Beli Dulu, Baca Kemudian

Ilustrasi membaca buku.
Ilustrasi membaca buku. Dariusz Sankowski/Pixabay.

Saya adalah pembeli buku yang taat. Prinsipnya mudah saja: beli dulu, bacanya entah kapan. Itu berlaku untuk jenis bacaan apa pun, entah novel, kumpulan cerpen dan esai, biografi, atau bahkan buku sejarah dan filsafat. Kebiasaan ini telah berlangsung cukup lama, dan rasanya diwariskan langsung oleh papa saya.

Di rumah, papa memang gemar mengoleksi buku, terutama yang berhubungan soal agama Buddha dan kebudayaan orang Cina di Indonesia. Namun, mayoritas di antaranya masih terbungkus plastik dengan rapi. “Nanti kalau sudah pensiun kerja, bakal papa baca semuanya,” kilahnya selalu.

Sekarang papa sudah pensiun kerja, tapi buku-buku itu belum juga tersentuh olehnya. Sebenarnya saya tak jauh beda. Namun frekuensi membaca saya lebih tinggi darinya. Biasanya, saya membaca buku sejarah, kumpulan esai, atau kajian ilmiah untuk bahan penulisan. Sementara untuk novel, kumpulan cerpen dan lainnya, tergantung mood sedang ingin yang mana.

Buat saya, tak ada buku yang tak berguna. Bahkan buku dengan isi seburuk apa pun bisa jadi pembelajaran, ya agar kita tidak menulis seperti itu. Buku yang baik dapat memberi pengetahuan dan wawasan. Namun buku yang bagus buat saya dapat menggerakkan hati, membuat saya merenung seusai membacanya, dan mendorong saya membuka laptop untuk menulis lagi, berharap suatu hari saya bisa menghasilkan karya sebagus itu.

Ilustrasi rak buku.
Ilustrasi rak buku. Lubos Houska/Pixabay.

Karena itu, saya tak pernah menyesal menghabiskan ratusan ribu, atau bahkan jutaan rupiah untuk belanja buku. Di sisi lain, saya jadi agak alergi untuk meminjamkan buku. Buku adalah kawan seperjalanan, karib yang selalu mendorong kita untuk senantiasa haus akan ilmu. Rasanya ada yang salah bila kita merelakan buku di tangan orang lain, meski hanya sementara. Memang benar kata Gus Dur, “Meminjamkan buku kepada orang lain adalah perbuatan bodoh. Namun, mengembalikan buku yang kita pinjam adalah perbuatan orang gila!”

Dan memang, perkara meminjam dan mengembalikan buku bisa jadi begitu pelik. Saat masih kuliah semester 3 di Universitas Multimedia Nusantara (UMN), seorang dosen, Pak Ignatius Haryanto, pernah memberi saya komik opini Hidup itu Indah karya Aji Prasetyo. Itu jadi hadiah karena ujian tengah semester saya untuk mata kuliah Sejarah Jurnalistik Indonesia Modern mendapat nilai sempurna: 100. Saya tentu bangga sekali dan segera melahap komik itu hingga tuntas.

Tak lama, karib saya, Raff, bermaksud meminjam buku itu. Sebenarnya saya enggan, tapi kalau tidak dikasih kok rasanya pelit betul. Alhasil, saya pinjamkan buku itu dengan satu syarat: jaga baik-baik.

Kira-kira sebulan kemudian, Raff mengembalikan buku itu sembari cengar-cengir. Saya lihat, halaman awal buku itu – setelah sampul – telah berubah setengahnya jadi warna kecoklatan kusam.

“Kenapa nih?”

“Jatuh di kubangan, Bro.”

Bajingan memang si Raff.

Sampul buku Hidup itu Indah karya Aji Prasetyo.
Sampul buku Hidup itu Indah karya Aji Prasetyo.

Kali lain, saya pernah meminjamkan novel Perahu Kertas karya Dewi Lestari pada Vio, adik kelas di Teater KataK. Selewat dua tahun dan bertumpuk alasan “lupa bawa” baru ia kembalikan buku itu. Vio masih mending dibanding Fenny yang saya pinjamkan Premortem karya J. Angin pada pertengahan 2012. Hingga kini, buku itu belum juga balik ke tangan saya. Saya sampai pasrah dan malas menagih lagi.

Pernah pula saya pinjamkan buku dengan sistem barter. Saya berikan Syukur Tiada Akhir, biografi salah satu pendiri harian Kompas, Jakob Oetama, pada Lupita untuk keperluan skripsinya. Lalu Lupita meminjamkan saya A Magic Gecko: Peran CIA di Balik Jatuhnya Soekarno, mungkin maksudnya sebagai jaminan. Hingga kini, kami tidak pernah saling menagih dan saya pun sudah membeli buku Syukur Tiada Akhir yang baru

Saya memang jatuh cinta pada buku, dan kerap berangan bisa menerbitkan buku yang mampu membuat pembacanya merasakan hal serupa. Dahulu saya menargetkan bisa menelurkan karya setidaknya di usia jelang 30, ketika saya (harapannya) telah matang secara pengalaman dan teknik penulisan. Namun, nyatanya hal itu bisa terwujud lebih cepat.

Pada pertengahan 2014, saya berhasil menerbitkan buku Ayo Sekolah, Papua! bersama Tito Dirhantoro dalam rangka promosi program Relawan Guru Sobat Bumi yang didanai oleh Pertamina Foundation. Namun, distribusi buku itu toh hanya untuk kalangan internal pihak Pertamina Foundation.

Semua berubah kala saya mengikuti program Hibah Buku Nonfiksi dari Pindai.org. Pada akhir Juni 2015, saya mengirimkan kumpulan tulisan hasil reportase saya sebagai wartawan ataupun penulis lepas selama tiga tahun terakhir ke sana. Tak disangka, saya menang dan buku saya akan diluncurkan pada awal Desember mendatang.

Saya tentu senang bukan kepalang. Namun berulang kali keraguan menyertai. Seakan masih tak percaya, saya kerap bertanya, apakah benar kumpulan tulisan saya layak untuk dijadikan buku? Bagaimana bila mayoritas pembaca tak senang dengan isinya? Bagaimana bila Pindai.org salah menetapkan pilihan kepada saya?

Namun, keraguan itu sirna kala penyunting buku saya, Mas Fahri Salam, mengirimkan foto dummy buku saya beberapa hari lalu. Seakan muncul bunyi gong penanda mimpi saya sebentar lagi jadi nyata.

Sampul buku Menjejal Jakarta.
Sampul buku Menjejal Jakarta.

Kini, saya tetap harap-harap cemas. Rencananya, buku saya berjudul Menjejal Jakarta: Pusat dan Pinggiran dalam Sehimpun Reportase akan diluncurkan di toko buku Post, Pasar Santa, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, pada Minggu, 6 Desember 2015. Acara lanjutan berupa bedah buku saya pada kuliah umum kelas Indepth Reporting di kampus UMN pun akan berlangsung tiga hari berselang.

Semoga semua berjalan lancar, dan kawan-kawan bisa membeli buku saya itu nanti. Prinsipnya mudah saja: beli dulu, bacanya entah kapan.

Namun bila Anda telah meluangkan waktu dan menghimpun mood untuk melahapnya, jangan ragu-ragu untuk melontarkan kritik pada saya. Bila itu terjadi, saya akan sangat bersyukur.

***

Catatan
1. Buku Menjejal Jakarta bisa dibeli di MojokStore.com.

Bagikan

1 thought on “Beli Dulu, Baca Kemudian”

  1. Saya juga pembeli buku yang taat mas. Prinsipnya mudah saja: beli dulu, bacanya entah kapan. 😀

    Tak sabar nunggu bukunya rilis. Salam kenal! 🙂

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Scroll to Top