Sebagian orang terlahir dengan bakat alami untuk menjadi aktor. Akting mereka begitu ciamik meski tak memiliki pengalaman atau latar belakang pendidikan di bidang seni peran. Lalu, apakah itu berarti seseorang tak bisa berteater jika tak memiliki bakat? Belum tentu.
Nano Riantiarno, pendiri dan sutradara Teater Koma, sempat menyebutkan dua syarat bermain peran di atas panggung teater: memiliki bakat serta mengerti teknik dan teori. Karena itu, sekalipun tak berbakat, seseorang tetap bisa berteater selama ia tekun berlatih. Dengan terus berlatih, ia dapat memahami beragam teknik dalam berteater, baik yang berhubungan dengan blocking, aksi dan reaksi, olah tubuh, maupun olah suara, lalu menerapkannya dengan baik sesuai kebutuhan pementasan.
“Bakat adalah anugerah, sedang teknik hanya alat,” tulis Nano dalam bukunya yang berjudul Kitab Teater: Tanya Jawab Seputar Seni Pertunjukan (2011). “Bakat memang perlu, tapi penguasaan teknik bermain bisa menutupi kekurangan dalam hal bakat.”
Artinya, percuma saja berbakat jika tak rajin berlatih. Ibarat pisau, bakat yang tak diasah dengan latihan lama-lama akan berkarat. Menurut Nano, idealnya, seorang aktor teater harus mampu memadukan bakat dengan teknik. Namun, adakala aktor berbakat malah kebingungan, penampilannya justru memburuk setelah mengetahui teknik. Ini berarti, aktor tersebut tak mampu mengawinkan teknik berteater dengan bakatnya.
“Kalau hanya mengetahui teknik/teori permainan, mungkin tempatnya adalah guru akting,” tulis Nano. “Kalau punya bakat besar dan memilih akting sebagai pilihan utama dalam hidupnya, sampai tua pun dia akan bertahan. Kedua bekal itu (bakat dan teknik) bisa dimanfaatkan untuk jadi modal akting.”
Hal lain yang dapat menentukan kesuksesan aktor adalah adab. Bakat besar dan penguasaan teknik akan menjadi sia-sia bila, misalnya, aktor tak bisa menunjukkan kedisiplinan, menghargai rekan-rekannya, dan menjaga kekhusyukan saat menjalani proses latihan dan pementasan.
Dalam bukunya yang berjudul Akting Stanislavski (2019), Iswadi Pratama dan Ari Pahala Hutabarat membahas adab aktor dengan merujuk ajaran Konstantin Stanislavski, mahaguru teater asal Rusia. Iswadi dan Ari bilang, aktor tak akan bisa memaksimalkan kualitas aktingnya bila tak memahami etika.
Aktor harus bisa bersikap patut dan layak terhadap dirinya sendiri, lawan mainnya, sutradara, dan juga penonton. Ia mesti menjaga konsentrasi dan kedisiplinan, baik di panggung maupun di luar panggung, selama proses latihan maupun saat pementasan berlangsung. Dengan begitu, niscaya aktor dapat menciptakan “keadaan kreatif batiniah” yang memungkinkannya berakting secara jujur, benar, dan wajar, tak seperti kebanyakan pemain sinetron yang kerap pura-pura paham caranya berakting.
Merujuk penjelasan di atas, aktor harus mampu menghargai jadwal latihan yang telah ditetapkan. Sebisa mungkin, aktor tak boleh terlambat atau bahkan membolos dari agenda latihan. Saat latihan, aktor wajib meninggalkan seluruh masalah pribadinya untuk sementara, dan fokus pada usaha mematangkan kemampuan beraktingnya. Ia pun diharapkan mampu membangun kekhusyukan dan melihat panggung sebagai sesuatu yang sakral. Semuanya akan membantu aktor untuk mengakses dan mewujudkan seluruh unsur kreatif dalam dirinya dengan lebih mudah.
Selain itu, dalam bukunya yang berjudul Kunci Sukses Menjadi Aktor (2018), Elizabeth Lutters menekankan pentingnya kedisiplinan aktor dalam mempelajari naskah. Sebelum menjalani proses latihan, aktor harus mengerjakan pekerjaan rumahnya, yaitu mencoba memahami cerita dan menghafalkan dialog. Jika tidak, ia hanya akan menyusahkan rekan-rekannya saat berlatih.
Maka, bakat bukanlah segalanya. Tanpa teknik dan adab, aktor berbakat bisa jadi tak akan ke mana-mana.