November 1998, situasi Liverpool sedang tidak stabil. Duet manajer Gerard Houllier dan Roy Evans tak mampu mengangkat performa tim secara keseluruhan di berbagai ajang kompetisi. Setelah kekalahan 1-3 dari Tottenham Hotspur di Piala Liga, Evans mengundurkan diri. Sejak itu Houllier memegang penuh kendali kemudi.
Houllier melakukan perombakan besar-besaran. Ia mencanangkan program lima tahun kerja untuk membangun ulang Liverpool, dari penerapan taktik hingga struktur dan mental para pemain. Wajar, sudah hampir satu dekade berlalu sejak terakhir kali tim tersebut mencicipi gelar juara Liga Inggris.
Pada musim panas 1999 Houllier melepas para “spice boys” yang lebih gemar berpesta dibandingkan tampil maksimal di lapangan. Nama-nama besar ada di dalamnya, termasuk Paul Ince, David James, Jason McAteer, dan Steve McManaman. Di sisi lain, Houllier mendatangkan pemain mancanegara untuk menambal lubang-lubang di tim Liverpool, dari Sami Hyypia, Dietmar Hamann, hingga Vladimir Smicer.
Tak hanya itu, Houllier juga mempromosikan beberapa pemain muda potensial dari akademi Liverpool. Misalnya kala membutuhkan seorang sayap kanan, ia segera menghubungi Steve Heighway yang banyak mengurus pengembangan tim yunior saat itu. Heighway pun merekomendasikan pemain didikannya dari tim U-19.
“Dia meminta saya datang menyaksikan pertandingan yang melibatkan Richie Partridge. Pemain muda itu dianggap mampu jadi jawaban bagi masalah kami di sisi kanan lapangan,” kata Houllier.
“Saya rasa itu adalah pertandingan U-19 melawan Blackburn. Saya ingat di tengah lapangan ada seorang remaja yang tak saya kenal berlarian ke mana-mana, berteriak pada orang-orang, dan bertingkah selayaknya pemimpin. Ia cepat, bisa menekel, dan mampu memberikan operan dengan sigap.”
Ia adalah Steven Gerrard.

Houllier sontak jatuh hati pada permainan Gerrard muda di lapangan. Tak lama kemudian Gerrard segera dijajal bermain dalam tim utama. Ia melakoni debut bagi Liverpool pada 29 November 1998 di Liga Inggris, juga melawan Blackburn.
Tak hanya Houllier, para staf dan fans Liverpool tahu saat itu mereka memiliki aset berharga dalam diri Gerrard. Karena itu, sang pemain dijaga betul perkembangannya, dari pola permainan hingga pergaulan. Ini terlihat dari pernyataan Houllier pada Mei 2001.
“Masa 10 tahun ke depan bisa jadi yang terbaik bagi hidup Steven, tapi ia mesti hidup untuk pekerjaannya sebagai pemain sepak bola,” kata Houllier. “Jika teman-temannya ingin pergi ke klub malam, biarkan mereka pergi sendiri. Pada waktunya nanti ia akan sukses dan mampu membeli satu klub malam bagi dirinya sendiri.”
Pada musim 2000/2001 Gerrard memang telah sukses menembus tim inti Liverpool. Ia tampil sejak menit awal dalam 50 laga dan sukses membantu tim menjadi juara di tiga ajang berbeda: Piala Liga, Piala FA, dan Piala UEFA.
Pada Oktober 2003 Houllier bahkan menunjuk Gerrard sebagai kapten Liverpool. Kala itu usia Gerrard baru menginjak 22 tahun. Ia jadi suksesor Hyypia, bek asal Finlandia yang delapan tahun lebih tua. Alasannya sederhana, jabatan kapten kala itu justru membebani Hyypia, sedangkan Gerrard sebaliknya.
“Stevie adalah pemimpin alami dan saya rasa jabatan kapten akan meningkatkan level permainannya,” kata Houllier.
Benar saja, sejak itu Gerrard menjadi tulang punggung tim baik di dalam maupun luar lapangan. Para pemain lain datang dan pergi, tapi ia terus bertahan, memikul beban berat untuk mengembalikan kejayaan Liverpool di Liga Inggris.
Bersama Houllier, harapan itu sempat membubung. Apalagi pada musim 2001/2002 Liverpool berhasil meraih Piala Super Eropa dan menjadi runner-up Liga Inggris, hanya terpaut 7 poin di belakang Arsenal yang keluar sebagai juara.
Namun, romansa itu tak bertahan lama. Dua musim berselang, kritik deras justru mengampiri Houllier. Pemilihan taktik dan strategi transfer pria asal Prancis itu dinilai tak efektif hingga hubungannya kian memburuk dengan para penggemar. Pada Mei 2004 ia pun angkat kaki dari Liverpool.
Rafael Benitez diangkat sebagai manajer baru. Ia menerapkan gaya berbeda dengan menekankan operan pendek dan penguasaan bola dibandingkan melakukan banyak umpan panjang langsung ke lini depan. Xabi Alonso dan Luis Garcia direkrut untuk menambah kekuatan lini tengah, sementara posisi Gerrard diubah sedikit lebih menyerang. Tak sulit bagi Gerrard untuk beradaptasi dalam skema baru Benitez. Baginya, kepentingan tim adalah segalanya. Apa pun akan ia lakukan demi mencapai kemenangan.
Sejak awal Benitez telah terkesan oleh pembawaan Gerrard. Pada perjumpaan pertama dengan sang kapten, ia menjelaskan soal ide dan taktik yang akan dibawanya pada tim. Ia juga bertanya apa yang bisa Gerrard berikan bagi tim.
“Steven menjawab ‘gairah’,” kata Benitez.
Gairah itulah yang membuat Gerrard pantang menyerah dalam situasi sesulit apa pun. Seperti kala Liverpool tertinggal 0-3 di akhir babak pertama final Liga Champions 2005 melawan AC Milan. Semua mengira Liverpool telah habis, tak akan mampu berbuat banyak di babak kedua, atau justru tertinggal makin jauh dengan skor lebih memalukan.
Namun Gerrard memimpin orkestra kebangkitan Liverpool kala itu dengan golnya pada menit ke-54. Setelah itu ia bagai kesetanan; mengejar bola, menekel, mengumpan, dan bahkan sempat bermain sebagai bek kanan. Smicer dan Alonso pun sukses menyamakan kedudukan menjadi 3-3. Permainan berlanjut hingga adu tendangan penalti yang dimenangi Liverpool.

“Setelah final di Istanbul itu, ia mengatakan kepada saya dan para staf pelatih, ‘Anda harus bisa membuat saya jadi gelandang terbaik di dunia’. Itu menunjukkan seberapa besar ambisinya dan juga seberapa keras ia mau berusaha,” kata Benitez.
Lalu hal sama terulang setahun kemudian pada final Piala FA 2006 melawan West Ham United. Sempat tertinggal dua gol, Gerrard menyumbang satu assist dan satu gol untuk kembali menyamakan kedudukan. Bahkan ketika Liverpool kembali tertinggal, ia sukses mencetak gol lagi pada menit ke-91 melalui tendangan jarak jauh. The Reds pun menjadi juara lewat adu tendangan penalti.
Atas segala prestasinya itu, Gerrard mendapat gelar kebangsawanan Member of the Order of The British Empire (MBE) pada akhir 2006. Namun ia belum puas. Hampir seluruh gelar bergengsi yang bisa diraih seorang pesepak bola di level klub telah didapatnya, kecuali Liga Inggris. Paceklik gelar Liverpool di ajang ini telah berlangsung begitu lama. Bahkan pada 2011 Manchester United berhasil menyalip rekor gelar juara terbanyak yang sebelumnya dipegang Liverpool dengan raihan 18 trofi.
Harapan kembali muncul kala Brendan Rodgers mengambil alih tim pada 2012. Rodgers mengubah gaya tim menjadi lebih menekan dan ofensif. Umpan pendek terus mengalir berpusat pada Gerrard di tengah serta Luis Suarez di depan. Gol-gol pun terus berdatangan, menutupi lubang besar di pertahanan Liverpool.
Pada musim 2013/2014 semua bahkan terlihat sempurna bagi Gerrard. Hingga pekan ke-34 Liga Inggris, Liverpool masih memimpin klasemen dengan keunggulan 2 poin atas Chelsea di posisi kedua serta 7 poin atas Manchester City di tempat ketiga. Saat itu mereka baru saja memenangi pertandingan melawan Manchester City dengan skor 3-2.
Di akhir laga Gerrard tak mampu menahan emosi. Ia menangis terharu melihat perjuangan timnya. Tinggal empat pertandingan lagi, dan apa pun bisa terjadi. Namun ia tak mau terlena. Gerrard mengumpulkan rekan-rekan setimnya seusai pertandingan dan berujar lugas, “Ini telah berlalu. Kita akan pergi bertanding ke Norwich dan melakukan hal yang sama. Dengar, kita tak akan tergelincir!”

Wajar bila Gerrard terlihat begitu menggebu. Usianya hampir menginjak 34 tahun. Bila Liverpool tak juara saat itu, mungkin tak akan ada lagi kesempatan lain. Sayang, kenyataan tak seindah harapan. Pada pekan ke-36 mereka berjumpa Chelsea dan yang ditakutkan benar terjadi.
Pada masa perpanjangan waktu babak pertama, Mamadou Sakho memberikan umpan pendek pada Gerrard di tengah lapangan. Umpan mendatar yang seharusnya bisa diantisipasi dengan mudah, terutama oleh pemain sekelas Gerrard. Lalu di saat itulah Gerrard tergelincir. Bola direbut penyerang Chelsea, Demba Ba, yang kemudian diteruskan menjadi gol. Di akhir laga Liverpool kalah 0-2.
Pada akhir musim itu Manchester City keluar sebagai juara. Seluruh harapan Gerrard pupus karena blunder yang dibuatnya. “Setelah itu saya mengalami masa tiga bulan terberat dalam hidup saya,” katanya.
Semusim berselang, kondisi berbanding terbalik. Suarez pergi ke Barcelona dan Gerrard kian rentan cedera. Performa Gerrard di lini tengah juga tak sedominan biasanya. Masalah usia menjadi faktor utama. Karena itu Liverpool terpuruk. Hingga pekan ke-20 di musim 2014/2015 mereka hanya di posisi ke-8 klasemen sementara Liga Inggris.
“Saya menyesal tidak bertemu Brendan saat saya masih berusia 24 tahun, karena saya pikir bila itu terjadi kami akan memenangi banyak gelar bersama,” kata Gerrard. “Kenyataannya, Brendan datang ke klub ini ketika saya telah berusia 32 tahun.”
Rodgers juga tak punya banyak pilihan. Ia berbicara langsung dengan Gerrard dan mengatakan bahwa sang kapten bukan lagi pilihan utama dalam tim. Dengan kondisi fisik saat ini, Gerrard tak lagi bisa membawa tim menang sendirian setiap minggu. Ada ruang yang mesti disisihkan untuk pengembangan pemain muda demi prospek jangka panjang tim.
Gerrard menyadari sepenuhnya hal tersebut. Namun, tetap saja ada lubang besar yang tercipta tak lama setelahnya. Tiba-tiba kekosongan menyapa. Inilah yang mendorongnya untuk membuat pengumuman penting pada 1 Januari 2015. Gerrard memutuskan pergi dari Liverpool pada akhir musim nanti. Saatnya telah tiba.

Gerrard akan hijrah ke klub Amerika Serikat, LA Galaxy, meninggalkan Liverpool, yang dibelanya sejak ia berusia 8 tahun. Ia ingin memulai petualangan baru, sebelum benar-benar menutup karier sebagai pemain sepak bola.
Mungkin Gerrard lelah hidup seperti Sisifus, tokoh dalam mitologi Yunani yang dihukum para dewa untuk terus menerus mendorong batu besar hingga ke puncak gunung. Setelah batu itu jatuh ke bawah oleh beratnya sendiri, Sisifus harus terus mengulangi mendorong batu tanpa henti, lagi dan lagi. Dari sana, kita bisa membayangkan Sisifus berbahagia. Ia tidak pernah berhenti karena perjuangan itu dianggap telah cukup untuk mengisi hati manusia.
Belasan tahun Gerrard memanggul beban berat untuk menunaikan tugas membawa Liverpool menjuarai Liga Inggris. Namun ia selalu terjatuh, lagi dan lagi. Walau begitu, bukan berarti perjuangannya tak berarti. Hingga kini, hampir 700 laga telah dilakoni bersama Liverpool dengan sumbangan tak kurang dari 180 gol. Segala daya ia kerahkan untuk mengharumkan nama klubnya itu. Misinya tak pernah usai, tapi perjuangannya telah cukup untuk mengisi hati para penggemarnya.
***