Kamis, 30 Agustus 2012. Saya agak terburu sore itu. Sehabis meliput acara peluncuran mobil All-New Chevrolet Trailblazer di Kemang, Jakarta Selatan, saya langsung meluncur ke Istana Negara, Jakarta Pusat, untuk meliput aksi “Kamisan” dalam rangka peringatan hari anti-penghilangan paksa internasional. Di sana, KontraS menempelkan di atas tanah cetakan bayangan 13 orang yang hilang pada rentang 1997-1998.
Kala itu saya sedang bekerja magang di The Jakarta Globe dan Beritasatu.com. Redaktur saya, Febriamy Hutapea, meminta saya sekalian menuliskan feature soal nasib keluarga korban pelbagai kasus pelanggaran HAM di Indonesia, entah Tanjung Priok 1984, Talangsari 1989, dan lainnya.
Jujur, saya tak banyak mendalami masalah pelanggaran HAM sebelumnya. Secara umum saya tahu apa yang terjadi di beberapa kasus, tapi saya tak tahu jelas hal-hal detail di sekitarnya. Siapa saja nama aktivis yang hilang dalam masa pergolakan sebelum Reformasi? Siapa elite politik yang diduga ikut bertanggung jawab? Bagaimana bentuk perjuangan keluarga korban selama belasan atau bahkan puluhan tahun terakhir?
Ah, pengetahuan saya terasa bolong di mana-mana. Namun liputan mesti tetap berjalan. Saya bermodal nekat saja.
Pukul 4.45 sore, aksi dimulai. Niniek L. Karim membacakan sepenggal puisi. Saya asyik mencatat sembari mulai melihat sekitar, mencari narasumber yang tepat. Tak lama, saya putuskan untuk mendekati seorang wanita paruh baya dengan pakaian serba hitam. Saya minta izin padanya untuk melakoni wawancara singkat.
“Maaf, boleh tahu nama Ibu?”
“Suciwati.”
Saya sontak terdiam. Saya tahu kisah perjuangan aktivis HAM bernama Munir Said Thalib. Saya tahu ia mati diracun dalam pesawat menuju Belanda pada 2004. Saya pun tahu, ia meninggalkan seorang istri bernama Suciwati. Namun saya tidak tahu bagaimana paras janda Munir tersebut.
Dan sekarang, mendadak Suciwati berdiri persis di depan saya, menunggu saya melontarkan pertanyaan dalam kapasitas sebagai wartawan magang bau kencur.
Dengan cepat saya kumpulkan keberanian dan meminta komentarnya soal pemerintah yang terkesan membiarkan banyak kasus pelanggaran HAM terus berlarut-larut tanpa penyelesaian konkret selama ini.
“Memang ada pembiaran terhadap kejahatan HAM di masa lalu, dan penyelesaiannya bukan sebuah prioritas untuk pemerintah kita. Usaha untuk mengungkapkan kebenaran pada bangsa ini jadinya tidak ada. Jadi bisa dikatakan, ini adalah surga impunitas bagi para pelanggar HAM,” jawab Suciwati tegas.
Teringat pesan redaktur untuk membuat feature, saya lanjut bertanya, “Boleh tahu, anak Ibu ada berapa? Sekarang sudah sebesar apa mereka?”
Suciwati menatap saya tajam. Saya gentar.
“Lain kali, baca-baca di Google dulu ya.”
Mendengarnya, saya langsung merasa gagal total sebagai wartawan.
***
Pada Januari 2014, saya mendapat tugas meliput kehidupan lesbian, gay, biseksual, dan transgender (LGBT) kala bekerja untuk majalah GeoTimes. Isu ini menarik untuk diangkat karena sebelumnya muncul situs Melela.org pada September 2013 yang memuat kisah-kisah pengakuan LGBT dan orang-orang di sekelilingnya. Situs tersebut bahkan sempat crash pada Desember karena terlalu banyak pengunjung membukanya. Ini dipicu terbitnya artikel pengakuan Paramita Mohamad bahwa ia adalah seorang lesbian, dan artikel tanggapan dari sang ayah, Goenawan Mohamad, salah satu pendiri majalah Tempo, tak lama berselang.
Saya pun segera mengatur janji untuk wawancara tatap muka dengan Rio Damar, penggagas Melela.org. Selain Rio, saya sempat berbincang pula dengan dua narasumber lain, seorang gay dan transgender. Masing-masing wawancara dilakukan dengan telepon dan aplikasi message Facebook.
Singkat cerita, tulisan segera saya selesaikan dan kirim ke redaktur Ridlwan Habib. Esoknya, saya datang ke kantor dengan ceria. Satu tugas liputan telah usai tanpa masalah berarti. Hari itu berlangsung cukup santai. Saya sempat menyelesaikan tulisan lain, dan bahkan tidur sejenak di kantor saat sore hingga selepas azan magrib. Saat itu majalah GeoTimes memang masih menjalani masa simulasi sebelum terbit resmi pada Maret 2014. Pekerjaan belum menumpuk.
Saat hari sudah gelap, saya putuskan untuk pulang dari kantor. Namun mendadak, saya dipanggil redaktur pelaksana, Rusdi Mathari. Raut wajahnya jauh dari kesan ramah.
“Ada apa, Cak?”
“Tulisan apa ini, Viriya? Kering sekali.”
Ternyata, tulisan saya soal kehidupan LGBT baru saja disunting olehnya. Dan ia terlihat sangat tidak puas. Menurutnya, tulisan saya minim reportase dan hanya mengandalkan kutipan di sana-sini. Saya pasrah menanti konsekuensinya.
Benar saja, untuk memperbaiki tulisan tersebut, saya diminta pergi bersama fotografer Andrey Gromico dan rekan reporter Ruth Sihite ke Apollo Club, klub malam para gay di Bellagio Mall, Mega Kuningan, Jakarta Selatan. Bayangan saya untuk segera bersantai di rumah pun sirna. Reportase dan revisi tulisan harus kelar besok pagi.
Di Apollo Club, saya, Ruth, dan Mico berlagak seperti pengunjung biasa yang ingin bersenang-senang melepas penat. Kami coba sebisa mungkin untuk berbaur dan terlihat wajar, walau sebenarnya masing-masing asyik “bergerilya” mencari bahan liputan. Saya terus mencatat di ponsel perihal kondisi klub tersebut, dari interior hingga dandanan dan perilaku para pengunjung. Sementara Mico berulang kali mengajak saya dan Ruth berpose, walau saya tahu kamera sakunya mengincar momen lain di sekitar.
Di sana, saya sempat mengobrol singkat dengan remaja lokal berusia 19 tahun dan seorang pria asal Amerika Serikat berusia 47 tahun. Mereka terlihat menikmati suasana riuh penuh alunan house music yang mendebarkan dada. Namun itu belum apa-apa. Suasana makin panas kala beberapa pria bergantian muncul dari balik tirai di atas panggung dan mulai menyanyikan lagu-lagu terkenal para penyanyi Barat seperti Alicia Keys, Pink, dan Beyonce. Semua dilakukan dengan lip sync.
Keesokannya, saya asyik menambahkan segala yang saya dapat di Apollo Club ke dalam tulisan soal LGBT. Saat itulah saya sadar betul makna kata-kata “show, don’t tell”.
***
Ada banyak pelajaran yang hanya bisa kita temukan di lapangan sebagai wartawan. Selama empat tahun (2009-2013) saya kuliah jurnalistik di Universitas Multimedia Nusantara, Gading Serpong, Tangerang. Namun, itu bukan jaminan kita akan langsung jadi reporter andal. Segala macam tugas dan ujian di kampus tetap terasa sia-sia bila saya tak pernah terjun ke lapangan. Mental dan militansi kita diuji sepenuhnya. Seiring berjalannya waktu, pelbagai pengalaman di lapangan akan menajamkan diri, entah soal teknik wawancara, pengambilan keputusan, ataupun kecepatan penulisan.
Saya pun belajar untuk tidak turun ke lapangan dengan kepala kosong. Teguran keras dari Suciwati saat meliput acara “Kamisan” tiga tahun silam cukup berbekas dalam diri saya. Ketika datang ke tempat liputan, sebisa mungkin perencanaannya sudah matang. Siapa yang dicari? Apa yang harus ditanyakan? Bagaimana konteks permasalahannya?
Pada April 2014, saya diminta meliput soal kehidupan pencari suaka yang terdampar di Indonesia. Saat itu, saya sama sekali buta soal masalah tersebut. Alhasil, hal pertama yang saya lakukan adalah mengatur janji bertemu dengan Hikmahanto Juwana, pengamat hubungan internasional dari Universitas Indonesia. Saya melakukan wawancara sekaligus bertanya banyak hal soal latar belakang dan konteks permasalahan.
Setelahnya, saya melakukan riset internet dan mendapati bahwa Cisarua sejak lama telah jadi tempat tinggal para imigran selama berada di Indonesia. Beruntung, saya mendapatkan kontak orang lokal Cisarua dari seorang kawan. Namanya Deden Supriatna. Ia kemudian memandu saya berkeliling dan menemui para imigran di sana, dari rumah kontrakan mereka hingga lokasi pengadaan kelas bahasa Inggris untuk para imigran oleh Yayasan Jesuit Refugee Service-Indonesia.
Namun terkadang, persiapan matang pun tak cukup. Dalam beberapa kasus, kita hanya butuh nekat mencari keberuntungan. Pada Desember 2013, saya diminta meliput aktivitas Joko Widodo, saat itu masih gubenur Jakarta, dan mengikutinya seharian penuh. Surat permohonan resmi telah dilayangkan kepada sekretariat Pemerintah Provinsi DKI Jakarta. Saya juga telah meminta izin langsung secara verbal kala bertemu dengan Jokowi di Balai Kota. Tapi tak ada kabar soal kejelasan liputan ini.
Karena diburu tenggat, saya dan Mico memutuskan langsung datang ke rumah dinas Jokowi di Menteng, Jakarta Pusat, sejak subuh. Ternyata, kami diterima dengan hangat dan diperbolehkan semobil dengannya dari pagi hingga malam.
Dari sana, saya teringat kata-kata wartawan dan peneliti hak asasi manusia Andreas Harsono. Ada dua syarat sederhana untuk menulis dengan baik: Anda harus tahu dan Anda harus berani.
***