Hikayat Messi

Lionel Messi menangis setelah kekalahan Argentina di final Piala Dunia 2014 melawan Jerman.
Lionel Messi menangis setelah kekalahan Argentina di final Piala Dunia 2014 melawan Jerman. Agência Brasil/Wikimedia Commons.

Bencana terus menimpa Jerman. Mereka adalah juara bertahan. Namun, penampilan di Piala Eropa 2000 adalah sebuah kesia-siaan. Sebelumnya, mereka imbang 1-1 dengan Rumania dan kalah 0-1 dari Inggris. Di laga pamungkas, tak jua datang perbaikan. Hattrick Sergio Conceicao bagi Portugal semakin menenggelamkan Jerman. Alhasil, hanya satu gol dan satu poin yang bisa mereka raih dari tiga laga Grup A. Kisah Jerman di Belgia-Belanda singkat saja.

Nama-nama besar seperti Oliver Kahn, Oliver Bierhoff dan Lothar Matthaus nyatanya tak banyak memberi arti kala itu. Mereka semua adalah prajurit tua, pilar-pilar masa lalu yang sudah senja usia dan penampilannya. Federasi sepak bola Jerman, Deutscher Fussball-Bund (DFB), tak berdiam diri begitu saja. Sudah saatnya sepak bola mengesampingkan urusan politik dan berbenah dengan serius.

Kala itu, mereka mengucurkan dana jutaan Euro untuk pengembangan akademi sepak bola di berbagai penjuru negeri. Klub-klub yang memiliki sistem akademinya sendiri juga wajib berjalan sesuai arahan DFB. Para pelatih dan pencari bakat gencar mencari talenta terbaik untuk membela panji-panji tim nasional junior Jerman. Dengan begitu, seluruh pemain muda tersebut diharapkan dapat berkembang secara kontinyu melalui seluruh tahapan usia, dari U-15 hingga U-21. Pemantauan dan pembinaan juga bisa dilakukan secara intensif.

DFB bergerak dengan cepat agar penyakit yang ada tak telanjur kronis. Sepak bola adalah identitas dan kebanggaan warga. Di sanalah Jerman lekat dengan kata ‘juara’, bukan ‘nyaris’ apalagi sekadar ‘fase grup’.

***

Pada tahun yang sama, pemain muda Argentina berusia 13 tahun resmi jadi pemain Barcelona. Namanya Lionel Messi. Ia direkrut dari tim kampung halamannya sendiri, Newell’s Old Boys. Messi penuh talenta, tapi penyakit hormon jadi kendala pertumbuhannya. Tingginya kala itu hanya 127 cm.

“Ketika saya berusia 11 tahun, mereka menyatakan bahwa saya mengalami penyakit kekurangan pertumbuhan hormon dan saya harus mulai menjalani perawatan untuk membantu saya tetap tumbuh. Setiap malam saya harus menancapkan jarum ke kaki saya, dari malam ke malam, setiap hari dalam seminggu, dan ini berlangsung terus selama tiga tahun,” kata Messi.

“Saya sangat kecil. Mereka semua bilang seperti itu, ketika saya pergi ke lapangan, ke sekolah, saya selalu jadi yang terkecil dari semuanya. Terus seperti itu hingga saya menyelesaikan perawatan dan mulai tumbuh secara normal.”

Sebelumnya, hampir saja ia bergabung dengan River Plate, tapi klub itu tak bersedia membayar biaya pengobatan Messi yang bisa mencapai $900 per bulannya. Untunglah Messi memiliki kerabat jauh yang tinggal di Lleida, bagian barat wilayah Katalunya. Dari sana, Messi mencoba peruntungan dengan melakoni sesi uji coba bersama Barcelona. Sekretaris bagian teknis Barcelona kala itu, Carles Rexach, mengendus bakat Messi.

“Saya hanya butuh waktu kurang dari 10 menit untuk yakin bahwa dia memang seorang bintang masa depan. Sepanjang karier saya selama 40 tahun, tak pernah saya melihat seorang pemain yang benar-benar bertalenta. Seseorang dengan pengetahuan sepak bola minim pun akan bisa menyadari kemampuan hebatnya,” kata Rexach kala itu.

Pada 14 Desember 2000, Rexach segera menemui ayah Messi, Jorge Horacio, untuk bernegosiasi. Tak lama, kesepakatan pun terjadi. Barcelona bersedia membayar segala biaya pengobatan yang dibutuhkan. Tak ingin buang banyak waktu, Rexach mengambil serbet terdekat dan membuat kontrak di atasnya. Messi pun memulai petualangannya di akademi Barcelona.

***

Pada 2002, Jerman seakan memupus semua kekecewaan dua tahun sebelumnya dengan mencapai babak final Piala Dunia. Sayang, mereka takluk dari Brasil 0-2 lewat sepasang gol Ronaldo.

Namun, sesungguhnya penampilan Jerman sepanjang ajang tersebut tidaklah spektakuler. Di fase grup, Jerman harus berhadapan dengan Irlandia, Kamerun dan Arab Saudi. Setelah lolos sebagai juara grup, mereka menang tipis 1-0 di tiga laga fase gugur secara beruntun; melawan Paraguay, Amerika Serikat dan Korea Selatan. Barulah mereka benar-benar bertemu dengan tim bernama besar dan memiliki tradisi juara di babak final melawan Brasil.

Ini terlihat ketika Jerman kembali jeblok performanya pada Piala Eropa 2004. Satu grup dengan Belanda, Republik Ceska dan Latvia, Jerman hanya bisa meraih dua poin dan gagal lolos ke perempat final.

Secara umum, penampilan mereka miskin kreasi. Hanya bertumpu pada Michael Ballack di lini tengah, Jerman bahkan tak bisa membuka gembok lini pertahanan Latvia dan hanya mampu imbang 0-0. Striker utama mereka kala itu, Kevin Kuranyi, kalah kelas dibanding Ruud van Nistelrooy di Belanda atau bahkan Milan Baros di Republik Ceska.

Namun, secercah harapan timbul melihat kehadiran nama-nama seperti Bastian Schweinsteiger, Philipp Lahm dan Lukas Podolski yang melakoni debutnya di turnamen besar internasional kala itu. Schweinsteiger bahkan sempat memberi assist bagi gol Ballack saat Jerman kalah 1-2 dari Republik Ceska. Lahm selalu jadi starter dan bermain konsisten di tiga laga, sementara Podolski masuk sekali sebagai pengganti.

Para pemain muda didikan akademi perlahan mulai menunjukkan tajinya.

***

Karena bakat besarnya, Messi bisa dengan cepat melalui berbagai jenjang tingkatan di akademi Barcelona. Pada 16 Oktober 2004, pelatih Frank Rijkaard bahkan memberinya kesempatan menjalani debut pertandingan kompetitif kala melawan Espanyol di La Liga. Usianya baru 17 tahun dan 114 hari, menjadikan Messi sebagai pemain termuda yang bermain di liga sepanjang sejarah tim kala itu.

Pada 17 Agustus 2005, Messi menjalani debutnya bersama tim nasional Argentina pada laga melawan Hungaria. Masuk ke lapangan pada menit ke-63, debut Messi ternyata berujung pada bencana. Wasit asal Jerman, Markus Merk, memberinya kartu merah langsung karena dianggap menyikut Vilmos Vanczak pada menit ke-65. Messi keluar lapangan dan hanya bisa menangis di ruang ganti.

“Itu tak berlangsung seperti yang saya impikan,” kata Messi usai pertandingan. “Saya sangat kecewa karena masih banyak menit yang bisa saya mainkan, tapi semuanya telah terjadi.”

Namun, kejadian itu hanyalah setitik debu dalam karier Messi setelahnya. Perlahan, Messi mulai bermain secara reguler bagi Barcelona. Ketajamannya semakin meningkat tiap musimnya dan gelar demi gelar pun terus berdatangan.

Selama 10 musim membela Barcelona, ia telah mencetak 354 gol di semua ajang dan berhasil meraih setumpuk gelar, dari enam gelar La Liga, dua Copa del Rey dan tiga trofi Liga Champion. Permainan Messi dan Barcelona terlalu cemerlang, sampai kadang membosankan melihat mereka menang dari waktu ke waktu.

Gelandang Manchester United, Paul Scholes, bahkan pernah berujar, “Saya biasanya selalu siap menonton pertandingan Barcelona tiap Sabtu malam. Namun, tiap minggunya sama saja. Mereka membantai siapa saja dengan enam atau tujuh gol, Messi mencetak hattrick setiap minggu. Saya bosan. Mereka sebagus itu, saya bosan.”

Namun, Messi di Barcelona berbeda dengan di Argentina. Messi kerap bermain bagus bagi Tim Tango, tapi tidak spektakuler. Pada Piala Dunia 2006, Messi memang bukan pilihan utama pelatih Jose Pekerman. Saat Argentina tersingkir dari Jerman di babak perempat final pun Messi sama sekali tidak dimainkan.

Setelahnya, barulah ia jadi pemain inti. Walau begitu, magisnya kerap menguap di berbagai pertandingan krusial. Misalnya kala Argentina kalah 0-3 dari Brasil di final Copa America 2007. Ia pun tak bisa berbuat banyak kala timnya dihajar (lagi) oleh Jerman 0-4 pada perempat final Piala Dunia 2010 di Afrika Selatan. Padahal, dari fase grup hingga babak 16 besar sebelumnya, Messi gemilang dengan sejumlah assistnya. Pelatih Diego Maradona kala itu memang menempatkan Messi lebih ke belakang sebagai pengatur serangan. Ini berbeda dengan perannya sebagai penyerang sayap saat bermain untuk Barcelona. Kekecewaan mendalam harus Messi terima kala itu.

“Saya punya kenangan soal Afrika Selatan,” kata Maradona. “Saya masih bisa mendengar, dan saya yakin akan selalu bisa mendengarnya, suara Leo menangis ketika kami disingkirkan oleh Jerman.”

“Ini akan jadi ujian karakter Leo, untuk mengeluarkan seluruh rasa sakit di hatinya. Brasil 2014 bisa menjadi pembalasan yang luar biasa.”

Setelahnya, semua berjalan hampir sesuai ramalan Maradona. Argentina lolos ke partai puncak Piala Dunia 2014 untuk sekali lagi berhadapan dengan sang musuh bebuyutan: Jerman. Sehari sebelum laga berlangsung, Messi sempat menyampaikan beberapa patah kata pada penggemar melalui akun Facebook-nya.

“Besok, kami akan memainkan pertandingan terpenting dalam hidup bagi negara kami. Impian dan harapan saya bisa terus terwujud hingga saat ini melalui kerja keras dan pengorbanan tim yang telah memberikan segalanya sejak laga pertama. Kami tahu bahwa kami bisa melakukannya. Orang-orang kami, para rakyat Argentina, mereka telah mendorong kami ke sini. Tapi, mimpi ini belum berakhir, besok kami ingin menang, dan kami siap!”

***

Jerman merasa sungguh siap. Segala yang mereka tanam dan rawat sejak bencana Piala Eropa 2000 silam telah membuahkan hasil. Schweinsteiger, Lahm dan Podolski kini adalah pemain senior dalam tubuh tim. Generasi baru pemain Jerman pun penuh talenta. Piala Dunia 2010 telah melambungkan nama Thomas Mueller, Mesut Oezil, Sami Khedira dan Manuel Neuer. Sementara kini, giliran Toni Kroos, Mario Goetze dan Andre Schurrle yang kebagian jatah unjuk gigi.

“Tim ini telah selangkah lebih maju,” ujar Schweinsteiger membandingkan dengan tim Jerman pada 2010 lalu. “Setiap pemain telah berkembang lebih jauh di klubnya masing-masing dan sejumlah pemain bagus juga telah mengalami peningkatan.”

Momentum juga ada di tangan mereka setelah sukses menghajar Brasil 7-1 di babak semi final. Bahkan para pemain Jerman tampak tak percaya dengan kemenangan ini.

“Ini sangat tidak bisa diprediksi. Jujur saya tidak tahu harus berkata apa. Saya masih tidak bisa percaya tentang hal ini. Ini sesuatu yang benar-benar gila,” kata Mueller. “Bagi kami, rencana tim pada hari ini telah berjalan dengan lancar. Sekarang kami harus bisa melalukan hal yang sama sekali lagi dan kami harus berjuang untuk mendapatkan hal tersebut.”

Memang, tugas Jerman belum tuntas. Tinggal satu laga lagi dan mereka bertekad untuk bertarung habis-habisan selama 90 menit. Bila perlu, hingga babak perpanjangan waktu.

***

Menit ke-121. Jerman masih unggul 1-0 berkat gol Goetze di menit ke-113. Kini, kesempatan terakhir bagi Argentina untuk menyamakan kedudukan datang lewat tendangan bebas beberapa meter dari kotak penalti Jerman. Messi bersiap menjadi eksekutor.

Tendangan bebas memang bukan hal baru bagi Messi. Ia adalah salah satu penendang utama di Barcelona, selain Xavi tentunya. Untuk Argentina, Messi bahkan baru saja mencetak gol lewat cara yang sama kala bertanding melawan Nigeria di fase grup sebelumnya. Kiper Nigeria, Vincent Enyeama, tak bisa berbuat banyak kala itu menghadapi tendangan melengkung Messi yang meluncur deras ke sudut kanan atas gawang.

Namun, kali ini kondisinya berbeda. Messi wajib menjuarai Piala Dunia untuk menyejajarkan diri dengan nama-nama besar seperti Maradona, Pele ataupun Zinedine Zidane. Semua harapan warga Argentina bergantung padanya bahkan jauh sebelum Piala Dunia 2014 berlangsung. Bila Messi berhasil jadi pahlawan, sepak bola Argentina tak lagi menganut monoteisme, atau kepercayaan hanya pada satu yang tunggal: Maradona.

Setelah sendirian membawa Argentina menjuarai Piala Dunia 1986, orang-orang bersama-sama mengultuskan Maradona. Gereja Maradona bahkan didirikan pada 30 Oktober 1998 lalu di Rosario untuk memuja mantan pemain Barcelona itu.

“Saya punya agama rasional, yaitu pada Gereja Katolik, dan saya punya agama yang merasuki hati dan gairah saya, itulah Diego Maradona,” kata Alejandro Veron, salah satu pendiri gereja tersebut.

Sebesar itulah keyakinan rakyat Argentina pada Maradona. Di satu sisi, sesungguhnya Messi adalah antitesis dari Maradona. Ia memang bermain dengan postur dan gaya serupa. Kaki kidalnya juga maut tak tertandingi. Namun, Messi jauh dari minuman keras, obat terlarang atau wanita malam. Ia bukan pemberontak dan cenderung penurut saat bermain di bawah arahan sejumlah pelatih berbeda. Ia juga selama ini setia membela satu klub saja dalam kariernya. Satu lagi, ia belum pernah menjuarai Piala Dunia.

Maka, ketika tendangan bebas Messi jauh melambung melewati gawang Jerman, sang kapten hanya bisa tersenyum kecut sesaat. Begitu juga kala peluit akhir pertandingan berbunyi kencang dan seluruh pemain Jerman larut dalam euforia. Angel Di Maria dan Sergio Aguero menangis tak tertahankan, tapi Messi cuma bisa terdiam. Matanya sempat berkaca-kaca, tapi ia tak mau terlalu lama larut dalam emosi.

Messi pernah disuntik kakinya setiap hari selama tiga tahun di kala remaja. Ia pernah dikartu merah saat melakoni debut pertandingan internasional. Ia juga pernah dicadangkan dan kalah telak dalam laga melawan Jerman di dua edisi Piala Dunia. Namun, Messi selalu bangkit. Ia sudah bosan larut dalam tangis. Lihatlah, kini tingginya sudah 173 cm, sesuatu yang jauh melebihi ekspektasinya saat pertama divonis mengidap penyakit cacat hormon.

Maka, kekalahan tak akan membuat Messi berhenti melangkah. Kejatuhan, hanyalah lecutan bagi lompatan Messi yang lebih tinggi.

***

Catatan
1. Tulisan ini pertama dimuat di media online GeoTimes.co.id.
2. Atribusi foto: “Lionel Messi in tears after the final” by Agência Brasil is licensed under CC BY 3.0 BR.

Bagikan

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Scroll to Top