Hal yang terjadi di luar nalar kerap membuat kita bertanya-tanya. Alhasil, pembuktian dilakukan untuk memenuhi nafsu logika. Bila tak berhati-hati, yang tak terjawab bisa jadi mendorong kita semakin terjerembap.
Sama halnya dengan apa yang menimpa Budi. Awalnya Budi tidak percaya, tapi karena penasaran, ia tergerak untuk membuktikan sendiri kesaktian cakar monyet yang diterima dari kawan lamanya, Untung. Budi meminta uang ratusan juta rupiah pada cakar monyet itu. Yang Budi tak tahu, uang itu bakal datang dengan tumbal nyawa Agus, anaknya sendiri.
Kisah mengenai Budi merupakan saduran dari cerpen horor The Monkey’s Paw karya W.W. Jacobs, sastrawan asal Inggris. Kelompok Mainteater Bandung mencoba mengadaptasi kisah tersebut ke konteks Indonesia masa kini dalam lakon Cakar Monyet yang dimainkan di Helateater Salihara 2014, tepatnya pada 4-5 April di Teater Salihara, Jakarta.
Hasilnya, pentas yang ada jadi penuh dengan kearifan lokal. Salah satunya bisa dilihat dari asal muasal cakar monyet yang dibawa oleh Untung, pensiunan tentara yang bekerja sebagai kepala keamanan di sebuah perusahaan pertambangan di Kalimantan. Untung mengatakan, ia mendapatkan cakar monyet itu dari seorang kawan. Benda mistis itu telah diberi jampi oleh dukun dan telah dibuktikan keampuhannya.
Memang, banyak cerita mistis dari Kalimantan, entah yang terkait kiriman santet, ilmu kebal, atau sosok siluman menyeramkan. Karena itu, pemilihan latar Kalimantan jadi terasa sesuai untuk pentas Cakar Monyet.
Dan, seperti banyak kisah mistis lainnya, setiap pemenuhan angan instan biasanya harus dibayar dengan harga yang tinggi. Tentu, tidak ada makan siang gratis. Masalahnya, inilah yang tidak Budi sadari kala tergiur dengan kesaktian cakar monyet.
“Dukun ingin memperlihatkan pada kita bahwa takdir bisa diatur manusia. Siapa pun bisa mengatur takdirnya sendiri untuk memperoleh kesenangan,” ujar Untung pada Budi.
Budi tergoda, dan mulai memikirkan apa yang harus ia minta untuk dikabulkan.
“Jangan coba-coba ah, ini bukan main catur. Nanti ayah kalah loh,” ujar sang istri memperingatkan.
Budi tak peduli. Ia putuskan untuk meminta uang sejumlah Rp 125 juta agar bisa membeli sebidang tanah di dekat rumah.
Keesokan harinya, Agus mengalami kecelakaan di tempatnya kerja dan meninggal seketika. Budi dan istrinya begitu terpukul mendengar kabar ini. Di tengah duka yang sedang menyelimuti setelah acara pemakaman Agus, tiba-tiba datang dua rekan kantornya melayat ke rumah. Mereka bermaksud memberikan biaya sumbangan dan tunjangan yang ada sebagai bentuk bela sungkawa kantor terhadap kepergian Agus.
Sontak, sang istri pingsan saat mengetahui jumlah uang yang ia dan Budi dapat dari sumbangan serta tanggungan asuransi adalah Rp 125 juta.
Cerita pun berlanjut makin konyol. Sang istri memaksa Budi meminta kembali pada cakar monyet agar anak mereka pulang. Dengan enggan Budi melakukannya. Namun, saat terdengar ketukan pintu dari depan rumah, Budi ketakutan dan meminta cakar monyet mengembalikan anaknya ke kuburan.
Di penghujung cerita, sang istri yang telah hancur lebur mendadak mendapat ide. Budi telah menghabiskan seluruh jatah permintaannya. Sekarang tiba gilirannya untuk memberi permohonan. Sang istri mengangkat cakar monyet tinggi-tinggi, dan tiba-tiba gelap melabrak. Pentas pun usai.
Keserakahan-lah yang akhirnya menjerumuskan keluarga Budi ke jurang kemalangan dan kehancuran. Keluarga yang sebenarnya telah hidup damai tanpa kekurangan sebelum kedatangan Untung dan si cakar monyet.
“Ada benturan modernisme dan tradisionalisme di sini. Keluarga ini tadinya mengultuskan logika, tiba-tiba dengan kejadian yang serba kebetulan akhirnya mereka goyah. Ada upaya untuk mengejar kepastian takdir dan mistis dan mereka terjebak di situ. Akhirnya tidak ada habisnya, yang berawal dari keserakahan dan upaya menolak takdir,” ujar Sahlan Bahuy (29), asisten sutradara sekaligus ketua Mainteater Bandung usai pentas.