Kado 100 Hari Jokowi untuk Perubahan Iklim

Konsesi perkebunan kelapa sawit di Riau.
Konsesi perkebunan kelapa sawit di Riau. H Dragon/Flickr.

Lonceng kematian telah dibunyikan. Menjelang 100 hari masa kerjanya, pemerintahan Presiden Jokowi memutuskan untuk meleburkan, atau lebih tepatnya, membubarkan dua lembaga badan pengelola perubahan iklim bentukan era pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono. Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan kini bisa dipastikan menjadi pemegang otoritas sepenuhnya untuk urusan perubahan iklim.

Langkah tersebut wajar menimbulkan pertanyaan. Bagaimana masa depan perjuangan Indonesia menghadapi pemanasan global? Bagaimana penanganan deforestasi dan degradasi hutan di Indonesia, akan semakin baik atau justru semakin buruk? Bagaimana dengan kelanjutan moratorium izin pengusahaan hutan?

Titik balik itu muncul dengan dikeluarkannya Peraturan Presiden Nomor 16 Tahun 2015 yang ditandatangani Presiden Jokowi pada 21 Januari 2015. Dua badan yang menjadi garda depan dalam pengelolaan program perubahan iklim, yakni Badan Pengelola Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca dari Deforestasi, Degradasi Hutan, dan Lahan Gambut (Reduction Emissions from Deforestation and Forest Degradation atau Badan Pengelola REDD+) dan Dewan Nasional Perubahan Iklim dilebur di bawah Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan.

Khusus Badan Pengelola REDD+ yang selama ini dituding layaknya lembaga kuasi pemerintah, karena kedudukan kepalanya yang setingkat menteri, praktis turun status dan dipertanyakan efektivitasnya nanti bila bekerja di bawah cengkeraman birokrasi dengan segala keterbatasannya.

Setelah peleburan ini, ujian terbesar bagi Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan menyangkut isu perubahan iklim bisa dipastikan segera muncul. Pada Desember 2015, Indonesia ditunggu partisipasinya dalam konferensi perubahan iklim yang diselenggarakan Perserikatan Bangsa-Bangsa. Konferensi ini akan menghasilkan kesepakatan yang mengikat untuk mengurangi emisi karbon. Semua negara peserta akan terikat dalam kesepakatan yang mulai diberlakukan efektif pada 2020. Sebelumnya Indonesia berkomitmen memangkas gas rumah kaca hingga 41 persen pada 2020. Apakah komitmen ini akan dipatuhi?

Semua bermula pada 26 Mei 2010 di Oslo, Norwegia. Kala itu Indonesia dan Norwegia meneken surat pernyataan (letter of intent) untuk berkomitmen mengurangi emisi gas rumah kaca dengan menekan laju deforestasi dan degradasi hutan. Perjanjian itu ditandatangani Menteri Luar Negeri Marty Natalegawa dan Menteri Lingkungan Hidup dan Pembangunan Internasional Norwegia Erik Solheim. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan Perdana Menteri Norwegia Jens Stoltenberg pun menjadi saksi.

Dalam perjanjian itu, Norwegia disebutkan akan mengucurkan dana hingga US$ 1 miliar melalui tiga tahap kerja sama yang dimulai pada 2010, 2011, dan 2014. Mulanya pemerintah Indonesia fokus membentuk lembaga dan rumusan strategi untuk implementasi program REDD+. Butuh waktu lama untuk merealisasikannya. Baru pada 31 Agustus 2013, keluar Peraturan Presiden Nomor 62 Tahun 2013 tentang pembentukan Badan Pengelola REDD+.

Masalahnya, badan ini berdiri di tahun terakhir masa pemerintahan Yudhoyono. Karena itu, masa depan Badan Pengelola REDD+ pun mulai dipertanyakan setelah Joko Widodo terpilih sebagai presiden pada 2014. Apalagi Jokowi bermaksud merampingkan kabinet dan melakukan restrukturisasi. Rencana Jokowi berlanjut, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kementerian Kehutanan kemudian digabung menjadi satu. Sekitar 10 badan lain juga dihapus. Salah satunya Unit Kerja Presiden Bidang Pengawasan dan Pengendalian Pembangunan yang selama ini mengawal pembentukan dan perjalanan Badan Pengelola REDD+.

Kabinet Kerja Joko Widodo-Jusuf Kalla.
Kabinet Kerja Joko Widodo-Jusuf Kalla. Sumber: Akun Facebook Presiden Joko Widodo.

Sebelum pemerintahan Yudhoyono berakhir, Kepala Badan Pengelola REDD+ Heru Prasetyo mengajukan dua usulan terkait masa depan BP REDD+. Pertama, mereka tetap berada di bawah Sekretariat Negara. Kedua menjadi badan mandiri dengan memodifikasi Peraturan Presiden Nomor 62 Tahun 2013.

Namun pada 6 Januari 2015, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya Bakar justru mengangkat wacana untuk melebur Badan Pengelola REDD+ ke dalam kementeriannya dan mengalihkan fungsinya menjadi dewan penasihat. Alasannya, 80 persen fungsi Badan Pengelola REDD+ telah ada di kementeriannya, sementara 20 persen ada di Badan Perencanaan Pembangunan Nasional dan Kementerian Keuangan. “Otoritas badan itu jadi tumpang tindih dengan kementerian-kementerian terkait,” kata Siti.

Menteri Siti juga menegaskan bahwa dengan peleburan itu, maka setiap tugas dan fungsi Badan Pengelola REDD+ dan Dewan Nasional Perubahan Iklim disebar di beberapa direktorat jenderal di kementeriannya. Tugas pengelolaan perubahan iklim relatif akan lebih mudah karena Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, cukup punya “pasukan” yang tersebar hingga seluruh pelosok daerah.

Perubahan iklim utamanya ditandai dengan mencairnya es di wilayah kutub, naiknya permukaan air laut, meningkatnya kebakaran hutan, punahnya flora dan fauna tertentu, serta migrasi besar-besaran penduduk dunia. Itu adalah berbagai risiko yang dihadapi masyarakat global akibat pemanasan suhu bumi. Suhu bumi memanas akibat peningkatan emisi gas rumah kaca seperti karbon dioksida dan metana, karena proses alamiah atau karena aktivitas manusia.

Indonesia termasuk salah satu negara yang peduli dan berinisiatif memberikan kontribusi untuk penanganan perubahan iklim. Saat Konferensi Perubahan Iklim Perserikatan Bangsa-Bangsa 2009 di Kopenhagen, Denmark, Presiden Yudhoyono menegaskan komitmen Indonesia untuk menurunkan emisi gas rumah kaca pada 2020. Targetnya, emisi turun 26 persen bila dilakukan dengan usaha sendiri, atau 41 persen dengan bantuan dunia internasional.

Inisiatif ini bersambut. Norwegia kemudian berkomitmen membantu Indonesia dengan menjanjikan dana US$ 1 miliar pada 2010. Rencananya, Norwegia akan mengucurkan dana US$ 200 juta untuk dua tahap kerja sama pertama, serta US$ 800 juta untuk tahap ketiga. Bila seluruh tahap itu berjalan dengan baik, REDD+ juga akan jadi bagian dari pasar karbon internasional. Ini disepakati dalam Konferensi Perubahan Iklim PBB 2010 di Cancun, Meksiko. REDD+ jadi salah satu mekanisme yang akan berlaku setelah Protokol Kyoto tentang perubahan iklim berakhir pada 2012.

Dalam mekanisme REDD+, tiap usaha untuk menjaga hutan akan mendapat kredit, karena ikut andil dalam mengurangi emisi gas rumah kaca global. Jumlah kredit yang diperoleh dalam waktu tertentu dapat dijual di pasar karbon. Sebagai alternatif, kredit pun dapat diserahkan ke lembaga pendanaan yang dibentuk untuk menyediakan kompensasi finansial bagi negara-negara peserta yang melakukan konservasi hutan. Tanda plus (+) dalam nama program ini merujuk pada insentif tambahan yang akan diberikan pada negara-negara yang berhasil meningkatkan cadangan karbon, melalui proyek penanaman pohon atau konservasi kawasan hutan.

Indonesia kemudian membentuk satuan tugas yang dipimpin Kuntoro Mangkusubroto, untuk memastikan terbentuk mekanisme dan kelembagaan REDD+ pada 2010. Satgas REDD+ beberapa kali diperpanjang oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, sebelum akhirnya statusnya berubah menjadi Badan Pengelola REDD+ pada 2013 dan dipimpin Heru Prasetyo dengan kedudukan setingkat menteri. Selama lebih dari setahun perjalanannya, Badan Pengelola REDD+ telah melakukan pemetaan hutan adat, penataan perizinan berbasis lahan, pendirian desa dan sekolah hijau, serta usaha pencegahan kebakaran hutan dan lahan gambut. Mereka juga mendorong usaha penegakan hukum dan resolusi konflik di berbagai daerah.

Sadar dengan praktik korupsi yang laten terkait pengelolaan kehutanan, salah satu cara Badan Pengelola REDD+ untuk mengatasinya adalah dengan menerapkan kebijakan satu peta kehutanan. Selama ini tiap kementerian dan lembaga memiliki peta sendiri, sehingga menyulitkan dalam penyeragaman rujukan wilayah pemanfaatan lahan. Dengan satu peta sebagai referensi pasti, konflik tenurial diharapkan bisa ditekan.

Jauh sebelumnya, upaya pencegahan ini juga dilakukan melalui moratorium izin kehutanan, perbaikan tata kelola hutan dan gambut, serta peninjauan izin. Moratorium ini diperpanjang hingga 2015 dan dipertanyakan kelanjutannya setelah peleburan Badan Pengelola REDD+ ke dalam Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan.

Wajar bila muncul keraguan terhadap peleburan Badan Pengelola REDD+ dan Dewan Nasional Perubahan Iklim di bawah kendali kementerian. Sebab, selama ini pemerintah justru dinilai bagian dari masalah kehutanan.

“Selama ini yang jadi sumber penyebab kehilangan hutan di Indonesia justru pihak kementerian, yang telah memberikan izin melepas kawasan dan melakukan penebangan,” kata Rukka Sombolinggi, Deputi II Sekjen Aliansi Masyarakat Adat Nusantara untuk Advokasi Kebijakan, Hukum, dan Politik. “Mereka yang paling bertanggung jawab karena menguasai hampir 80 persen hutan di Indonesia.”

Konsesi perkebunan kelapa sawit di Papua.
Konsesi perkebunan kelapa sawit di Papua. Ulet Ifansasti/Greenpeace.

William Sabandar, Deputi Operasi Badan Pengelola REDD+, membantah tudingan lembaganya hanyalah lembaga kuasi pemerintah yang mayoritas fungsi kerjanya tumpang tindih dengan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. “Untuk perbaikan tata kelola menyangkut perubahan iklim itu ada 18 kementerian dan lembaga yang terkait, ada pemerintah daerah dan pemerintah provinsi yang punya peran di situ. Jadi, ini bukan hanya urusan satu kementerian. Ini lintas sektoral,” katanya.

Hal lain yang perlu diwaspadai adalah para mafia hutan dan pengusaha yang mengeksploitasi hutan seperti pengusaha sawit, hutan tanaman industri dan pertambangan yang selama ini menentang langkah Badan Pengelola REDD+. Mereka bisa dipastikan yang paling depan bersorak setelah Badan Pengelola REDD+ hilang dari peredaran.

“Memang masih banyak sekali yang menghambat, misalnya industri kelapa sawit yang tidak senang dengan adanya BP REDD+,” kata Bustar Maitar, Kepala Kampanye Hutan Indonesia dari Greenpeace International. Menurut Bustar, para pengusaha itu umumnya menganggap moratorium sebagai penghambat investasi. Bila tak ada usaha konkret untuk mencegah aksi para mafia tersebut, hutan Indonesia akan kian terancam.

Transparansi dan akurasi data pemerintah juga menjadi soal yang dipertanyakan setelah peleburan Badan Pengelola REDD+ dan Dewan Nasional Perubahan Iklim ke dalam Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Pada Mei 2013 Menteri Kehutanan Zulkifli Hasan mengklaim Indonesia mencatat prestasi positif dalam pengurangan deforestasi. Bila pada 1996 hingga 2003 laju deforestasi mencapai 3,5 juta hektare per tahun, maka menjelang dia turun dari kursi menteri, laju deforestasi justru turun drastis hanya 450 hektare per tahun. “Ini artinya, deforestasi tinggal 15 persen,” kata Zulkifli Hasan kala itu.

Bahkan, kata Zulkifli, penerapan moratorium izin kehutanan dan capaian penyerapan emisi gas rumah kaca dari sektor kehutanan dan lahan gambut hingga akhir 2012 telah mencapai 16,57 persen dari target 26 persen pada 2020.

Data versi pemerintah itu berbeda tajam dari hasil riset Matthew Hansen dari University of Maryland yang dimuat di jurnal ilmiah Nature Climate Change, 29 Juni 2014. Deforestasi di Indonesia disebut meningkat dengan cepat, meski sudah ada moratorium. Hansen menyebutkan, hilangnya hutan alam primer tropika di Indonesia merupakan kehilangan hutan primer tercepat di dunia. Dalam rentang waktu 2000 – 2012 Indonesia kehilangan 6,02 juta hektare hutan. Bahkan, hanya pada 2012 laju kehilangan hutan menyentuh 0,84 juta hektare, dua kali lipat dari angka rata-rata pada 2009-2011. Umumnya hutan primer lenyap setelah mengalami konversi dari kawasan hutan menjadi peruntukan bisnis komersial, terutama perkebunan dan hutan tanaman industri.

Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup Indonesia Abetnego Tarigan mencoba bersikap bijak menyikapi peleburan Badan Pengelola REDD+ dan Dewan Nasional Perubahan Iklim. Menurut dia, meskipun posisinya mungkin tak sekuat sebelumnya, Badan Pengelola REDD+ diharapkan bisa tetap menjalankan agenda untuk mengurangi emisi dan menekan deforestasi.

“Ke depan diharapkan semuanya lebih jelas. Kementerian kan berada di bawah undang-undang, sedangkan BP REDD+ hanya diatur peraturan presiden,” kata Abetnego. “Ketika bicara langkah-langkah yang lebih konkret, misalnya penegakan hukum dan penyelesaian konflik kehutanan, eksekutornya tetap dari kementerian.”

Abetnego tak membantah bahwa bila berada di bawah kementerian, ada risiko urusan birokrasi yang berbelit bisa menghambat laju Badan Pengelola REDD+. Apalagi Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan menangani banyak isu dan masalah kehutanan, bukan hanya mengurusi REDD+.

Apa pun, kini ujian komitmen Indonesia untuk mengatasi perubahan iklim global ditunggu pada akhir tahun 2015. Itu artinya pekerjaan rumah untuk mengatasi laju deforestasi dan degradasi hutan di dalam negeri harus dilakukan lebih serius dan agresif. Tanpa capaian positif, maka komitmen Indonesia di mata dunia akan dianggap sekadar bualan tak lucu.

***

Catatan
1. Tulisan ini pertama dimuat di majalah GeoTimes edisi 2 Februari 2015.
2. Atribusi foto 1: “Oil Palm Concession” by H Dragon is licensed under CC BY 2.0.
3. Atribusi foto 2: “Kabinet Kerja Joko Widodo-Jusuf Kalla” dari akun Facebook Presiden Joko Widodo.
4. Atribusi foto 3: “Konsesi perkebunan kelapa sawit di Papua” oleh Ulet Ifansasti/Greenpeace.

Bagikan

1 thought on “Kado 100 Hari Jokowi untuk Perubahan Iklim”

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Scroll to Top