Dua Mantan Terindah: Kebun Ceri dan Hamlet

Saya bermain sebagai Yermolay Lopahin dan Hamlet.
Saya bermain sebagai Yermolay Lopahin (kiri) dan Hamlet (kanan).

Katanya, bila kita susah move on dari sebuah produksi pementasan, berarti kita telah memberikan yang terbaik dalam prosesnya. Karena itu walau pentas telah usai, euforianya bisa bertahan selama berbulan-bulan. Rasanya tak rela, bila kita pergi begitu saja.

Wajar, sekali produksi bisa memakan waktu minimal empat bulan. Dalam seminggu, latihan bisa tiga hingga empat kali. Bahkan, teater besar macam Teater Koma bisa latihan setiap hari jelang pementasan dimulai. Sekali latihan bisa lima sampai enam jam. Belum lagi dengan waktu kumpul di luar latihan bersama kawan-kawan, entah makan bareng, rapat, dan lainnya. Selama empat bulan itu, tim produksi seakan jadi keluarga kedua, bagian tak terpisahkan dalam keseharian kita.

Makanya saat pentas usai, saya kerap merasa kehilangan. Mendadak, muncul lubang menganga karena rutinitas bersama mereka hilang begitu saja. Bagai mantan yang tak sudi pergi dari sudut pikir dan justru memancing banyak kenangan lama datang kembali.

Sialnya, pada 2015 ini saya punya dua “mantan” sekaligus. Pertama, pentas Kebun Ceri adaptasi karya Anton Chekhov pada Mei 2015. Kedua, pentas Hamlet adaptasi karya William Shakespeare empat bulan setelahnya.

Memang, sejak cabut dari kantor GeoTimes pada akhir Februari lalu, saya beralih jadi penulis paruh waktu di beberapa media alternatif dan pekerja teater penuh waktu bersama Teater KataK. Selama tujuh bulan terakhir, hidup saya pun kerap tak menentu. Rasanya menyenangkan bisa berkarya dengan bebas tanpa terikat jam kantor. Namun, saya juga pusing bila melihat saldo di rekening pribadi. Untungnya, aktivitas teater selalu bisa mengalihkan perhatian saya.

Untuk pentas Kebun Ceri, ini adalah pentas besar kelima Teater KataK sejak mereka resmi berdiri pada Juni 2009. Saya ikut audisi pada Januari 2015 dan kebagian peran jadi Yermolay Lopahin, mantan petani budak yang jadi kaya dan sukses membeli kebun ceri warisan keluarga Nyonya Lyubov Ranyevskaya.

Produksi pentas ini begitu membekas di hati saya. Untuk pertama kalinya Teater KataK membawakan naskah realis yang dibalut dengan gaya tragikomedi. Proses latihan pun berlangsung menyenangkan dan penuh diskusi. Di sini, dua anggota senior, Fenny dan Safa, melakoni debutnya sebagai pemain di pentas besar Teater KataK. Belum lagi dengan kehadiran para pemain muda berbakat macam Dito, Malvin, dan Mukti. Saat pentas usai, rasanya sulit betul untuk beranjak meninggalkan kemeriahan yang ada.

Pentas Kebun Ceri

Saat itu, saya merasa ini adalah pentas terbaik yang pernah Teater KataK bawakan. Candunya sungguh gila. Hingga kini, saya masih ingat amarah dan kesedihan yang terlontar pada Nyonya Lyubov, romansa yang kandas dengan Varya, dan tiap candaan yang sukses memancing tawa penonton selama pentas berlangsung.

Namun di tengah euforia yang ada, saya mesti segera beranjak. Pada akhir Mei lalu, Teater KataK telah memulai produksi pentas Hamlet. Pentas ini spesial karena kami mengadakannya dengan mandiri. Seluruh pemainnya merupakan alumni, mayoritas dari kampus UMN, sisanya adalah gabungan dari Binus, UI, dan Untar. Dana dan tempat latihan pun kami usahakan sendiri. Harapannya, ini bisa jadi langkah awal untuk membawa Teater KataK jadi komunitas teater independen.

Mulanya, saya niat bantu-bantu saja. Tapi setelah ikut audisi, saya malah kebagian peran jadi Hamlet, sang tokoh utama. Beban besar seakan langsung menanti di depan mata. Namun, saya tetap usahakan semaksimal mungkin untuk memberi yang terbaik, sembari susah payah membagi waktu dengan berbagai kerjaan lainnya.

Di pentas ini, saya mendapat begitu banyak pelajaran berharga. Diskusi dengan teman-teman baru dari kampus non-UMN seperti Ignas ataupun Ignathea selalu membawa masukan dan perbaikan bagi permainan saya di atas panggung. Walau begitu, entah kenapa saya merasa tetap kurang maksimal dalam membawakan sosok Hamlet si peragu. Banyak hal berkecamuk di kepala dalam prosesnya.

Dari sana, muncul pertanyaan: apakah keraguan sosok Hamlet telah memengaruhi saya, atau keraguan saya yang memengaruhi sosok Hamlet?

Ah, jangan-jangan saya saja yang kurang riset dan mendalami karakter.

Pentas Hamlet

Kini, saya hanya bisa introspeksi. Biarlah dua mantan ini jadi bagian tak terpisahkan dalam hidup saya, dan terus mendorong saya melompat lebih tinggi.

Terima kasih banyak untuk segalanya.

Bagikan

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Scroll to Top