulainya pelan, tidak mendadak. Saat keluarga sadar, biasanya terlambat karena pasien sudah masuk ke tahap sedang,” kata Ria Maria Theresa, psikiater dari Fakultas Kedokteran Universitas Pembangunan Nasional Veteran, Jakarta Selatan.

Ini terjadi karena pikun dan rewel kerap dianggap sepaket dengan bertambahnya usia seseorang. Alhasil, jarang ada keluarga yang langsung mengambil tindakan preventif memeriksakan saudara atau kerabatnya ke dokter saat mulai jadi pelupa. Padahal, hingga kini penyakit Alzheimer belum ditemukan obatnya. Yang bisa dilakukan hanyalah menghambat pertumbuhannya supaya tidak semakin parah.
“Ketidaktahuan kita sekeluarga baru terjawab setelah mama hilang,” kata Chili. “Jadi kalau dipikir-pikir, gejala awal demensia pada mama rasanya sudah muncul sejak 15-20 tahun sebelumnya.”
Hal serupa dialami DY dan keluarga. Pada 2009, sang ibu divonis mengidap demensia vaskuler tahap lanjut. Bagi DY, ini menjelaskan segalanya. Alzheimer memang tidak membunuh seseorang secara langsung, tapi yang berbahaya adalah penyakit tumpangannya, entah infeksi saluran kemih, pneumonia, ataupun malnutrisi.
“Dulu setiap kali mama marah dan berteriak, maka dengan senang hati biasanya aku jadi ikut berteriak juga,” tulis DY. “Seandainya aku tahu bahwa kemarahan mama yang meluap-luap, kesulitannya mengontrol emosi, semata-mata hanyalah gejala demensia yang sudah mulai muncul, mestinya aku tidak akan memperlakukan mama seperti itu.”
Semakin parah kondisinya, emosi pasien pun bisa jadi kian tak stabil. Karena itu, orang dengan demensia kerap begitu sensitif dan bisa marah tanpa alasan jelas. Ini membuat situasi jadi serba salah untuk para pendamping pasien (caregivers). Tekanan fisik dan mental harus mereka hadapi dalam usaha memenuhi kebutuhan pasien sehari-hari.
“Makanya kalau di komunitas caregivers itu kita tidak boleh ada kata-kata ‘yang sabar’ atau ‘yang ikhlas’. Kita semua juga sudah tahu, tapi praktiknya tidak segampang itu,” ujar Ria.
***
Sabtu, 5 Maret 2016. Pukul 10 pagi. Sekira 30 orang telah berkumpul di Function Room Golfhill Terraces Apartment, Jakarta Selatan. Sebagian duduk kalem, sisanya sibuk hilir mudik mempersiapkan acara, di antaranya Chili, DY, dan Ria.
Mereka datang untuk mengikuti “caregivers meeting”, acara rutin sebulan sekali oleh Yayasan Alzheimer’s Indonesia (ALZI). Tujuannya agar ada wadah berbagi untuk para pendamping orang dengan demensia. Saling memberi saran sekaligus meringankan beban.
DY mendirikan ALZI pada 3 Agustus 2013 setelah matanya terbuka melihat penyakit Alzheimer yang diderita ibunya.
“Aku merasa punya kewajiban untuk mengingatkan lebih banyak orang mengenai bahaya Alzheimer, dan pentingnya melakukan deteksi dini, agar tidak terlambat seperti mama,” tulis DY.
Sejak itu, pelbagai program telah dijalankan ALZI, dari advokasi, riset, pelatihan, hingga peningkatan kepedulian dan pemahaman masyarakat secara umum terhadap Alzheimer. Beragam kampanye telah mereka lakukan, entah soal gejala umum ataupun cara-cara mengurangi risiko Alzheimer.
Menurut data Organisasi Kesehatan Dunia, ada setidaknya 44 juta orang di dunia yang mengidap Alzheimer. Satu juta di antaranya berasal dari Indonesia, dan diperkirakan angka itu akan meningkat hingga 4 juta pada 2050.
Karena itu ALZI menekankan pentingnya hidup sehat sebagai pencegahan. Misalnya dengan berolahraga secara produktif, menjaga gizi tetap seimbang, menstimulasi otak, serta bersosialisasi dan beraktivitas secara positif. Ini tak hanya berlaku bagi pasien Alzheimer, tapi juga para caregivers.
Ria menjelaskan saat jadi pembicara di pertemuan bulanan ALZI. Menurutnya, kualitas hidup pasien Alzheimer sangat tergantung pada kualitas hidup pendampingnya. Namun di sisi lain, para pendamping juga rentan terkena stres ataupun depresi karena mereka dituntut selalu hadir selama 24 jam sehari. Bahkan, terdapat angka kematian 63 persen lebih tinggi bagi para pendamping yang mengalami stres dibanding yang tidak stres.
“Banyak yang bilang, usia caregivers lebih pendek dari pasien demensianya. Wajar saja, pasien demensia tidak bisa ingat apa-apa, tidak ada beban. Sementara itu kita tidak lupa sehingga terus membawa bebannya,” kata Ria.
Maka, penting bagi para pendamping untuk senantiasa menyegarkan pikirannya, misalnya sekadar keluar dari rumah, berolahraga, atau berbincang dengan kawan lama.
Titiek Haryati, usia 64 tahun, merasakan betul situasi itu. Kini dia mesti menjaga ibunya, pasien demensia berusia 85 tahun. Seperti yang rutin terjadi, sang ibu suka marah karena hal sepele dan tak mampu mengerjakan aktivitas sehari-hari.
“Kondisinya semakin parah sejak dua bulan lalu saat ibu saya jatuh ke lantai dan patah tulang. Setelahnya, memorinya terus menurun,” kata Titiek. “Kalau siang dia sekarang tidur terus. Tapi pas malam sampai subuh, dia sering terbangun dan colek-colek saya sambil tanya, ‘Ini di mana?’”
Bisa dikatakan, penyakit Alzheimer bersifat satu arah: sekali jalan, tak ada cara untuk berputar kembali.
Dari sana, Ria Maria Theresa mencoba menemukan tindak pencegahan Alzheimer yang dapat menjangkau seluruh lapisan masyarakat. Ini jadi fokus penelitiannya saat menjalani program doktoral di Universitas Indonesia. Dia membahas soal tarian sebagai terapi untuk menajamkan fungsi kognitif otak manusia.
“Saya melihat, pebalet yang menari sejak kecil hingga usia lanjut itu fungsi kognitifnya tetap baik. Ia bisa menghafal ratusan macam gerakan dengan ratusan lagu tentunya karena senantiasa memakai fungsi otak,” ujar Ria.
Ria lantas mencari tahu soal beragam jenis tarian. Dia mesti memilih sebuah tarian dengan gerakan cukup kompleks hingga bisa merangsang seluruh bagian otak manusia. Pilihan pertama jatuh pada tari saman, tapi kemudian batal karena gerakannya cukup menyulitkan bagi responden Ria yang kebanyakan berusia relatif tua, antara 45-59 tahun.
Setelah berkonsultasi dengan beberapa pengajar tari dari Institut Kesenian Jakarta, pilihan dijatuhkan pada tari poco-poco. Alasannya sederhana: tarian ini merakyat dan digemari semua kalangan.
Proses terapi dengan tari poco-poco dimulai pada Februari 2014. Selama tiga bulan, 20 responden yang telah mengalami gangguan kognitif alias memasuki tahap pra-demensia rutin menari dua kali seminggu, masing-masing selama 30 menit. Sebanyak 20 responden lain melakukan senam biasa dengan jadwal serupa.
“Tadinya saya hanya berharap agar fungsi otak para responden itu tidak bertambah buruk setelah tiga bulan latihan poco-poco,” kata Ria. “Tapi ternyata setelah dibandingkan hasilnya, kelompok yang menari poco-poco sel neuronnya tambah aktif dan banyak, sementara sel neuron kelompok senam biasa justru bertambah buruk.”
Rekaman otak menunjukkan perbaikan pada kelompok dengan tari poco-poco. Ria menduga karena gerakan tarian itu yang khas, dengan variasi menyilang dan memutar dalam tempo tertentu. Dari sana diketahui, tari poco-poco bisa mencegah terjadinya demensia. Bila dilakukan rutin oleh penderita demensia, meski tidak menyembuhkan tapi mampu menghambat progresivitas penyakit tersebut.
“Dari hasil penelitian saya, satu dari tiga orang akan membaik fungsi kognitif otaknya setelah rutin menari poco-poco,” kata Ria.
DY pun gencar melakukan pendekatan dengan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta selama dua tahun terakhir agar bisa mendapat tempat untuk mengadakan kegiatan rutin pencegahan Alzheimer di ibu kota. Rencananya, ia bermaksud menjadikan Taman Langsat di Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, sebagai pusat stimulasi otak bagi para warga lanjut usia.
“Kita ingin agar orang nantinya tahu, sebulan sekali tiap hari Sabtu atau Minggu, di Taman Langsat akan ada lomba poco-poco atau pengerjaan teka-teki silang,” kata DY.

Selain itu, ALZI juga mendapat mandat dari Alzheimer’s Disease International yang berpusat di London, Inggris, untuk mendorong pemerintah pusat mengeluarkan rancangan nasional penanganan Alzheimer di Indonesia. Ada bermacam komponen, misalnya riset, kampanye informasi dan edukasi, serta pelayanan masyarakat yang lebih terstruktur.
“Setelah national plan itu diluncurkan, kita harap tenaga medis sampai di tingkat Puskesmas sudah bisa menjalankan tata laksana yang dibuat Kementerian Kesehatan RI untuk menghadapi pasien Alzheimer,” ujar DY.
Dengan begitu, diharapkan masyarakat tidak lagi maklum dengan pikun dan dapat mencegah demensia sejak dini, khususnya yang disebabkan oleh Alzheimer. Dari sana kita bisa bersama belajar merawat ingatan hingga pengujung hari.
***