Enam bocah dari akademi Manchester United memperhatikan dengan saksama. Ruud van Nistelrooy sedang memberi contoh, mengajarkan bagaimana melakukan teknik “Roller Coaster” dengan baik. Secara teori, mudah saja. Geser sedikit bola ke arah kiri, lalu saat lawan coba menerjang, tarik bola sembari berputar menjauh ke kanan.
Namun, dalam praktiknya tak semudah itu. Nistelrooy memanggil bocah yang paling tinggi di antara rekan-rekannya untuk maju dan menjajalnya sendiri. Percobaan pertama, gagal. Bolanya tersangkut di kaki dan tertinggal di belakang.
“Tak apa. Kau baru sekali mencoba. Sekarang, coba lagi,” kata Nistelrooy.
“Dengar, ini penting. Banyak hal bisa berjalan dengan salah, karena kau tak bisa jadi sempurna di tiap pertandingan. Kau akan membuat kesalahan. Tapi jangan pedulikan itu. Setelah kau membuat kesalahan, segera lupakan, lalu coba lagi dan lagi. Jangan pernah berhenti mencoba.”
Tersenyum kecil, sang bocah mencoba sekali lagi. Kali ini sukses. Ia melewati Nistelrooy lalu menceploskan bola ke gawang kosong. “Bagus,” kata Nistelrooy.
Nama bocah itu adalah Danny Welbeck.
Adegan ini terekam dalam video Play Like Champions yang dirilis United pada 2003. Tak hanya Nistelrooy, beberapa pemain senior United lainnya ikut turun tangan langsung melatih para bocah akademi. Ada Ryan Giggs, Paul Scholes dan juga Roy Keane. Dengan begitu, diharapkan para bocah akademi dapat menyerap ilmu langsung dari para pemain top United dan tumbuh jadi pemain besar di kemudian hari.
Kira-kira lima tahun berselang, Welbeck berhasil menembus tim utama. Ia melakoni debut resmi untuk United pada 23 September 2008 melawan Middlesbrough di Piala Liga. Namun, namanya baru benar-benar mencuat kala ia menjalani debut di Liga Inggris melawan Stoke City dua bulan berselang.
Pada menit ke-84, Welbeck mencetak gol melalui tendangan keras dari jarak sekitar 27 meter. Nama Welbeck bergaung keras di Old Trafford. Para pendukung United yakin, bintang baru telah lahir malam itu.
Tak ada yang menyangka, selewat hampir tujuh tahun kemudian ceritanya telah berbeda. Pada 9 Maret 2015, Welbeck berjalan masuk ke Old Trafford untuk menjalani babak perempat final Piala FA dengan seragam Arsenal, melawan United.
Pada awal musim 2014/2015, Welbeck tersingkir dari United karena kedatangan pelatih baru Louis van Gaal. Ia dianggap kalah kualitas dibanding barisan penyerang top United lainnya seperti Wayne Rooney, Robin van Persie dan Radamel Falcao.
“Ya, Danny Welbeck telah berada di sini sejak berusia sembilan tahun,” ujar van Gaal. “Namun dia tak memiliki rekor gol seperti van Persie atau Rooney, padahal itu adalah standar kami. Itulah kenapa kami membiarkannya pergi, juga karena Falcao, serta untuk memberi ruang bagi para pemain muda lainnya.”
Namun Welbeck seakan kembali untuk membalas dendam. Pada menit ke-61 pertandingan perempat final Piala FA di Old Trafford, Senin (9/3/2015), Antonio Valencia memberikan umpan datar kepada David De Gea. Terlalu pelan, bola bergulir di antara kejaran Welbeck dan De Gea. Welbeck berlari sekuat tenaga. Di saat-saat akhir kaki kanannya berhasil menyentuh bola hingga melewati kiper asal Spanyol itu. Welbeck pun sukses mencetak gol ke gawang kosong.
Pendukung United terhenyak. Pendukung Arsenal bersorak. Welbeck berlari ke pinggir lapangan merayakan gol bersama Santi Cazorla, Alexis Sanches, dan Mesut Ozil. Raut girang membuncah di wajahnya.
Laga berakhir dengan skor 2-1 untuk klub anyar Welbeck. United pun tersingkir dari Piala FA dan terancam nihil gelar kembali seperti musim lalu. Padahal, terakhir kali mereka puasa trofi selama dua musim beruntun adalah 27 tahun silam, di masa-masa awal kepemimpinan Sir Alex Ferguson.
Sejak Fergie memutuskan untuk pensiun, United memang seakan kehilangan daya gigitnya, mental juaranya, dan bahkan aura yang membuatnya disegani lawan. Dulu, mereka punya kemampuan untuk menang dengan tim seadanya. Kini, mereka bisa kalah walau menurunkan tim serba ada.
Padahal, dalam dua musim terakhir United telah menghabiskan setidaknya 210 juta poundsterling untuk belanja pemain. Banyak di antaranya dibeli dengan harga fantastis, di luar kebiasaan United era Fergie.
Dalam mimpi terliarnya sekali pun, pendukung United tak akan berani membayangkan Fergie akan mengeluarkan 27 juta poundsterling masing-masing untuk Marouane Fellaini dan Luke Shaw. Fergie juga tak akan sudi memecahkan rekor transfer hingga 60 juta poundsterling hanya untuk membeli seorang pemain, walau pemain itu bernama Angel Di Maria. Ia lebih suka membeli pemain muda tak terkenal seharga beberapa juta, membinanya, lalu menjualnya seharga 60 juta.
Akibatnya, kini United justru terlihat seperti Real Madrid sembilan tahun lalu. Pada pertengahan 2006, Real menunjuk Fabio Capello sebagai manajer baru untuk menghentikan puasa gelar yang telah terjadi selama tiga musim beruntun. Segera saja Capello menggelontorkan 100 juta euro untuk belanja pemain.
Masing-masing 10 juta euro dikeluarkan untuk membeli duet pemain uzur, Fabio Cannavaro dan Emerson, 26 juta euro untuk pembelian panik Mahamadou Diarra dalam rangka pencarian suksesor Claude Makelele, serta 40 juta euro untuk tiga pemain muda latin miskin pengalaman di Eropa, Marcelo, Fernando Gago dan Gonzalo Higuain.
Sebelumnya, di Real telah ada Antonio Cassano, mantan anak emas Capello di AS Roma. Mirip dengan keberadaan van Persie di United, yang notabene adalah anak emas van Gaal di tim nasional Belanda. Selain itu, Cannavaro adalah pemain bertahan favorit Capello saat masih melatih Juventus dahulu. Sama dengan Daley Blind bagi van Gaal di Belanda. Saat itu, Zinedine Zidane, metronom andalan Real, juga baru saja pensiun. Sama halnya seperti Paul Scholes di United.
Capello dan van Gaal juga sama-sama pelatih keras kepala yang berani mempertahankan filosofinya walau mesti dipecat oleh timnya. Di Real, Capello bersikeras menerapkan gaya main pragmatis untuk mencapai kemenangan. Ia juga berani mencadangkan David Beckham dan Ronaldo, dua pemain favorit sang presiden, Florentino Perez. Hasilnya, Capello dipecat walau berhasil membawa Real jadi juara liga di akhir musim 2006-2007. Alasannya, Real bermain kurang indah.
Sedikit berbeda dengan van Gaal di United. Ia kukuh memainkan formasi tiga bek walau selama puluhan tahun terakhir United identik dengan pola 4-4-2. Ia pun ngotot meminta timnya memainkan bola dengan umpan-umpan pendek dari lini pertahanan sendiri, walau pemain seperti Phil Jones dan Jonny Evans lebih paham caranya melanggar lawan. Alhasil, United jarang bermain konsisten dan terus tercecer dari perburuan gelar juara atau bahkan perebutan zona Liga Champions.
Untuk bermain dengan filosofi yang diinginkan, kedua pelatih itu butuh pemain yang bisa bermain dengan cara yang tepat, yang mampu menerjemahkan instruksi menjadi solusi. Terbatasnya sumber daya dalam tim membuat mereka berpaling membeli pemain dari luar.
Padahal, Real dan United sama-sama punya reputasi sebagai pencetak pemain muda andal. Tengok saja nama-nama seperti Raul Gonzales, Iker Casillas dan Guti Hernandez. Mereka adalah lulusan akademi Real yang mencuat pada akhir 1990-an dan awal 2000-an lalu sukses jadi tulang punggung tim dalam waktu lama. Mereka adalah ikon yang begitu dibanggakan.
Namun setelah lewat generasi Raul, Real belum lagi mencetak pemain muda top yang langsung jadi andalan tim. Kebanyakan justru bersinar setelah dibuang ke tim lain. Sebut saja Esteban Cambiasso di Inter Milan, Alvaro Arbeloa di Liverpool (sebelum ditarik pulang ke Real), Roberto Soldado di Valencia, dan Juan Mata di Chelsea. Jangan buang waktu untuk membahas Francisco Pavon, Javier Portillo atau bahkan Jose Manuel Jurado.
Tak jauh beda, United selalu membanggakan angkatan 1992 akademinya yang menghasilkan generasi emas seperti Beckham, Giggs, Scholes dan Neville bersaudara. Namun setelahnya, hanya ada pemain-pemain yang kelewat dibanggakan dan perkembangannya tak sesuai harapan. Darren Fletcher selalu berada dalam bayang-bayang Keane dan Scholes, serta terlalu mudah cedera. John O’Shea lamban. Wes Brown gemar membuat blunder. Tom Cleverley tak berani memegang bola lebih dari lima detik. Evans sering demam panggung. Bebe hanya pura-pura bisa main sepak bola.
Sementara itu beberapa pemain yang sempat masuk akademi justru telat dipromosikan atau diberi kepercayaan hingga pindah dan unjuk gigi di tim lain. Gerard Pique tentu tak akan menyesal meninggalkan United menuju Barcelona. Kini Paul Pogba jadi tulang punggung lini tengah Juventus bersama Andrea Pirlo. Lalu Welbeck, justru kembali menemukan jalannya di Arsenal.
Para pemain ini pergi karena kalah saing dengan nama-nama besar di tim utama. Selain itu, sepak bola modern menuntut mereka untuk berkembang lebih cepat dari seharusnya. Semua ingin melihat Lionel Messi atau Cristiano Ronaldo baru yang “meledak” sejak remaja dan telah jadi tulang punggung tim saat baru beranjak dewasa.
Bila sudah begitu, mereka hanya bisa pergi dan memulai petualangan baru. Seperti kata Nistelrooy, banyak hal berjalan salah, tapi mereka harus segera melupakan, lalu mencobanya lagi dan lagi.
***