Saya wartawan berusia 27. Sehari-hari, hidup saya habiskan dengan mengejar narasumber dan melaporkan berita terkait ekonomi, dari soal APBN, insentif pajak hingga defisit transaksi berjalan. Di kala senggang, saya asyik memainkan game Pokémon.
Game yang saya maksud bukan Pokémon Go yang berbasis augmented reality dan pertama dirilis pada Juli 2016. Yang membuat saya tergila-gila adalah sejumlah game Pokémon generasi ketiga yang pertama dirilis pada 2003, dari Pokémon Fire Red, Leaf Green, Ruby, Sapphire hingga Emerald. Dulu, mereka hanya bisa dimainkan di konsol Game Boy Advance (GBA) – yang bentuknya mirip-mirip Nokia N-Gage itu. Namun, sekarang saya bisa mengunduh dan memainkan semua game itu di ponsel Android saya. Jelas saya jadi lupa diri.
Teman-teman liputan kerap meledek saat melihat saya begitu lengket dengan ponsel, hampir tak bisa diganggu karena tengah fokus menamatkan cerita atau menaikkan level Pokémon saya. Mungkin karena game Pokémon dirasa kurang “laki” atau terlalu kekanak-kanakan dibandingkan yang biasa mereka mainkan seperti PlayerUnknown’s Battlegrounds (PUBG). Mungkin juga karena versi game Pokémon yang saya mainkan dirasa sudah ketinggalan zaman, apalagi dengan tampilan klasik ala GBA yang hanya memiliki resolusi 240 × 160 pixels. Alhasil, gambar pemainnya saja kerap “pecah” dengan jumlah pixel segitu iritnya.
Namun, saya tidak peduli. Sejak pertama mengunduh game Pokémon di ponsel Android pada 9 September lalu, saya jadi anti-sosial. Saya bermain di mana saja, kapan saja, dari saat menunggu mulainya konferensi pers, makan siang atau jelang tidur, entah di hari kerja atau akhir pekan. Saya kerap baru tidur jam 3 pagi karena asyik mencari dan menangkap Pokémon langka. Kalau tidak ingat saya harus kerja di pagi harinya, saya pasti lebih memilih main Pokémon sampai semaput.
Saya merasa, bermain Pokémon adalah bentuk pelarian dari segala tanggung jawab dan rutinitas harian yang begitu membosankan. Kala memainkannya, saya merasa kembali menjadi anak kecil dengan mimpi sederhana: menangkap seluruh Pokémon yang ada dan menjadi pelatih Pokémon jempolan.
Saya pertama berkenalan dengan Pokémon saat SD pada masa 2000an awal, entah tepatnya di kelas berapa. Saat itu orangtua saya berbaik hati membelikan konsol Game Boy Color (GBC) lengkap dengan “kaset” berisi sejumlah game, termasuk di antaranya Pokémon Red dan Blue. Mereka adalah game Pokémon generasi pertama yang secara fenomenal membentuk hidup anak-anak kecil di berbagai belahan dunia pada masanya – ini serius, Cuk.
Di role-playing game (RPG) tersebut, kita mesti bertualang menjelajah berbagai kota di wilayah Kanto di Jepang untuk menangkap dan mendapatkan data dari total 151 Pokémon yang ada di generasi pertama. Selain itu, kita juga harus berulang kali mencegah rencana jahat Team Rocket yang gemar mengeksploitasi Pokémon untuk mencapai tujuan mereka menguasai dunia, serta mengalahkan delapan gym leaders dan empat bos di Pokémon League – biasa dikenal sebagai Elite Four – untuk bisa menjadi pelatih Pokémon terbaik.
Masalahnya, saat SD dulu, saya tak pernah mampu menunaikan tugas untuk menangkap 151 Pokémon tersebut karena berbagai hal. Pertama, beberapa Pokémon hanya bisa berevolusi – dan didapatkan data lengkapnya – setelah ditukar menggunakan kabel khusus dengan pemain game Pokémon lainnya. Saya dulu mana punya uang untuk beli kabel tambahan untuk GBC saya. Terlebih lagi, Pokémon super langka bernama Mew hanya bisa didapatkan bila kita menyambangi event tertentu yang diadakan oleh Nintendo, atau dengan mengeksploitasi glitch di game tersebut yang dulu saya tak paham caranya.
Kemudian, sampai saya pindah memainkan game Pokémon generasi kedua, entah Pokémon Gold ataupun Silver, saya pun tak kunjung mampu mendapatkan seluruh Pokémon yang ada – dengan jumlah total lebih banyak hingga 251 Pokémon.
Maka, ketika tahu bahwa sekarang saya bisa dengan mudahnya bermain Pokémon di ponsel Android, saya tak pikir panjang dan segera mengunduh game generasi ketiga dengan total Pokémon hingga berjumlah 386. Rasanya seperti ada urusan yang belum selesai yang wajib dituntaskan segera.
Sebenarnya saya agak bingung juga. Sebelum kembali berkenalan dengan Pokémon, saya biasanya cuma sibuk dengan kerjaan kantor. Sejak menjadi wartawan penuh waktu pada akhir 2013 lalu, bisa dikatakan banyak hal yang sudah saya korbankan untuk mengejar karier. Saya jadi semakin jarang nongkrong dengan teman-teman lama dari masa SMA dan perkuliahan, sempat vakum dari dunia teater, dan bahkan sudah hampir tidak pernah menonton dan menulis soal sepak bola – sesuatu yang dulu rasanya hampir tidak mungkin terjadi. Saya hanya fokus mengembangkan diri menjadi wartawan yang baik dan mengumpulkan setumpuk portofolio agar kelak bisa mendapatkan beasiswa untuk sekolah di luar negeri.
Namun, setelah kembali bermain Pokémon, yang saya pikirkan cuma menangkap dan menaikkan level Pokémon saya. Waktu-waktu terbaik buat saya adalah saat saya bersantai sembari bermain Pokémon setelah pulang kerja sembari merokok dan menyeruput kopi hitam.
Apa yang terjadi?
Mungkin saya merasa capek hidup dikejar-kejar. Setiap hari kerja berpindah-pindah tempat liputan melawan macet akut ibu kota, wawancara si A dan si B, pulang, istirahat hingga kemudian rutinitas yang sama diulang lagi esoknya. Sesungguhnya, saya sering sekali sengaja menunda-nunda waktu tidur di malam hari, entah dengan nonton YouTube atau serial TV favorit, hanya agar saya tidak cepat-cepat bertemu lagi dengan rutinitas yang sama di pagi hari. Akhirnya jadi begadang, tidur kemalaman, dan bangun mepet dengan agenda liputan.
Karena itu, Pokémon benar-benar jadi sarana bagi saya untuk berhenti sejenak dan melupakan segala kepenatan.
Sampai akhirnya saya sukses menamatkan seluruh game Pokémon generasi ketiga di ponsel saya. Di tiap game itu tercatat berapa jam yang telah saya habiskan di dunia Pokémon. Misalnya, di Pokémon Emerald, saya sudah bermain selama kurang lebih 202 jam dan menangkap total 386 Pokémon. Ya, saya sudah menangkap seluruh Pokémon yang ada.
Dari situ, pertanyaannya adalah, “Apa lagi?” Urusan Pokémon sudah selesai. Apa sudah saatnya saya berdamai dengan diri sendiri?
Pada Rabu malam lalu, saya berkumpul dengan kawan-kawan lama dari masa kuliah di daerah Cikini. Ada Rafael Miku Beding, videografer yang berencana tinggal kembali di Jakarta dalam waktu dekat setelah menghabiskan waktu di kampung halamannya di NTT selama beberapa tahun terakhir. Ada Felix Jody, fotografer Bisnis Indonesia, Lambertus Guntoro, staf marketing Paramount Land, dan Dominiko Dhany, pengurus konten Kaskus.
Di sela-sela obrolan, Jody bercerita pada saya. Belum lama ini ia bertemu kembali dengan eks editornya di masa ia bekerja paruh waktu di sebuah majalah properti di Tangerang. Katanya, kenalannya itu agak terkejut saat tahu kini Jody bekerja sebagai fotografer Bisnis Indonesia.
“Gue kira sekarang elo udah kerja keluar-masuk hutan. Hahaha.”
Saya paham, omongan itu sedikit menyentil Jody, membuatnya jadi sejenak berefleksi.
“Rasanya jadi mikir ya Jod, kenapa sekarang kita ada di sini?”
Pertanyaan yang sama pun jadi membayangi saya. Apa sudah saatnya menata ulang semua yang ada?
HAHAAHAHAHAHAAAANJ gue br buka dan baca dan ngakak
Pokemon jalan ninjaku~