Melihat foto ini, saya jadi agak sentimental. Di situ, terlihat muka penuh perhatian anak-anak Teater KataK kala mendengar evaluasi dari sang pelatih, Kak Ivan, jelang pentas Arti Cinta pada Maret 2011. Dari 19 wajah yang tampak pada foto empat tahun lalu itu, kini hanya tersisa tiga anak saja yang masih rutin terlibat dalam berbagai kegiatan Teater KataK. Sisanya, telah memilih jalannya yang lain.
Sebenarnya wajar saja. Mereka yang ada dalam foto, termasuk saya, berasal dari empat angkatan pertama Universitas Multimedia Nusantara, Tangerang, yang baru berdiri sejak 2007. Sementara itu, Teater KataK baru diresmikan sebagai salah satu Unit Kegiatan Mahasiswa pada 2009. Jadi, banyak di antaranya yang saat ini telah lulus dan sibuk dengan urusan pribadi, entah bekerja atau melanjutkan pendidikan di luar negeri.
Namun yang saya benar-benar rindukan dari masa itu adalah kehangatan dalam kesederhanaannya. Hanya ada sekitar 30 anggota, tapi kami selalu menghabiskan waktu bersama. Misalnya setelah latihan dan sesi evaluasi, biasanya kami akan berdoa, lalu berkumpul membentuk lingkaran sembari menjulurkan tangan, dan berteriak, “TEK KOEK-KOEK, KATAK!”
Kemudian kami berpencar sibuk sendiri. Ada yang membereskan barang-barangnya yang tercecer, ada yang mengembalikan bangku ke posisi asalnya, ada yang langsung sibuk mengecek pesan masuk di ponsel. Namun kami tahu, di sela kegiatan ini, pasti ada saja yang akan berteriak, “Makan di mana, nih?!”
Sontak, masing-masing berebut memberi ide.
“Kenanga aja!”
“Lama ah keluar pesanannya kalau Kenanga.”
“Buana! Buana!”
“Bosen!”
“Yauda, pecel Jawir aja deh.”
Ide terakhir merujuk pada warung pecel lele yang ada di depan kosan saya di daerah Kelapa Dua. Entah kenapa, nama saya lekat dengan warung tersebut. Padahal, ketua Teater KataK saat itu, Panji Wijaya, telah tinggal di kosan yang sama jauh lebih lama dari saya. Namun, tak ada yang pernah menyebut warung itu sebagai pecel Panji.
Lalu kami akan jalan beriringan menuju tempat makan yang disepakati. Ia yang tak membawa kendaraan pribadi, bisa nebeng yang lainnya. Bila kendaraannya tak cukup, pokoknya harus diatur agar jadi cukup. Semua mesti ikut makan, karena saat itulah anak-anak bisa mengakrabkan diri, entah curhat, pedekate, atau sekadar ngobrol ngalor ngidul hingga lewat tengah malam.
Lain lagi halnya saat begadang mengerjakan properti pementasan di loading dock kampus. Saat itu, biasanya anak-anak telah diminta kumpul dari sekitar jam 8 malam. Lalu kami mulai sibuk membicarakan konsep properti yang ada. Selewat tiga jam, belum ada yang benar-benar kami kerjakan. Semua baru berubah setelah Johan datang, sang pentolan properti yang bisepnya lebih kekar dari betis saya.
“Ah kelamaan lo,” kata Johan yang biasa datang mengenakan ransel ajaibnya. Dari ransel itu, Johan akan segera mengeluarkan berbagai peralatan yang bila dibawa masuk ke bandara, niscaya kita akan ditangkap atas tuduhan percobaan pembajakan pesawat. Ada gergaji, tang, obeng, palu, paku dan lainnya.
Untuk masalah seperti ini, kita memang percaya pada Johan. Saya sendiri yakin, bila suatu hari nanti dia menikah, Johan pasti mampu membangun rumahnya sendiri tanpa bantuan tukang yang lain. Kualitasnya bisa diadu dengan jin-nya Bandung Bondowoso.
Proses pengerjaan selalu berlangsung hingga subuh, kadang bahkan setelah matahari terbit. Saat itu belasan orang bisa datang, walau tak semuanya ikut membantu mengerjakan. Namun, pembagian tugasnya jelas. Ada Tim Hore yang biasa dipimpin oleh Flores, tugasnya cuma komentar dan ketawa-ketawa sampai pagi. Ada Tim Suntikan Moral berisi cewek-cewek yang suka datang bawa camilan dan ikut membantu pekerjaan yang relatif lebih ringan. Ada Tim Kerja Berat yang dipimpin oleh Johan, mungkin hanya berisi empat sampai lima orang. Bersama mereka, menggergaji dan memaku bisa jadi begitu menyenangkan.
Kadang, saya tak habis pikir kenapa kami mau capek-capek melakukan semua itu. Latihan sampai malam, mengerjakan properti hingga subuh, kesiangan masuk kelas, dan seterusnya. Selalu seperti itu. Bahkan, suatu kali ada seorang anak bilang, dia semangat ke kampus karena mau ketemu anak-anak KataK. Saat itu, saya merasa bangga sekali bisa jadi bagian dari keluarga ini. Kami mungkin tak tahu akting yang benar itu seperti apa. Pentas pun jarang-jarang dan cuma bisa di kampus sendiri. Namun, kami adalah teater kecil berhati besar.
Kami tak tahu apa yang menanti di depan, tapi kami tahu, selalu ada ruang pembelajaran di setiap waktu kami berproses bersama.
Selang empat tahun, banyak hal telah berubah. Orang-orang datang dan pergi mengisi hari. Anggota kami semakin banyak, dan jelas, kian sulit pula untuk membuat semuanya senang. Kadang, saya merasa hubungan antara para senior dan junior seperti iring-iringan sepeda motor di tengah macetnya Jakarta. Yang senior memimpin di depan, menyalip sana-sini karena sudah menguasai betul kondisi jalan dan tahu jelas ke mana mereka harus menuju. Sementara yang junior hanya bisa pasrah mengikuti dari belakang, kerap tertinggal, dan mesti berusaha mencari jalannya sendiri. Saat telah terpisah terlalu jauh, yang junior bisa dengan mudah pergi begitu saja, malas mengikuti lagi rombongan yang sama di lain waktu.
Di sini, kita tak bisa menyalahkan kemampuan berkendara pada junior. Karena kondisi jalan bisa jadi sungguh tak tertebak. Ada yang tertahan di lampu merah, ada yang tergelincir ke selokan, atau mungkin kena tilang polisi. Saat itu, seharusnya ada senior yang menemani di belakang, entah untuk mengajak berhenti sejenak, menghibur di kala penat, atau sekadar mengajak makan ketika lapar. Karena hal-hal kecil itu yang kerap kita lupa, hingga akhirnya rombongan yang sampai tujuan tersisa sedikit saja.
Lalu, akan jadi menggelikan bila sang pemimpin rombongan justru balik bertanya, “Memangnya ada masalah apa sih? Kenapa yang lain engga mau mengikuti kita?”
Ah, kita memang senang berkarya, tapi seharusnya jangan lupa untuk berkarya dalam senang.
Sejuta wajah-wajah waktu bagai diputar kembali, birukan hati saat merasakan lagi cerita lama Teater Katak. Terimakasih untuk kebersamaanya dulu, Terimakasih untuk waktu kalian, Terimakasih kita pernah kompak. Maafkan aku yg tercecer karna mengejar mimpi. Apapun yg terjadi kalian tetap keluarga, yaps kalian keluargaku, keluarga Katak. Dimanapun kalian saat ini, semoga kalian sukses slalu ya. Amin, selamat mengejar mimpi mimpi kalian guys