Jepretan Sosial ala Putu Wijaya

Pentas Jpret oleh Teater Mandiri.
Pentas Jpret oleh Teater Mandiri. Dokumentasi Komunitas Salihara.

Efek media, khususnya televisi, bisa membunuh. Apa yang kita saksikan tiap hari di layar kaca akhirnya kerap memengaruhi perilaku dalam keseharian. Apa lagi di masa-masa pemilihan umum. Semua berlomba menarik massa, dan adu cepat melepas tanggung jawab setelahnya.

Itulah yang disampaikan Teater Mandiri dalam pementasan Jpret arahan Putu Wijaya di Teater Salihara, Jakarta, pada 13 April 2014. Lakon yang ada memang berusaha “menjepret” perilaku sosial masyarakat di tengah hiruk pikuk pemilu.

Cerita ini berkisah soal Jpret, pria paruh baya tipikal masyarakat menengah ke bawah yang kebingungan untuk menentukan pilihannya saat pemilu. Terlalu banyak janji dan promosi saat kampanye yang beredar hingga Jpret justru bingung sendiri.

Astaghfirullah hal ‘azim… mukanya sama semua, satu senyum, senyum semua,” ujar Jpret saat melihat sosok empat calon legislatif di layar televisi.

Kini, siapa saja bisa dengan mudah mengajukan diri menjadi caleg. Dari bandit, hingga pelawak kenalan lama Jpret bernama Alung pun tiba-tiba maju ke podium kampanye. Namun, tetap saja Jpret tak kunjung mengerti ide atau gagasan yang mereka usung untuk memajukan bangsa.

“Apa benar elo bakal berbakti sama rakyat? Gue ragu sama elo. Jangan-jangan nanti rakyat yang berbakti ke elo,” tanya Jpret pada Alung.

Tak sedikit modal yang telah dihabiskan Alung untuk mencalonkan diri. Sebanyak 100 kerbau, 200 kambing dan tujuh hektare kebun sayur bahkan ia jual demi memuluskan langkah menjadi wakil rakyat.

Maka wajar saat Alung membujuk Jpret begitu rupa agar mau mencoblosnya saat pemilu. Alung dan tiga caleg lainnya pun digambarkan sampai harus keluar dari televisi untuk merayu Jpret. Tabiat dan jualannya pun beragam, dari yang berkumis tebal, berkacamata hitam, berambut gondrong hingga pandai melawak. Semua punya ciri khas yang sesungguhnya tak relevan dalam konteks mewakili rakyat.

Singkat cerita, Jpret telah menetapkan pilihannya. Namun, sepulangnya dari Tempat Pemilihan Umum, Jpret harus menghadapi Golyat, teman dekatnya yang bersikeras untuk tidak memilih atau masuk dalam golongan putih atau golput.

“Buka telinga dan baca koran, nanti kamu baru lihat patriotismemu itu konyol,” ujar Golyat.

Jpret lalu terdorong rasa penasaran untuk membaca koran. Di situ ia temukan berita yang begitu mengejutkan, bahwa partai pilihannya memutuskan berkoalisi dengan partai yang “banyak dosanya”.

“Hakmu disulap, dipakai untuk berkomplot tanpa persetujuan kamu,” kata Golyat lagi berapi-api.

Golyat tak lagi bisa berkompromi. Menurutnya, rakyat harus melawan, ngamuk agar tidak remuk, brutal agar urung jadi kadal. Sikap yang kelewat skeptis akhirnya berujung pada pesimisme berlebih menyikapi pencalonan pemimpin bersih sekalipun.

“Orang seperti ini dalam lima tahun giginya akan rontok, ompong,” ujar Golyat. “Siapa pun pemimpinnya kalau terus diobok-obok ya bakal modar.”

Namun apa pun bisa terjadi. Logika bisa diputar balik begitu saja ketika uang sudah berbicara. Dikisahkan bahwa akhirnya Golyat dan Jpret menjajal usaha sebagai tim sukses. Mereka menjual jasa pemenangan dengan bayaran miliaran rupiah.

Bukannya untung, Jpret malah buntung. Setelah gagal memenangkan kliennya, ia memutuskan untuk bunuh diri karena malu dan tak kuat menghadapi tekanan media. Hal ini digambarkan secara sureal ketika sesosok penembak misterius berpakaian serba hitam menembaknya dari dalam televisi.

Tak berhenti sampai di situ, arwah Jpret pun bahkan masih diselimuti rasa penasaran akan kursi pemerintahan yang menjadi sumber permasalahan. Dalam cahaya temaram, ia menurunkan dan berusaha untuk menghancurkan kursi yang tergantung tali di udara. Namun, kursi itu bergeming.

Akhirnya, Jpret meraih kesimpulan bahwa kursi tersebut memang ampuh dan hanya rakyat, sang pemilik sah negeri, yang bisa mendudukinya. “Yang kita perlukan adalah monarki, kekuasan raja turun temurun. Rakyat adalah raja, akulah raja!” tegasnya.

Lalu, sesosok penembak dalam bentuk siluet muncul dan sontak menghabisi Jpret (lagi). Candu kursi telah menghabisi Jpret dua kali.

“Naskah ini kan saya tulis lima tahun lalu. Namun pemilu saat ini berbeda dengan yang dulu, dari masalah pencontrengan jadi pencoblosan, koalisi dan sebagainya. Jadi sekitar 80% naskahnya saya rombak untuk penyesuaian,” jelas Putu, sutradara sekaligus penulis naskah pentas ini.

“Lewat pementasan ini, saya mengajak masyarakat untuk berpikir kritis. Saya tidak menyalahkan siapa-siapa, saya hanya ‘menjepret’ saja dan mengatakan inilah wajah kita saat ini. Apakah ini salah atau benar nanti bisa kita rundingkan kembali. Ini hanya ‘jepretan’ saja, sama sekali bukan sebuah nasihat.”

Pentas Jpret diadakan dalam rangkaian acara perayaan “70 Tahun Putu Wijaya” di Komunitas Salihara. Untuk itu, tiga naskah berbeda (Bila Malam Bertambah Malam, Hah dan Jpret) dipentaskan oleh Teater Mandiri selama tiga hari pada 11-13 April 2014. Selain itu, juga diadakan peluncuran buku kumpulan esai tentang sosok dan karya Putu dalam acara yang sama.

Puluhan tahun sudah Putu berkarya, berbagai tulisannya pun telah diterjemahkan ke beberapa bahasa seperti Jepang, Arab, Thai dan Inggris. Namun, Putu belum mau berhenti.

“Ke depannya, saya ingin menulis naskah yang bisa mengekspresikan diri saya dan juga komunikatif. Selama ini, naskah yang ada sudah komunikatif tapi kurang mengekspresikan diri saya. Hal itu karena terkadang, ekspresi saya sulit diterima oleh orang lain,” ujar Putu.

***

Catatan
1. Tulisan ini pertama dimuat di majalah GeoTimes edisi 21 April 2014.

Bagikan

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Scroll to Top