Belasan Tahun Ternyata Belum Cukup

Potongan Buletin KontraS edisi "Melawan Lupa".
Potongan Buletin KontraS edisi "Melawan Lupa". Sumber: kontras.org.

“Bapak memaksa aku bahwa Satria telah pergi, Satria telah mati.”

“Aku terima kalau Satria telah mati, tapi aku tidak terima kalau satria diculik, dianiaya, dibunuh.”

“Aku tidak mau percaya itu meski dalam hatiku sudah terlalu sering kuingkari diriku bahwa kemungkinan besar Satria sudah mati.”

Itulah sepenggal kutipan naskah puisi yang dibacakan Niniek L. Karim, artis lawas sekaligus aktivis HAM dalam aksinya memperingati Hari Penghilangan Paksa Internasional, Kamis (30/8).

Berbagai untaian kata yang keluar dari mulutnya bagai mewakili perasaan puluhan keluarga korban kasus impunitas yang hadir saat itu. Ada kadar amarah, kecewa, dan pasrah yang kental menyelimuti.

“Sebagai seorang ibu, saya akan terus mempertanyakan sampai mati kepada pemerintah, kenapa kasus ini tidak kunjung menemukan penyelesaian? Saya membayangkan kalau saya sendiri yang kehilangan anak, pasti akan saya cari terus sampai saya mati,” tegas Niniek, 63.

Hari itu, Komisi untuk Orang Hilang dan Tindak Kekerasan (KontraS) memang mencoba menghadirkan kembali sosok orang-orang yang hilang, atau lebih tepatnya dihilangkan secara paksa oleh pemerintah belasan tahun silam.

Sebutlah nama Yani Afri, Sonny, Deddy Hamdun, Noval Alkatiri, Ismail, Widji Thukul, Suyat, Herman Hendrawan, Petrus Bima Anugerah, Ucok Munandar Siahaan, Yadin Muhidin, Hendra Hambali, dan Abdun Nasser. Mereka semua adalah aktivis yang hilang pada rentang waktu 1997-1998 dan hingga saat ini belum diketahui kejelasan nasibnya.

“Kalau mereka meninggal, di mana kuburannya? Kalau dia ditahan di mana tahanannya? Itu saja yang selalu ditanyakan oleh kami pada pemerintah, tapi sampai sekarang sudah 16 tahun lebih ternyata belum terjawab juga. Katanya negara ini sudah merdeka, tapi hukumnya belum berjalan juga,” tukas Guan Lee, 54, teman sepermainan para korban yang raib tanpa jejak di akhir era Orde Baru tersebut.

Sesungguhnya, memang bukan materi yang para keluarga cari. Jadi, ini semua bukan soal kompensasi. Bahkan, untuk mendendam saja para keluarga kerap tidak mampu. Bagaimana mau menaruh benci bila pelakunya saja tidak diketahui secara pasti?

“Kita tidak mau kompensasi, hanya mau kejelasan saja. Sekarang yang kita pikirkan hanya dia (anak saya) ada atau tidak. Mau mendendam juga ya dendam sama siapa? Orang pelakunya saja kita engga tahu,” ungkap Paian Siahaan, ayah dari Ucok, yang kehilangan saat sang anak baru berusia 21 tahun.

Para keluarga memang sudah kebal hatinya. Saat mereka terus mencoba mengais asa, pemerintah nyatanya seakan mati rasa. Bahkan, rekomendasi Komnas HAM dan DPR untuk membentuk pengadilan ad hoc dan memberikan rehabilitasi serta kompensasi bagi keluarga korban, hingga saat ini tak kunjung jadi kenyataan.

“Memang ada pembiaran terhadap kejahatan HAM di masa lalu, dan penyelesaiannya bukan sebuah prioritas untuk pemerintah kita. Usaha untuk mengungkapkan kebenaran pada bangsa ini jadinya tidak ada. Jadi bisa dikatakan, ini adalah surga impunitas bagi para pelanggar HAM,” ujar Suciwati, istri dari almarhum Munir yang hingga saat ini juga masih menunggu kejelasan penyelesaian kasus terbunuhnya sang suami.

Hingga saat ini, memang belum ada satu pun kasus penghilangan orang secara paksa yang telah benar-benar dituntaskan oleh pemerintah. Padahal, sesungguhnya Indonesia yang diwakili Menteri Luar Negeri Marty Natalegawa telah menandatangani Konvensi Internasional untuk Perlindungan Semua Orang dari Penghilangan Paksa pada September 2012 lalu. Namun, hingga saat ini hal tersebut tak jua kunjung diratifikasi dalam bentuk UU.

“Kalau saat ini orang bertanya, ada atau tidak acuan penyelesaian kasus penghilangan orang paksa, jawabannya tidak ada. Padahal penting bagi kita untuk mendorong penyelesaian satu kasus saja terlebih dahulu untuk membangun sebuah pijakan awal, atau dalam bahasa HAM-nya kita membentu sebuah batas minimum,” tutur Koordinator KontraS Haris Azhar.

Kalau sudah begini, rakyat pun hanya bisa mengandalkan diri sendiri. Persis dengan teriakan-teriakan yang selalu dilontarkan para demonstran setiap akan memulai dan mengakhiri peringatan Kamisan di depan Istana Negara.

“Hidup korban!”

“Jangan diam!”

“Lawan!”

***

Catatan
1. Tulisan ini pertama dimuat di media online Beritasatu.com.

Bagikan

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Scroll to Top