Dendam mungkin adalah salah satu naluri manusia yang paling alami. Ia hadir bersama murka dan duka, serta akrab menyapa layaknya sobat lama. Alhasil, sulit mengusirnya begitu saja. Ia akan bersikeras tinggal hingga “keadilan” ditegakkan.
Fitnah. Kemiskinan. Kekerasan. Perkosaan. Pembunuhan. Ada begitu banyak hal yang bisa memancing dendam datang. Karena itu, pembalasan juga kerap dianggap sebagai bentuk perlindungan, sebuah desakan sosial agar “kejahatan” yang sama tak terulang kembali di masa depan. Namun sering terjadi, orang-orang membalas dendam hanya untuk memuaskan hasrat pribadi; tak ada kebaikan yang datang bersamanya.
Karyn Hall, pendiri Dialectical Behavior Therapy Center di Houston, Amerika Serikat, sempat membahas pula hal ini dalam artikel berjudul “Revenge: Will You Feel Better?” yang terbit di Psychology Today pada September 2013. Menurutnya, naluri balas dendam muncul kala rasa percaya dalam diri manusia lenyap.
“Ingat, walau pengharapan akan balas dendam terasa menyenangkan, tapi tindakan balas dendam nyata hanya membawa sedikit kepuasan dan mungkin akan menciptakan lebih banyak masalah dan penderitaan. Tindakan balas dendam tidak mengembalikan rasa percaya atau menegakkan keadilan bagi kedua belah pihak,” ujar Hall.
Nyatanya, tak semudah itu meredakan emosi yang sedang membara. Ketika sedang tersulut, manusia bisa begitu saja bertindak secara impulsif tanpa mempertimbangkan segala konsekuensi logisnya.
Salah satu contoh kegilaan besar akibat hasrat balas dendam bisa kita temukan dalam Sweeney Todd: The Demon Barber of Fleet Street, film horor musikal karya Tim Burton yang rilis pada 2007. Mengambil latar di London pada pertengahan abad ke-19, kisah berfokus pada usaha Benjamin Barker untuk menjebak dan membunuh hakim Turpin, orang yang telah merenggut keluarganya dengan semena-mena.
Setelah 15 tahun dijebak dalam pengasingan, Barker kembali ke London dengan nama Sweeney Todd. Ia membangun ulang reputasinya sebagai tukang pangkas rambut andal sembari memancing Turpin datang bertandang. Suatu hari, harapan Todd jadi nyata. Turpin berniat cukur janggut di tempat pangkasnya demi menarik simpati sang calon istri. Calonnya itu adalah Johanna, anak kandung Todd yang diangkat anak secara sepihak oleh Turpin.
Nyaris saja Todd berhasil menyayat leher Turpin, sebelum Anthony datang membuyarkan segalanya. Anthony bermaksud memberi tahu rencananya membawa kabur Johanna dari rumah Turpin. Turpin yang tak sengaja mendengar langsung murka dan pergi begitu saja. Todd geram, sewot bukan main karena buruannya lepas di depan mata. Alhasil, ia terjebak kian dalam di tengah api balas dendam.
Todd mengubah rencana. Ia memutuskan tidak tebang pilih. Ia ingin balas dendam pada seluruh warga kota. Siapa yang datang ke tempat pangkasnya, akan disayat lehernya. Lalu Todd akan menginjak pedal di bawah kursi hingga korban terjungkal jatuh ke lubang tersembunyi. Di sana, Nyonya Lovett akan mengurus sisanya; mengambil daging korban, lalu menggiling dan memanggangnya dalam pai. Kedai painya pun laris kebanjiran pengunjung.
Singkat cerita, Todd berhasil memancing Turpin datang untuk kedua kalinya. Namun sebelum Turpin tiba, masuklah seorang wanita gelandangan gila ke tempat pangkasnya. Tak mau rencana gagal kembali, Todd segera menyayat dan mengirimnya ke bawah tanah. Tak lama, Turpin datang dan jadi korban selanjutnya.
Todd tak sadar, bahwa wanita gila yang dibunuhnya adalah Lucy, sang istri yang dikiranya telah lama mati. Setelah diperkosa oleh Turpin belasan tahun silam, Lucy mencoba bunuh diri dengan minum racun. Namun ia gagal, dan justru berujung pada kegilaan. Lucy pun jadi gelandangan di dekat kedai pai. Lovett yang selama ini mengetahui dan menyembunyikan hal ini segera dibunuh oleh Todd. Lalu Toby sang pelayan setia Lovett yang menyaksikan majikan kesayangannya itu mati di depan mata segera membunuh Todd dengan pisau cukurnya sendiri.
Dari sana kita tahu, balas dendam punya daya hancur besar yang bersifat menular. Satu kejahatan dalam prosesnya bagai magnet bagi banyak kejahatan lain. Alhasil, tak ada kelegaan dan keadilan muncul di akhir cerita, hanya penyesalan yang buncah membawa sengsara.
Sontak, saya teringat kata-kata Kong Hu Cu, “Sebelum Anda memulai perjalanan untuk membalas dendam, galilah dua kuburan terlebih dahulu.”
Balas dendam memang akar dari segala gara-gara.