Tepat di hari ulang tahun saya, 7 Januari 2013, saya berangkat ke Kampung Baduy, Kabupaten Lebak, Banten, sendirian. Orang-orang Baduy, atau Kanekes, adalah etnis Sunda yang masih menjalankan hidupnya selaras dengan alam. Kampungnya terbagi jadi dua bagian: Baduy Luar dan Baduy Dalam. Tidak ada listrik di sana, dan hukum adat masih berlaku kencang, khususnya bagi masyarakat Baduy Dalam.
Orang-orang di Baduy Dalam mengenakan baju adat berwarna serba putih atau hitam. Mereka tidak boleh mengenakan alas kaki atau bepergian ke luar kampung menggunakan kendaraan apapun. Masyarakat setempat adalah penganut kepercayaan Sunda Wiwitan. Tiap kampung dipimpin oleh Jaro, sementara kepala suku disebut sebagai Pu’un.
Saya memulai perjalanan dari Stasiun Serpong, Tangerang Selatan. Butuh waktu sekitar dua jam hingga saya tiba di Stasiun Rangkasbitung. Setelahnya, kita bisa naik angkot atau minibus selama dua jam pula menuju Ciboleger, kampung terluar sebelum masuk ke wilayah Baduy. Di Baduy, saya dijamu oleh Kang Jaka dan keluarga, penghuni Kampung Kaduketu, Baduy Luar. Ditemani Kang Jaka, saya berjalan kaki menuju Cibeo, kampung terluar di wilayah Baduy Dalam.
Jarak dari Kaduketu ke Cibeo kurang lebih 20 kilometer. Pada Juli 2012, saya pernah ke sana bersama teman-teman dan menghabiskan waktu sekitar empat jam sekali jalan. Sayangnya, kali ini saya urung mencapai Cibeo karena kondisi jalan yang licin berlumpur ditimpa hujan deras sebelumnya. Saya hanya sempat menginjakkan kaki di Kampung Gajeboh. Namun, suasananya tak kalah asri dan pemandangannya benar-benar menyejukkan. Penatnya kondisi kota, seakan terlupa begitu saja.
Kamera: Canon 1000D | Lensa: 18-55 mm.