Bila Akademisi Malas Meneliti

Ilustrasi.

Saldi Isra tak sabar mendengar jawaban Franz Astani. Menurutnya, Franz terlalu bertele-tele. Ironis, 11 gelar yang melengkapi nama Franz ternyata tak jadi jaminan baginya untuk meyakinkan para anggota tim pakar saat uji kelayakan dan kepatutan calon hakim Mahkamah Konstitusi pada Maret 2014.

Saat itu, Saldi bertanya soal bagaimana Franz mengidentifikasi dirinya sendiri dengan banyaknya gelar yang disandang. Karena jawaban Franz tak memuaskan, Saldi pun menyela, “Jangan berbelit-belit, Pak, langsung saja Anda mengidentifikasikan diri Bapak sebagai apa?”

Akhirnya, pria kelahiran Semarang, 2 Oktober 1953 tersebut mengidentifikasi diri sebagai seorang pakar hukum. Wajar bila Franz kebingungan, gelar S1 hingga S3 dari berbagai rumpun ilmu telah dimilikinya, dari teknik sipil, ekonomi, hukum, pemasaran hingga kenotariatan.

Tak hanya Saldi, anggota tim pakar lainnya, Musni Umar, juga melontarkan rasa heran sekaligus sentilan. “Saya cek, gelar Anda paling panjang, tetapi kontribusi tulisan Anda tidak ada. Ilmu dan gelar Anda tidak dimanfaatkan bagi orang lain, hanya untuk diri sendiri,” ujar Musni.

Rasa heran di benak Musni dirasa wajar oleh Guru Besar Antropologi Universitas Gadjah Mada, Heddy Shri Ahimsa-Putra. Menurut Heddy, hal ini bisa terjadi karena kurangnya inisiatif dan semangat untuk melakukan penelitian di kalangan intelektual.

“Masalahnya bukan soal dana penelitian, tapi kurangnya semangat dan niat untuk melakukan penelitian di masyarakat. Ada dua kemungkinan alasannya. Pertama, karena seseorang memang kurang mampu melakukan penelitian. Kedua, dosen-dosen di perguruan tinggi memiliki beban mengajar terlalu besar, sehingga tidak memiliki waktu untuk meneliti,” ujar Heddy.

Hal ini akhirnya berimbas pada tersendatnya produktivitas pembuatan jurnal ilmiah di Indonesia. Bahkan, sebuah survei keluaran Scientific American pada 1994 menunjukkan bahwa kontribusi para peneliti dan cendekiawan Indonesia pada dunia ilmu pengetahuan dan teknologi begitu minim: 0,012 persen. Di lain pihak, menurut hasil survei yang sama, Singapura berada jauh di atas Indonesia dengan tingkat kontribusi 0,179 persen. Lebih jauh, negara adidaya seperti Amerika Serikat berhasil meraih lebih dari 20 persen. Ini membuat posisi peneliti Indonesia jadi kian kecil saja di mata dunia.

“Bahkan, (jurnal ilmiah lokal) juga belum disertai abstrak dalam bahasa Inggris. Akibatnya jurnal ilmiah kita tidak begitu dihiraukan oleh dunia saintifik,” ujar Mudasir, peneliti Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam dari Universitas Gadjah Mada pada Antara, April 2014.

Karena itu, pada Januari 2012, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan mengeluarkan sebuah surat edaran yang mengatur agar tiap lulusan perguruan tinggi di Indonesia bisa menghasilkan sebuah makalah yang terbit dalam sebuah jurnal ilmiah. Lulusan S2 diharapkan dapat menerbitkannya di jurnal ilmiah nasional, dan skala internasional bagi lulusan S3.

Surat edaran itu menyebutkan, yang menjadi dasar ketentuan adalah minimnya jumlah karya ilmiah dari perguruan tinggi Tanah Air yang dibanding Malaysia hanya berjumlah sepertujuhnya.

Pada awal 2013, Singapura tercatat telah memiliki 94 jurnal internasional, 45 untuk Malaysia dan hanya 12 bagi Indonesia.

Padahal, pemerintah telah mengatur hal ini dalam Undang-undang nomor 12 tahun 2012 tentang pendidikan tinggi. Di sana disebutkan bahwa fungsi dan peran perguruan tinggi dilaksanakan melalui kegiatan tridharma: menyelenggarakan pendidikan, penelitian dan pengabdian kepada masyarakat.

Maka, penelitian menjadi hal wajib bagi para sivitas akademika di sebuah kampus, terutama untuk para tenaga pengajarnya. Hal ini diakui betul oleh Agustinus Prasetyantoko, dosen ekonomi Universitas Atma Jaya.

“Dosen di mana pun terikat dengan evaluasi penilaian kinerja yang disebut tridharma perguruan tinggi. Ini wajib dilaksanakan semua dosen, apalagi dosen yang sudah disertifikasi. Jadi, hukumnya wajib,” kata Agustinus.

Rudi Hartono Manurung, Sekretaris Jurusan Sastra Jepang Bina Nusantara, melontarkan hal senada. Di tempatnya mengajar, satu tim peneliti dari sebuah rumpun ilmu diwajibkan untuk membuat satu penelitian per tahun yang didanai secara internal ataupun eksternal.

“Selain itu, setiap semester, seorang faculty member juga wajib menghasilkan sebuah tulisan untuk satu jurnal humaniora yang disebut cultura lingua, di luar dari penelitian yang didanai,” ujar Rudi.

Hasil penelitian yang dikeluarkan sebuah kampus pun bervariasi. Di Atma Jaya, Agustinus menjelaskan soal dua tipe penelitian yang biasa dilakukannya bersama rekan-rekan seprofesi.

“Ada dua kelompok penelitian besar di Atma Jaya. Pertama untuk kelompok kebijakan, yang mana output-nya adalah rekomendasi kebijakan. Biasanya tipe ini dilakukan bekerja sama dengan lembaga multilateral seperti World Bank atau UNICEF. Lalu di kluster kedua ada riset akademik dengan output publikasi ke jurnal nasional ataupun internasional. Kalau dana risetnya dari pihak asing biasanya publikasinya internasional, tapi kalau dana internal kampus biasanya untuk nasional,” jelas Agustinus.

Beda halnya dengan Heddy yang biasa melaksanakan penelitian murni di Universitas Gadjah Mada. Maksudnya, penelitian yang dilakukan bersifat lebih teoritis dengan mengambil wacana teraktual yang sedang berkembang di dunia ilmiah sehingga tidak melulu bersinggungan dengan kebijakan pemerintah.

“Penelitian murni itu topiknya lebih bebas dan menurut saya itu lebih penting buat rekan-rekan serta juga memiliki kontribusi keilmuan. Penelitiannya biasanya didanai pemerintah entah dari departemen kehutanan, kebudayaan dan lainnya,” ujar Heddy kembali.

Lalu, karya yang dihasilkan para peneliti juga bisa memiliki berbagai macam varian skala. Hal ini sesuai dengan yang diungkapkan salah seorang staf Direktorat Riset dan Pengabdian Masyarakat Universitas Indonesia, Dina.

“Hasilnya kalau dari DRPM bisa berupa jurnal ilmiah nasional terakreditasi ataupun jurnal internasional. Ada juga jurnal nasional tidak terakreditasi, tapi kami harapkan seluruhnya minimal bisa terakreditasi,” tutur Dina.

Guru Besar juga wajib untuk meneliti dan menghasilkan karya secara konsisten. Karena itu, ia bisa mendapat tunjangan dari pemerintah sebesar 10 hingga 13 juta rupiah per bulan untuk mendukung riset yang dilakukan. Namun bila ia berhenti berkarya secara kontinyu, tunjangannya otomatis dihentikan oleh pemerintah.

“Guru Besar punya tanggung jawab untuk menulis buku atau sekadar membuat bahan ajar setidaknya setahun sekali. Tuntutan itu datang dari pihak internal Atma Jaya karena ada tunjangan untuk hal itu juga, baik dari kampus dan pemerintah. Namun kalau ia tidak menghasilkan karya dalam waktu lama, tunjangannya akan dihentikan,” kata Agustinus kembali.

Lebih jauh, diakui pula oleh Rudi bahwa tunjangan yang didapat oleh Guru Besar atau dosen bersertifikat adalah sebuah peningkatan kemampuan ekonomi sebagai imbas kenaikan strata akademisnya sendiri.

Walau begitu, dengan berbagai dukungan terhadap proses penelitian, nyatanya perguruan tinggi di Indonesia – entah negeri ataupun swasta – belum dapat mendorong pertumbuhan jurnal ilmiahnya secara signifikan.

Lima perguruan tinggi negeri terbaik 2014 versi 4International College and Universities (4ICU) secara berurut adalah Institut Teknologi Bandung, Universitas Gadjah Mada, Universitas Indonesia, Universitas Brawijaya dan Universitas Sebelas Maret. Sementara itu untuk perguruan tinggi swasta terbaik secara beruntun adalah Universitas Gunadarma, Bina Nusantara, Universitas Mercu Buana, Universitas Muhammadiyah Yogyakarta dan Universitas Atma Jaya.

Namun, dalam daftar jurnal ilmiah yang terakreditasi Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi (Dikti) pada periode 2011-2013, hanya ada beberapa nama dari daftar lima besar perguruan tinggi di atas yang secara rutin menelurkan jurnal terbarunya.

Universitas Indonesia dan Universitas Gadjah Mada menjadi penyumbang terbanyak dengan jumlah masing-masing 15 dan 12 jurnal. Sementara itu Institut Teknologi Bandung berhasil mengeluarkan lima jurnal, dan masing-masing satu jurnal untuk Universitas Brawijaya dan Universitas Muhammadiyah Yogyakarta.

Selain itu, surat edaran dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan untuk menggalakkan pembuatan makalah untuk penerbitan jurnal ilmiah juga dirasa banyak pihak tidak berjalan secara efektif.

“Belum ada obligasi atau kewajiban mengikat bagi para mahasiswa S1 Atma Jaya untuk melakukan hal itu. Jadi, secara umum kita belum terlalu melaksanakannya. Namun, untuk S2 dan S3 sudah mulai dijalankan,” tutur Agustinus.

Peneliti Pusat Pengkajian Komunikasi dan Media sekaligus dosen komunikasi politik Universitas Islam Negeri, Gun Gun Heryanto, berujar bahwa tujuan dari diedarkannya ketentuan tersebut sesungguhnya positif. Namun, ia sendiri baru bisa menyetujuinya di level gagasan saja.

“Sebenarnya niatnya bagus, supaya teman-teman yang jadi akademisi punya produktivitas karya yang juga kredibel. Karyanya itu juga akan dihargai dan diapresiasi. Saya setuju di level gagasan, tapi gagasan yang bagus itu seharusnya juga ditunjang oleh peran pemerintah untuk mendongkrak terbitan jurnal-jurnal kredibel di level internasional,” kata Gun Gun.

Selain itu, masalah lain yang muncul di pembuatan jurnal ilmiah Indonesia menurutnya adalah tiadanya keseragaman panduan pembuatan di berbagai perguruan tinggi. Hal itu dapat dilihat dari cara penulisan footnote atau kesepakatan jumlah bidang ilmu yang berbeda-beda di jurnal ilmiah keluaran berbagai kampus.

Kemudian, hal itu juga dirasa akan membebani mahasiswa untuk mencapai kelulusan, khususnya untuk yang mengikuti program S3. “Prosedur yang harus dilakukan untuk membuat sebuah jurnal internasional sangatlah panjang dan sulit. Lalu bayangkan, setiap tahunnya akan ada ratusan mahasiswa S3 yang mengantre untuk bisa menerbitkan tulisannya dalam jurnal internasional,” ujar Gun Gun.

“Akhirnya ide yang bagus secara praktis tidak mudah direalisasikan. Dampaknya, sekolah di dalam negeri bisa jadi lebih lama dibandingkan dengan sekolah di luar negeri.”

Kewajiban penerbitan jurnal ilmiah juga dianggapnya berpotensi memicu berbagai masalah lain. Misal, dapat muncul banyak jurnal berkualitas di bawah rata-rata karena hanya ingin memenuhi syarat kelulusan kampus. Lalu, dapat muncul pula proyek-proyek sampingan baru yang membuat kita harus membayar mahal di luar ketentuan yang ada untuk menerbitkan sebuah jurnal ilmiah.

Setelahnya, Gun Gun juga menjabarkan soal perubahan budaya yang harus dihadapi masyarakat Indonesia yang akhirnya berimbas pada lemahnya kemampuan membaca dan menulis bagi individu.

“Ada social jumping di masyarakat kita dari masyarakat agraris ke era industri informasi televisi yang meninabobokan banyak orang. Hal ini menciptakan sebuah blind spot di bagian literasi media masyarakat, sehingga prosesnya menjadi patah. Karena, seharusnya ada sebuah tahapan gradual di sana sebelum masyarakat masuk ke era saat ini,” jelas Gun Gun.

Untuk itu, ada beberapa hal yang harus dilakukan pemerintah agar bisa memperbaiki keadaan saat ini. Pertama, Gun Gun menegaskan bahwa pemerintah harus menganggap dosen sebagai aset yang senantiasa mesti diberdayakan. Maka, pelatihan serta pembaruan metode penelitian diharap dapat diberikan pada para dosen secara konsisten.

“Lalu, pemerintah saya harap juga jangan terlalu birokratis dalam tahapan jenjang karir akademis. Saya sendiri sempat merasakan saat mengurus pengajuan Lektor Kepala. Prosesnya baru selesai selewat dua tahun. Bahkan ada yang ditolak walau berkas-berkas dan persyaratannya sudah lengkap sehingga jadinya tidak masuk di akal,” tegas Gun Gun.

Walau begitu, Gun Gun tetap menekankan bahwa kemauan untuk mulai menulis karya harus dimulai dari diri sendiri. “Kita harus menulis agar regenerasi tokoh intelektual publik bisa terus berjalan. Publikasikan, atau kita akan hilang begitu saja.”

Bila begitu, rasanya Franz harus segera mulai menulis atau ia akan hilang ditelan zaman dengan sendirinya.

***

Catatan
1. Tulisan ini pertama dimuat di media online GeoTimes.co.id.

Bagikan

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Scroll to Top