Marwoto dan Akbar terkejut melihat Kartolo masih hidup. Perintah untuk mereka jelas: berikan gelar “maestro” dan uang Rp 10 miliar pada keluarga Kartolo sebagai apresiasi atas jasa mengembangkan seni tradisional semasa hidupnya. Semasa hidupnya.
Padahal Yu Ning, istri Kartolo, sudah telanjur membubuhkan tanda tangan di atas surat ketetapan yang ada. Panik, dua pegawai negeri sipil tersebut bahkan menyarankan agar Kartolo bunuh diri saja.
“Matinya seperti apa terserah. Pokoknya kalau meninggal, Rp 10 miliar cair!” tegas Marwoto.
Dilema pun harus dihadapi Kartolo. Tetap hidup miskin dengan penuh idealisme, atau mati agar keluarga sejahtera.
Kisah pelik nan menggelitik ini diangkat dalam pentas Indonesia Kita berjudul Matinya Sang Maestro di Graha Bhakti Budaya, Taman Ismail Marzuki, 13-14 Mei 2014. Pentas ini sendiri merupakan ulangan dari yang pernah mereka tampilkan pada 12-13 April di tempat sama.
Banyak sentilan sosial yang disampaikan lewat pentas ini. Sedari awal, ironi mencuat kala sosok Didik Nini Thowok yang tengah membawakan tari tradisional tergusur oleh barisan joget massal yang menyanyikan lagu “Buka Sitik Jos”.
Didik sempat mencoba ikut berjoget, tapi ia kebingungan dan memutuskan untuk menyerah. Sesaat kemudian ia mengusir para penari tersebut dan melontarkan kekesalannya. Menurutnya, tarian yang benar berasal dari fondasi atau kuda-kuda yang benar pula. Bukan asal joget.
Kemudian, Didik dan kawan-kawan mencoba peruntungan dengan mengamen dari satu tempat ke tempat lain. Hal ini membawanya pada pertemuan dengan karib lamanya, Kartolo, seorang seniman ludruk yang hidup miskin dan terus tergerus perkembangan zaman.
Lantas, Kartolo pun diajak untuk mencari nafkah bersama. Kala Kartolo pergi, datanglah Marwoto dan Akbar yang mengabarkan soal pemberian uang hadiah tersebut ke rumahnya. Hal ini membawa berbagai masalah dalam hidup keluarga Kartolo yang sebelumnya tenteram dalam kemiskinan.
Misalnya saja kala anak perempuan Kartolo, Sruti Respati, didekati oleh laki-laki yang hanya mengincar hartanya saja karena mendengar perihal hadiah Rp 10 miliar. Keluarga Kartolo juga diancam akan diusir dari rumah kontrakan bila tak berhasil melunasi utang-utangnya selama ini.
Ditemani Sapari, sang pemilik kontrakan, Kartolo memutuskan pergi ke kantor Marwoto untuk bernegosiasi soal penurunan uang hadiah itu. Namun percuma saja. Di sana, Akbar malah bernafsu mengambil gambar Kartolo untuk persiapan pembangunan desain monumen patung sang seniman setelah dijemput ajal nantinya.
“Ini gila. Orang belum mati dipaksa-paksa untuk mati. Kalian justru ribut saja sama semua proyek-proyek itu,” ujar Kartolo marah.
Saat dihadapkan dengan harta, orang-orang bisa gampang menutup mata. Anak dan istri pun tak mengacuhkan amarah Kartolo. Mereka ikut serta menghadiri acara peletakan batu pertama monumen Kartolo. Di sana, Marwoto bahkan memberikan pidato pembelaan untuk para seniman terlantar dengan lantang.
“Kalau ada budayawan yang masih tinggal di kolong jembatan kita harus melaksanakan restorasi. Kalau ada budayawan yang masih naik sepeda ontel, kamu percaya pada saya, saya akan melakukan sesuatu,” tegas Marwoto.
Naik pitam, Kartolo datang membubarkan kerumunan tersebut dengan celurit di tangan.
“Saya senang diperhatikan pemerintah, tapi kenapa harus mati dulu?” tanya Kartolo. “Komitmen saya jadi budayawan untuk berkarya, bukan dapat penghargaan.”
Apa yang terjadi pada Kartolo di atas panggung sesungguhnya tak jauh beda dengan kehidupannya sehari-hari. Ia telah bermain ludruk sejak setidaknya 1960 silam. Kepiawaiannya melontarkan humor membuat banyak tawaran rekaman ia terima pada 1990-an. Sayangnya, ia tak pernah mendapatkan royalti karena bayarannya hanya diterima seusai rekaman dengan sistem putus. Kini, tawaran manggung tak lagi sebanyak dulu karena pergeseran minat masyarakat. Namun, ia tak tergoda untuk alih profesi dan setia untuk menjadi aktor di atas panggung selamanya.
Kematian, memang kerap mengingatkan kita untuk lebih menghargai hidup. Namun, bukan berarti penghargaan hanya ada untuk mereka yang telah dijemput ajal. Dedikasi para pegiat seni, terus bertahan hingga akhir hayat. Tak jarang, karya mereka menembus zaman, menginspirasi lintas generasi.
“Maestro-maestro itu telah memilih jalan hidupnya, plus segala risikonya. Terkadang risiko terasa getir. Namun, kepada para maestro itu kita bisa berkaca untuk menemukan keteladanan,” ujar Butet Kartaredjasa, bagian dari tim kreatif Indonesia Kita, dalam kata pengantarnya di buku pentas Matinya Sang Maestro.
***