Dave Lumenta kerap geram bila ada orang yang salah mengartikan pekerjaannya. Bahkan, ia sampai hafal betul reaksi orang awam saat pertama mendengar bahwa ia adalah seorang antropolog.
“Yang gali-gali itu, ya?”
“Belajar ilmu perbintangan, ya?”
Entah bagaimana antropolog bisa tertukar dengan arkeolog ataupun astrolog. Yang pasti, Dave sudah menyadari anggapan orang tentang pekerjaannya.
“Ya memang ini adalah pekerjaan penting, tapi tidak populer,” kata Dave.
Semua tak pernah Dave prediksikan sebelumnya. Pada 1961, ayahnya mendapat beasiswa dari Badan Tenaga Nuklir Nasional untuk kuliah jurusan fisika nuklir di Cekoslovakia.
Tujuh tahun berselang, ia memutuskan pindah ke Belanda mengambil jurusan elektro dengan fokus utama pada aeronautika atau penerbangan. Karena itulah Dave lahir di Amsterdam pada 12 April 1971.
Setelah lulus kuliah, ayahnya langsung bekerja di sebuah laboratorium di Belanda. Hingga kemudian Tanah Air memanggilnya pulang pada 1980 untuk membantu Industri Pesawat Terbang Nusantara.
Sejak itu Dave dan keluarga tinggal di Jakarta. Mereka kerap berpindah rumah, dari Tebet, Slipi hingga Kalibata. Pada 1989, Dave masuk fakultas seni rupa dan desain Institut Teknologi Bandung.
“Dulu saya senang menggambar, tapi setelah masuk seni rupa saya justru jadi tidak senang menggambar,” kata Dave.
Di ITB, Dave justru lebih senang bermusik daripada menyelesaikan kuliahnya. Teman-teman satu band pun berdomisili di Jakarta. Selewat dua tahun, ia memutuskan pindah ke Universitas Indonesia, Depok.
“Saat itu kebetulan Bapak saya pensiun dari pekerjaannya dan kemudian pindah menetap di rumahnya di Bandung. Jadi saya pun kembali ngekos di Depok,” kata Dave.
Karena senang dengan sejarah dan geografi, Dave mengambil jurusan antropologi di UI. Selama berkuliah di sana, ia tak lupa menggeluti musik bersama beberapa karib, salah satunya Elfonda Mekel dari jurusan hukum. Mereka sering manggung dengan nama yang terus berganti, dari Dipecat Band hingga Pantai Indah Kapuk Band.
Elfonda sendiri kemudian menggeluti serius bidang musik dan mencuat namanya setelah bergabung dengan band Dewa. Ia pun lebih banyak dikenal publik dengan nama Once. Di lain sisi, Dave justru semakin tenggelam dalam dunia antropologi. Itu semua tak lepas dari kerusuhan Mei 1998 yang menumbangkan Soeharto dan rezim Orde Baru.

Dave sendiri lulus kuliah pada 1997. Namun, setelahnya ia masih sering main ke kampusnya. Syahdan, ia pun ikut terlibat dalam berbagai aksi pergerakan mahasiswa yang ramai terjadi sejak pertengahan 1997 hingga 1998.
“Yang menarik dari 1997 adalah bagaimana melihat proses orang-orang biasa ikut terpolitisasi keadaan,” kata Dave. “Saat itu pertama kalinya kita lihat mahasiswa atau mahasiswi yang kita tahu anak pesta tiba-tiba ikut turun ke jalan. Semua jadi sadar bahwa kondisinya sedang tidak normal.”
Menurutnya, titik balik munculnya kesadaran umum publik kala itu adalah ketika krisis ekonomi mulai menyerang hal-hal paling mendasar dalam hidup sehari-hari. Harga makanan dan kebutuhan lainnya sontak melonjak drastis. Kekerasan pun terjadi di mana-mana secara terbuka.
“Salah satu yang paling saya ingat adalah saat 13 Mei 1998. Waktu itu di Salemba, pertama kalinya saya lihat seorang anak kecil mengamuk dan menghancurkan mobil. Anak ini umurnya mungkin baru tujuh atau delapan tahun dan dia menghancurkan mobil Kijang sendirian. Kemarahan ini datangnya dari mana untuk seorang anak kecil?” kata Dave.
Semua pun bersatu dalam pergerakan. Ibu-ibu rumah tangga dan karyawan PLN bisa tiba-tiba menyumbang bahan makanan pada mahasiswa di kampus. Bahkan sopir bus rela mengantar Dave dan kawan-kawan secara sukarela ke gedung DPR/MPR. “Waktu itu ada penumpang ibu-ibu sampai disuruh turun karena busnya berubah arah mau ke sana,” kata Dave.
Kemudian, sisanya tinggal sejarah. Orde Baru runtuh dan Indonesia pun perlahan membangun ulang kehidupan sosial ekonominya dari puing-puing yang tersisa.
Masuk ke era Reformasi, Dave bergabung dengan World Food Program, sebuah badan bentukan Perserikatan Bangsa-Bangsa yang bertugas membantu penyelesaian krisis pangan di Indonesia. Di sana ia berperan sebagai petugas analisis krisis dan pemetaan ketahanan pangan.
Pada 1998 akhir, ia ditugaskan pergi ke Ujung Pandang (kini Makassar) untuk meneliti kondisi lapangan di sana. Melalui program itu, Dave berkesempatan untuk berkeliling Indonesia, dari Kalimantan, Sulawesi hingga Nusa Tenggara Timur. Dari sana, ia baru menyadari bahwa krisis yang terjadi di berbagai daerah skalanya berbeda.
“Di daerah berbasis perkebunan seperti Sulawesi Selatan, masyarakatnya justru tidak merasakan krisis. Di sana bahkan banyak petani yang kaya mendadak karena harga kakao atau cengkeh yang ditanamnya tiba-tiba melonjak berkali lipat,” kata Dave.
“Lalu saat di Buton, Sulawesi Tenggara, orang-orang melaporkan terjadi rawan pangan di sana. Namun kenyataannya tidak ada. Orang lokal justru bilang, indeks konsumsi beras mereka kecil, tapi itu karena makanan utama mereka adalah jagung. Sementara indeks konsumsi jagung tidak pernah dilaporkan ke pusat. Makanya, Pulau Jawa tidak bisa selalu jadi barometer untuk melihat kondisi Indonesia secara keseluruhan.”
Saat itu, Dave pun sempat singgah di Kalimantan Timur pada 1999. Kala itulah ia mulai tertarik dengan kondisi sosial wilayah perbatasan antara Kalimantan dan Malaysia. Ketika berada di Kayan Hulu, Malinau, Dave awalnya terheran-heran melihat kehidupan masyarakat sekitar. Warga setempat kerap datang dan pergi ke Serawak untuk belanja kebutuhan sehari-hari.
“Saya datang ke sana dengan perspektif Jakarta. Makanya saya bingung kok mereka pakai mata uang Malaysia dan banyak berkeluarga dengan orang Malaysia. Makanya saya tertarik untuk mulai meneliti di sana,” kata Dave.

Lalu ia pun mencoba peruntungan dengan mendaftar program beasiswa penelitian yang diselenggarakan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) bersama The Nippon Foundations asal Jepang. Proposalnya diterima dan Dave pun pergi ke Serawak pada 2002 untuk tinggal meneliti di sana selama setahun lamanya. Fokusnya: kekerabatan lintas batas negara.
Di tengah proses penelitian, ia juga sempat mengikuti Borneo Research Conference di Kinabalu, Malaysia Timur, pada 2003. Ia pun mempresentasikan penelitiannya dan berada dalam satu panel diskusi bersama Noboru Ishikawa, profesor asal Universitas Kyoto, Jepang, yang juga kerap membahas masalah perbatasan.
Pertemuannya dengan Noboru membawa berkah. Dave diundang datang ke Universitas Kyoto selama dua minggu pada akhir 2003 untuk menyempurnakan penelitiannya soal Malinau-Serawak. Kampus itu memang memiliki lembaga kajian Asia Tenggara tertua di wilayah Asia.
Lembaga itu berdiri sejak 1963 dan memiliki data dan referensi lengkap di perpustakaannya soal wilayah perbatasan Indonesia-Malaysia. Menurut Dave, kelengkapan data soal kajian yang sama di sana hanya bisa disaingi oleh Universitas Cornell, Amerika Serikat, dan Universitas Leiden, Belanda.
Setelahnya, Dave kembali ke Indonesia dan jadi peneliti lepas di almamaternya dahulu, UI. Di sana ia sempat turun kembali ke Kalimantan untuk meneliti wilayah perbatasan lain, seperti Nunukan dan Sabah. Ia bahkan sempat pergi meneliti ke Sambas bersama Noboru selama seminggu.
“Sepertinya waktu itu dia mau lihat cara kerja saya sebagai antropolog bagaimana. Jadi mengetes terselubung soal cara saya bertanya, ekstrak data dan sebagainya,” ujar Dave.
Benar saja, pada awal 2004 Noboru memberi tawaran kembali pada Dave untuk melanjutkan pendidikan di Universitas Kyoto. Awalnya Dave mengira itu adalah program beasiswa S2, tapi ternyata Noboru langsung mendorongnya ikut program S3.
“Dengan bahan penelitian kamu selama ini, kamu sudah tidak perlu lewat magister. Kamu sudah punya pengetahuan soal daerahnya, dari paper kamu saya tahu kamu sudah bisa menyusun kerangka teorinya. Kalau kamu mau ini ada program beasiswa untuk PhD,” ujar Dave menirukan ucapan Noboru kala itu.
Dave pun bimbang. Di saat yang sama ia juga mendapat tawaran dari profesor asal Amerika Serikat, Reed Wadley, untuk melanjutkan kuliah di Universitas Missouri. Sejak 2001, Dave memang rutin berkorespondensi dengan Reed via surat elektronik. Dave kerap memberi bahan tambahan untuk penelitian Reed soal perbatasan Kalimantan Barat dengan Serawak.
Namun, saat Dave menjelaskan duduk permasalahan dan kebimbangannya, Reed justru dengan senang hati mendukungnya untuk pergi ke Kyoto. Itu karena menurutnya Kyoto adalah tempat yang tepat untuk meneliti kajian Dave selama ini, perbatasan Indonesia-Malaysia.
Alhasil, Dave berangkat ke Jepang pada 2004 dan menyelesaikan studi S3 pada 2008. Saat awal belajar di sana, ada satu pesan dari Noboru yang begitu diingatnya, “Saya tidak mau kamu seperti mahasiswa doktoral Indonesia lainnya. Mereka biasanya jauh-jauh ke luar negeri untuk mengejar dan mempelajari Indonesia, padahal fokus kajiannya adalah Asia Tenggara.”
“Saya mau kamu fokusnya soal perbatasan di Serawak.”
Sepulangnya dari Jepang, Dave memutuskan bekerja sebagai peneliti lepas terlebih dahulu selama setahun. Alasannya, ia ingin rehat sejenak dari tuntutan penelitian dan penulisan yang begitu intens selama berada di Jepang. Apalagi, ia adalah mahasiswa dari program beasiswa yang wajib lulus tepat waktu.
Saat itulah Dave mulai bermusik kembali bersama kawan-kawannya. Ia sempat ikut manggung beberapa kali bersama band SimakDialog yang beranggotakan Riza Arshad, Tohpati dan lainnya. Selain itu, ia juga kerap membantu beberapa proyek musisi Anda “Bunga” Perdana bersama band Mata Jiwa.
Lalu Dave pun bekerja sambilan untuk World Wide Fund for Nature dan International Catholic Migration Commission (ICMC). Banyak pengalaman berharga yang ia temui saat bekerja untuk ICMC.
“Pada awal 2010 saya ke Sabah untuk ICMC. Kita mewawancarai perempuan, pekerja seks, germo, buruh kelapa sawit untuk membuat sebuah panduan untuk aparat kepolisian Malaysia agar mereka jadi lebih peka dalam menangani kasus perdagangan manusia,” kata Dave.
Memang, banyak buruh atau pekerja seks komersial asal Indonesia yang diperdagangkan ke wilayah perbatasan Malaysia. Di sana, mereka bekerja tanpa kejelasan status kewarganegaraan dan kerap ditangkap oleh aparat hukum setempat.

“Jadi tujuannya agar aparat kepolisian di sana bisa melakukan pendekatan berbeda pada korban perdagangan manusia dibanding kriminal biasa. Jadi mereka harus bisa mengatasi trauma para korban juga,” kata Dave.
Ini juga berhubungan dengan masalah tenaga kerja ilegal Indonesia di Malaysia. Menurutnya, itu bisa terjadi karena sistem perekrutan sejak awal. Biasanya, para pekerja itu ditipu oleh orang terdekatnya sendiri, entah keluarga atau pacar, karena balutan utang dan desakan ekonomi.
“Orang jadi ilegal di sana juga karena tidak ada fleksibilitas untuk bisa pindah kerja. Misalnya dia tidak nyaman kerja di kebun sawit dan merasa ditipu karena gajinya tidak sesuai. Mereka juga tidak bisa pergi begitu saja karena paspornya ditahan oleh majikan. Akhirnya mereka akan kabur dan bekerja di tempat lain tanpa kejelasan status,” kata Dave.
Banyak hal yang telah dilakukan Dave selama ini, terutama dalam hal penelitian wilayah perbatasan serta isu sosial di sekitarnya. Sebagai antropolog, pekerjaan ini kerap dipandang sebelah mata. Apalagi, ada beban tersendiri ketika bekerja sebagai antropolog di Indonesia.
“Indonesia itu adalah negara yang terlalu kompleks. Jangankan Indonesia, antropolog Singapura saja belum tentu bisa menjelaskan dengan rinci soal apa itu Singapura dan kebudayaannya. Makanya kalau ada yang nanya saya soal Papua, saya tidak bisa jawab dan terlihat tolol di mata mereka. Itu karena penelitian saya selama ini fokus pada wilayah perbatasan Indonesia-Malaysia,” tutur Dave.
“Kasarnya, antropolog itu tugasnya membersihkan sampah yang dihasilkan para ekonom. Misalnya pemerintah mau memindahkan desa terpencil ke dekat pusat pelayanan hingga bisa menghemat biaya, sehingga ada efisiensi biaya pembangunan. Namun ketika mereka dipindahkan dan timbul persoalan sosial karena mereka tidak nyambung dengan masyarakat baru dan kesulitan menyesuaikan diri dengan mode produksi ekonomi baru, antropolog yang dipanggil untuk turun membereskannya.”
Antropologi memang bukan ilmu pasti. Ia memberikan konteks dalam ruang sosial serta opsi bagi pemerintah dalam merancang sebuah kebijakan. Sebagai peneliti, Dave pun kerap mendapat pertanyaan soal hasil nyata pekerjaannya selama ini.
“Padahal yang penting adalah bagaimana agar data yang saya punya bisa berguna bagi masyarakat yang saya teliti,” kata Dave.
Contoh mendasarnya adalah kala Dave berkunjung ke daerah Apo Kayan, Kalimantan. Salah seorang tetua adat setempat kemudian bertanya padanya, “Kamu tahu sejarah waktu kita dulu perang melawan Suku Iban? Kami mau tahu karena warga sekarang sudah tidak ada yang ingat dan para orangtua yang mengerti juga sudah meninggal.”
Kebetulan Dave pernah melakukan riset dan memiliki data mendalam soal itu. Dari sana, ia pun terdorong untuk menyusun tulisan sejarah wilayah Apo Kayan dan memberikannya pada masyarakat setempat.
“Buat saya, itu panggilan akademik yang terpenting. Kepuasan itu datang ketika data ini berguna untuk yang berkepentingan langsung. Kalau pemerintah yang menggunakan datanya rasanya biasa saja,” ujar Dave.
“Sekarang saya sedang menulis buku hasil disertasi dahulu. Karena rasanya bila tidak meneliti dan menulis buku, kita tidak layak untuk menyandang gelar sebagai seorang akademisi.”
Selama belasan tahun lamanya Dave meneliti dan mengkaji. Hasilnya memang tak muncul secara kasatmata, dan mungkin bukan diperuntukkan bagi kita. Namun, kerja kerasnya tak akan berhenti begitu saja, selama itu bisa berguna bagi sesama.
***