“Novel apa yang terakhir kali kamu baca, Viriya?”
Saya tergemap. Ini bukan pertanyaan yang saya harapkan datang kala menjalani tes wawancara. Tadinya, saya kira akan mendapat pertanyaan seputar isu politik atau berita terkini. Jadi, saya sama sekali tak siap menjawab. Keheningan muncul selama beberapa detik.
“Oh, atau kamu enggak suka baca novel?”
“Suka, Mas. Terakhir kali, saya baru selesai baca kumpulan cerpen Avianti Armand yang judulnya Kereta Tidur.”
“Yang lainnya?”
“Saya suka baca novel-novel karya Dewi Lestari atau Ayu Utami. Di luar itu, pernah juga beberapa kali baca Catatan Pinggir-nya Goenawan Mohamad.”
Mendengar nama yang terakhir saya sebut, Mas Rusdi Mathari mendadak tertawa kecil. Entahlah, tapi tawanya terasa sedikit seperti cibiran. Seakan ia ingin berkata, “Dasar, anak muda.”
Lalu Mas Rusdi mulai menceritakan beberapa hal. Ternyata ia pernah kerja di Tempo, media yang didirikan GM pada Maret 1971. Ia juga menjabarkan sedikit rencananya akan Sinar Harapan Weekly yang baru saja dibentuknya bersama sesama jurnalis senior, Mas Farid Gaban.
“Nantinya, saya ingin ruang redaksi kita multikultur. Biar semua bisa berdiskusi dengan perspektifnya masing-masing. Tapi saat keputusan redaksi sudah keluar, semua harus menjalankannya dengan penuh tanggung jawab.”
“Makanya saya senang kamu melamar. Karena kamu Cina.”
Mas Rusdi memang blak-blakan. Saya cuma bisa mesem-mesem grogi mendengar ceritanya.
“Tapi saya masih belum ketemu wartawan Arab. Kamu ada kenalan, Viriya?”

Itu adalah pertama kalinya saya datang ke Jalan Lembang No. 47, Menteng, Jakarta Pusat. Awalnya, tak ada harapan besar mengiringi. Saya hanya ingin mencoba peruntungan di sebuah media baru atas informasi dari kenalan di tempat kerja magang dahulu, Mas Didit Sidarta. Namun, proses wawancara dengan Mas Rusdi membuat saya tertarik akan prospek media ini.
Kira-kira seminggu berselang, tepatnya pada 25 November 2013, saya datang kembali ke sana untuk menjalani rapat perdana. Saat itu, suasananya menyenangkan. Saya mulai berkenalan dengan banyak orang dari beragam latar belakang berbeda. Ada yang baru lulus kuliah, ada yang sudah berkali-kali pindah kerja, ada yang sudah menerbitkan buku, dan lainnya. Tak lupa, sebungkus nasi padang menemani di sela obrolan kami.
Saya ingat betul, seorang kawan baru saya, Fandy, berkata, “Gue enggak mau pindah-pindah kerja lagi ah. Mau coba settle aja. Mau nabung buat nikah.”
Selewat beberapa minggu, dia putus dengan pacarnya. Selang beberapa bulan, dia keluar dari Lembang 47. Hidup memang lucu, Kawan.
Setelahnya, kami pun menjalani proses simulasi selama kurang lebih tiga bulan. Sebagai media baru, kami bermaksud mencari alur serta ritme kerja yang tepat sebelum terbit untuk pertama kalinya. Di tengah jalan, terjadi beberapa penyesuaian. Salah satunya adalah perubahan nama media kami jadi The Geovanie Times, yang diambil dari nama sang pemilik, Jeffrie Geovanie. Pada akhirnya, namanya kembali diubah jadi GeoTimes, mungkin agar lebih ringkas.

Seiring berjalannya waktu, saya ditempatkan dalam tim majalah dan mendapat mandat menulis berita nasional, seni rupa, dan teater. Saya cukup senang dengan pembagian ini. Salah satunya karena saya gemar bermain dan menonton teater.
Di luar itu, masing-masing reporter ditugaskan bergantian menulis feature ataupun laporan utama. Di sinilah saya menemukan kemewahan yang mungkin sulit didapat bila bekerja untuk media bernama besar seperti Kompas ataupun Tempo.
Ada kebebasan besar untuk mengusulkan dan menggarap sebuah liputan. Asalkan menarik dan bernilai berita tinggi, saya bisa menuliskannya sebagai feature. Saya pernah menulis soal kontroversi jual-beli kuburan mewah, kehidupan para pencari suaka di Indonesia, atau bahkan soal kepergian Steven Gerrard dari Liverpool.
Saya juga jadi sering ke luar kota. Selama bekerja di GeoTimes, saya pernah pergi liputan ke Cianjur, Kediri, Ngawi, dan Papua, serta jalan-jalan bersama tim redaksi ke Dieng dan Pantai Carita.
Namun, yang paling membuat saya kerasan adalah lingkungan kerjanya yang bernuansa kekeluargaan. Karena kami adalah media baru, tak ada senioritas. Kantor pun berbentuk rumah, bukan gedung pencakar langit selayaknya perkantoran di daerah Jakarta Pusat. Sehari-hari, sang pemimpin redaksi, Mas Farid, dan manajer sirkulasi, Bang Ari, tidur di sana. Para pekerjanya juga bebas datang menggunakan kaus oblong, sandal jepit, atau celana denim sobek-sobek. Yang penting, kami harus rapi ketika tiba saatnya liputan atau menjumpai narasumber.


Perlahan, saya jadi suka menginap di kantor, apalagi bila tenggat sedang mengancam. Biasanya, saya akan begadang di meja kayu besar dekat kolam renang, asyik menulis hingga matahari pagi menyapa. Bang Ari dan redaktur bahasa, Mas Arwani, paling sering menemani saya lembur.
Bang Ari punya suara keras, kalau ngomong sembarangan, dan susah berhenti bila sudah bercerita. Dia adalah tipikal orang yang bisa berbaur dengan siapa saja, di mana saja. Orangnya juga loyal. Terkadang saat sedang susah, kita tak perlu minta tolong pun dia akan bantu.
Lain lagi halnya dengan Mas Arwani. Sebagai redaktur bahasa yang kelewat peka, tulisan saya kerap dibantainya. Dari sana saya belajar banyak, entah soal efektivitas kalimat ataupun diksi yang tepat. Di luar itu, orangnya iseng betul. Karena nama lengkap saya yang mirip perempuan, dia suka meledek atau bercanda memanggil “Dek Vir” dengan nada akang-akang pinggir jalan kala menggoda perempuan.
Pernah pula Mas Arwani mencetuskan ide memasang status “In a relationship” di Facebook dengan saya biar teman-temannya heboh. Saya bahkan disuruh ganti foto profil dengan gambar tokoh kartun seksi biar dikira perempuan beneran. Alhasil, istrinya sampai bingung dan menelepon dia minta penjelasan.
Teman-teman yang lain juga tidak kalah unik. Ada Mba Meisy yang kalau ketawa cantiknya hilang, Mas Didit sang penggemar fanatik Maradona yang suka nyeletuk aneh-aneh, Mba Ruth yang suka malak uang arisan dan kue sore, Idham yang suka kasih referensi profil Instagram “dedek artsy” terbaru, Kristian yang suka debat, Nuran yang tulisannya selalu saya kagumi, Miko yang selalu kalah main catur sama Mas Arwani, Dhani sang seleb Twitter yang suka ngemil minyak angin, atau Opik yang selalu ngaku punya pacar cantik walau sampai kiamat dua kali pun tidak ada yang percaya.
Bersama mereka, waktu bisa berlalu begitu saja.



Tanpa terasa, setahun sudah terlewati sejak rapat perdana itu. Banyak hal telah berubah. Orang-orang datang dan pergi mengisi hari. Yang pasti, semua berusaha menjadi lebih baik dengan caranya masing-masing. Begitu pun saya.
Selama beberapa bulan terakhir, saya merasa buntu. Saban hari, rasanya hanya repetisi. Dari Senin hingga Jumat, semua kegiatan seakan telah terencana pasti. Senin setor tulisan seni rupa atau teater, Selasa setor feature, Rabu setor bisnis dunia dan nasional (utama), Kamis setor nasional (ringkas), Jumat tenggat akhir laporan utama dan waktunya rapat perencanaan untuk edisi selanjutnya. Selalu seperti itu.
Belum lagi dengan tambahan beberapa kegiatan sampingan, salah satunya teater. Sepanjang Februari, saya mesti bolak-balik Jakarta-Tangerang untuk latihan teater demi persiapan pentas besar berjudul Kebun Ceri pada Mei nanti. Itu menyenangkan, pun sungguh menyita waktu dan tenaga.
Konsekuensinya, saya kehilangan sebagian besar waktu untuk pemenuhan diri. Buku-buku telah dibeli, film-film sudah diunduh, tapi jarang sekali ada waktu dan semangat untuk melahapnya. Blog saya pun hanya penuh dengan tulisan hasil liputan. Tak ada lagi cerita pribadi. Yang ada hanya menu utama, nihil jajanan ringan.
Maka saya mulai gelisah. Dari sana, saya yakin ada yang salah.
Itulah yang mendorong saya untuk mengetuk pintu ruangan Mas Farid pada Senin, 2 Februari 2015, dan menyerahkan surat pengunduran diri. Sebulan berselang, saya resmi undur diri. Saya tak sendiri, Amanda dan Jody juga memilih jalan yang sama walau dengan alasan berbeda.
Pada hari terakhir di kantor, saya jadi agak sentimental. Saya lihat sekeliling, dan berbagai kenangan sontak menyeruak buncah. Entah kala saya menginap dan tidur terbungkus sarung di lantai ruang rapat, sesi curhat malam dengan Bang Ari atau Mas Arwani, atau soal nyamuk di ruang belakang dekat kolam renang yang begitu ganas dan militan.

Lalu saya teringat sebuah adegan dalam serial televisi How I Met Your Mother, tepatnya di episode ke-20 pada musim ke-6 berjudul “The Exploding Meatball Sub”. Kala itu, Marshall membulatkan tekad untuk keluar dari kantornya, Goliath National Bank. Ia merasa muak dengan segala hal yang ada, dari pekerjaan yang menumpuk, lawakan kotor teman-teman sekantor, hingga rasa kopi yang dibuatnya sendiri.
Namun saat Marshall datang ke kantor keesokannya untuk mengundurkan diri, mendadak semua berubah. Segala hal yang ia benci sebelumnya kini terlihat baik-baik saja. Ia merasa sayang untuk berpisah dengan teman-teman dan rutinitas yang telah dilaluinya sekian lama di bank itu. Tekadnya tak lagi bulat.
Mendengar cerita Marshall soal hal ini, Robin menjawab enteng, “Itu adalah ‘tatapan kelulusan’.”
Robin menjelaskan, “tatapan kelulusan” biasanya terjadi pada siswa SMA jelang upacara tamat sekolah. Sebanyak apa pun penderitaan yang telah dilalui siswa itu kala SMA, tetap saja ia akan merasa sayang melepasnya begitu saja di hari kelulusan. Ada kerinduan yang datang terlalu awal untuk menahan kita pergi.
“Tatapan kelulusan” berlaku pada banyak hal lainnya di keseharian. Seperti Robin yang mendadak ragu kala hendak memutuskan pacarnya karena teringat berbagai kenangan yang pernah dilalui bersama. “Masalahnya, kita tak bisa percaya pada ‘tatapan kelulusan’ itu,” ujar Robin.
Saya pun setuju. “Tatapan kelulusan” hadir untuk sesaat dinikmati, tapi bukan untuk menarik kita kembali pada kenyataan yang membawa masygul. Telah begitu banyak cerita yang saya lalui di GeoTimes, tapi rasanya tak ada waktu yang lebih tepat untuk pergi dibanding saat ini.
Kini pertanyaannya adalah, novel apa yang akan kamu baca, Viriya?
Posting ini sedikit mengobati penasaran saya tentang Geo Times.