Jelang “Kemeriahan” Hari Selasa

Ilustrasi pemilu.
Ilustrasi pemilu. Marc Hatot/Pixabay.

Mi goreng buatan mama memang paling enak. Biasanya, mi instan kerap dimasak seadanya. Rebus, aduk bumbu, lahap. Namun, aturan itu tak berlaku buat mama. Mi benar-benar digoreng kering, disajikan dengan telur dadar dan terkadang tambahan bawang. Telurnya pun dicampur dengan sedikit bumbu penyedap dari dalam bungkus mi. Hasilnya, orang-orang rumah sontak keluar kamar dan mencari sumber bau sedap yang terpancar dari dapur.

“Siapa yang masak?”

“Cobain dikit dong.”

“Masakin aku juga boleh, Ma?”

Sejak SD, biasanya mama cuma sudi memasak mi goreng untuk ketiga anak lelakinya di Minggu pagi. Itupun dengan syarat: anak-anak tak boleh sering-sering jajan mi instan di sekolah. Kami semua mengangguk setuju, walau saya sendiri masih suka melanggar janji itu. Alhasil, akhir pekan di masa kecil saya identik dengan mi goreng, tayangan Doraemon di RCTI, dan kebaktian di vihara jelang siang.

Saat SMA, sesungguhnya saya sudah sering memasak mi goreng sendiri, dengan resep ajaran mama tentunya. Namun sejak mulai ngekos di Gading Serpong, Tangerang, pada tahun kedua masa kuliah, saya jadi jarang pulang. Ketika saya pulang, biasanya mama tak tega membiarkan saya masak mi sendiri. Alhasil, mama kembali turun tangan jadi koki andal.

Ini terus berlanjut hingga saya mulai kerja sebagai wartawan. Kantor saya ada di bilangan Menteng, Jakarta Pusat, sementara rumah saya terletak di Kebayoran Lama. Tak terlampau jauh, tapi saya tetap saja membandel suka menginap di kantor. Entah kenapa, di rumah saya kerap tak fokus untuk menulis atau melakukan hal produktif lainnya. Setelah masuk kamar, dorongannya pasti tertidur atau jalan-jalan di media sosial berjam-jam lamanya. Padahal, di kantor saya bisa kuat begadang hingga subuh, menulis apa saja, membaca yang mana saja.

Karena itu, ketika kemarin saya pulang dari kantor pada jam 11 malam, seperti biasa mama bertanya, “Sudah makan belum?”

“Belum, Ma.”

“Makan dulu sini. Ada sayur macam-macam itu.”

“Kalau mi goreng aja boleh? Hehehe.”

Mama pun segera mengiyakan sembari geleng-geleng kepala. Kira-kira 20 menit kemudian, mama memanggil pertanda hidangan telah siap saji. Saya langsung menyantap dengan lahap. Setelah habis, saya hendak mengambil minum untuk menghilangkan dahaga.

Tiba-tiba, mama mendekat dan bertanya, “Kalau buat wartawan, Selasa nanti keadaannya bakal gimana, Wir?

Saya memandang mama sesaat, kemudian membalas, “Ya, kalau Prabowo menang kayanya sih bakal ribut, Ma.”

“Loh, justru rusuhnya kalau Prabowo menang, ya?”

“Kelihatannya sih gitu. Soalnya banyak yang udah yakin banget kalau Jokowi menang. Bahkan pendukung Prabowo pun satu-satu udah mulai ngaku kalah dan cari celah buat nyeberang ke Jokowi. Cuma Prabowo yang masih keukeuh. Makanya, kalau nanti Prabowo menang, pendukung fanatik Jokowi pasti ngamuk.”

Mama pun mendengar sembari mengangguk kecil beberapa kali. Kemudian, dia berujar, “Kemarin, si Pak Ajo (supir keluarga) aja sampai ngomong sama mama. ‘Kalau bisa, Selasa enggak usah ke mana-mana, Bu. Takut ada apa-apa.'”

Tak lama, kakak saya turun dari lantai dua. Sontak, dia juga bertanya, “Kalau di kalangan wartawan, Selasa nanti gimana tuh, Wir?”

Mama tertawa dan berujar, “Sama aja.”

Saya pun harus menjelaskan ulang sembari menambahkan, “Pokoknya, hasilnya enggak akan selesai sampai 22 Juli. Siapa pun yang kalah, pasti akan menggugat ke MK.”

Saya mengerti betul keresahan laten yang timbul di akar rumput saat ini, apalagi bagi warga keturunan Cina seperti saya dan keluarga. Trauma mendalam soal kerusuhan Mei 1998 tak mudah untuk dilupa begitu saja. Bahkan, salah satu kerabat saya ada yang sudah menyingkir ke luar negeri bersama keluarga. Alasannya, karena takut terjadi kerusuhan (lagi).

Terkadang, menurut saya kekhawatiran yang muncul bisa jadi begitu berlebihan. Namun, siapa yang bisa menerima bila hal buruk menimpa keluarga, entah orangtua atau saudara. Siapa yang punya uang dan kuasa, pasti telah mempersiapkan perlindungan terbaik untuk keluarganya di masa-masa penuh kegamangan ini.

Saya ingat betul, saat kerusuhan 1998 saya masih duduk di bangku kelas 1 SD. Kala itu kami sekeluarga tinggal di salah satu perumahan di wilayah Kembangan, Jakarta Barat. Situasinya serba rumit. Papa baru saja kembali dari luar kota – saya lupa tepatnya dari mana – tapi terjebak di bandara Soekarno-Hatta. Ia dan banyak penumpang lain tak diizinkan ke mana-mana karena katanya situasi sedang rawan.

Di rumah hanya ada nenek, mama dan tiga anak lelakinya yang masih kecil. Untung saja ada saudara yang tinggal dekat dengan rumah. Ia adalah adik laki-laki kakek saya yang telah senja usianya dan rabun penglihatannya. Masalahnya, satu-satunya yang bisa menyetir adalah anak perempuannya yang kala itu seingat saya masih berusia 20-an awal. Jadi, bila keadaan mendesak dan kami harus melarikan diri, hanya dialah yang bisa jadi tumpuan.

“Kamu bisa nyetir?” tanya mama saya.

“Kalau keadaannya begini, ya mau enggak mau harus bisa,” balasnya.

Saya lupa jam berapa, tapi keadaannya sudah gelap. Warga berbondong-bondong keluar dari rumah, termasuk saya dan keluarga – minus papa yang terjebak di bandara. Kami hanya mencari kerumunan untuk berbagi beban dan rasa aman bersama. Lucunya, entah kenapa waktu itu saya membawa-bawa sebuah bumerang di tangan. Bumerang itu adalah oleh-oleh dari seseorang pada keluarga kami – entah siapa – dan saya sontak mengambilnya sebelum ditarik mama keluar rumah. Walau tak berarti banyak, mungkin saya merasa lebih aman bila membawa sesuatu yang mirip senjata di tangan.

Tak terjadi apa-apa malam itu. Setelahnya kami kembali ke rumah sembari menunggu perkembangan kondisi dengan was-was. Meskipun demikian, saya sama sekali tidak mengerti soal apa yang sebenarnya terjadi. Saya belum menyadari bahwa saat itu presiden korup yang memimpin Indonesia selama lebih dari tiga dekade akhirnya berhasil ditumbangkan. Saya tak tahu kalau banyak orang jadi korban, entah dibunuh, dijarah atau diperkosa.

Kira-kira 16 tahun berselang, kita baru saja melewati pesta demokrasi bertajuk pemilu 2014. Kedua calon presiden, Prabowo Subianto dan Joko Widodo, punya basis pendukungnya masing-masing. Dalam sebuah survei keluaran Saiful Mujani, dijabarkan data soal kecenderungan pemilih di tiap kubu. Menariknya, warga non-muslim cenderung memilih Jokowi. Entahlah, mungkin ini terjadi karena kelompok minoritas seperti warga keturunan Cina – yang kebanyakan adalah non-muslim – khawatir kerusuhan kembali terjadi seperti 1998 lalu bila Prabowo terpilih.

Prabowo memang identik sebagai produk keluaran rezim Orde Baru. Sementara di sisi lain, Jokowi adalah model baru politikus Indonesia yang memiliki citra jujur, bersih dan dekat dengan rakyat. Dalam sebuah wawancara dengan IndoProgress, wartawan asal Amerika Serikat, Allan Nairn, mengungkapkan hal senada.

“Jika Jokowi berhasil membersihkan birokrasi dan pemerintahan, maka ini akan menjadi terobosan besar dalam politik Indonesia. Syaratnya, harus ada gerakan dari bawah yang terorganisir. Di bawah kepemimpinan Jokowi, keadaan mungkin saja surut jauh ke belakang, jika tidak ada tekanan dari bawah. Tapi kini ada peluang yang bisa digarap. Jika Anda sukses membangun gerakan, maka perpaduan antara gerakan populer dan Jokowi si orang jujur itu mungkin akan menghasilkan kemajuan yang selama ini diharapkan,” kata Nairn.

“Jika yang naik Prabowo, Anda tidak akan mendapat kesempatan yang sama.”

Syahdan, pemilu kali ini jadi menarik karena kedua kelompok pendukung punya fanatismenya sendiri yang lahir dari pola pikir berbeda. Fenomena ini diungkapkan Yudi Latif, Kepala Pusat Studi Pancasila Universitas Pancasila, saat jadi pembicara dalam peluncuran dan diskusi jurnal Menyoal Haluan Politik Indonesia Pasca-Reformasi (15/7).

Menurut Yudi, sebagian rakyat seakan terkena cinderella complex saat menjatuhkan pilihan pada Prabowo. Itu karena citra yang dibangun Prabowo sebagai sosok heroik, datang dari kelas ningrat, gemar berkuda, dan sebagainya. Rakyat segan dan berjarak, tapi di satu sisi mengaguminya.

Di sisi lain, ada juga kelompok masyarakat yang mengagumi Jokowi karena ia sosok primus inter pares atau menonjol dari yang biasa saja. Wajar bila kemudian masyarakat terbelah dua karena kekhawatiran dan kepentingan masing-masing.

“Pertama, ada ketakutan bahwa pemimpin yang menang nanti tidak mengayomi keberagaman dan cenderung melakukan kekerasan. Ketakutan ini ada di kelompok pendukung Jokowi,” ujar Yudi.

“Dari pendukung Prabowo muncul ketakutan bahwa hanya akan ada segelintir orang kaya yang nantinya menguasai bangsa. Jadi, ada ketakutan mereka tidak mendapat jatah logistik bila Jokowi menang. Sebenarnya ini absurd, karena dari segi kekayaan, Prabowo dan Aburizal Bakrie justru lebih kaya dari pengusaha di kubu Jokowi.”

Kini jelang pengumuman resmi hasil perhitungan suara dari KPU, kedua kubu telah menyiapkan strateginya. Ribuan relawan pendukung Prabowo akan dikerahkan untuk menjaga KPU pada 22 Juli mendatang.

“Kami menempatkan personel di KPU saat pengumuman nanti agar tercipta suasana aman dan KPU tidak merasa terintimidasi,” kata Yunus Yosfiah, anggota Dewan Penasihat Tim Pemenangan Prabowo-Hatta.

Sementara itu, beredar pula kabar bahwa banyak bermunculan relawan Jokowi palsu yang mengenakan kemeja kotak-kotak dan memancing keributan. Menanggapi hal ini, Jokowi ingin meminimalisir risiko dan berujar, “Kita sudah imbau hingga tanggal 22 tidak usah keluar, tidak ada pengerahan massa dan tidak pakai baju kotak-kotak terlebih dulu.”

Bila sudah begini, entah mana yang benar dan salah. Dua-duanya mengakui kemenangan dengan risiko rakyat yang jadi korban. Segalanya bisa terjadi pada Selasa nanti atau hari-hari setelahnya, dan rasanya saya akan sering menginap lagi di kantor. Yang pasti, kala saya pulang mi goreng mama tentu akan menyambut dengan wangi semerbak.

Bagikan

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Scroll to Top