Perempuan berstoking hijau ketat duduk di pinggir jalan remang. Baju, tas dan seluruh pernak-pernik di tubuhnya bernuansa hijau dan kuning. Ia menduduki bendera kebangsaan Brasil. Tatapannya kosong. Sebatang rokok terjepit di tangan kanan. Wajahnya sembap seperti habis menangis. Orang-orang berlalu lalang di hadapan, tapi ia tak peduli.
Tak hanya itu. Orang-orang berpelukan saling meringankan beban. Beberapa terdiam tak berdaya, sementara yang lainnya mengumpat dan memaki tanpa henti.
Pria bertopi fedora krem dan berbaju tim nasional Brasil berteriak, “Mereka mendapat 1 juta reais (mata uang Brasil) per bulan. Fred mendapat 100.000 reais, tapi dia tak pantas mendapatkannya. Harusnya ada batasan gaji untuk para pemain. Ini memalukan, memalukan! ”
Mereka marah, kecewa dan tak percaya setelah menyaksikan sebuah adegan pembantaian. Jerman membantai Brasil 7-1. Tempat kejadian perkaranya ada di Stadion Mineirao, Belo Horizonte, di tanah Brasil sendiri pada 9 Juli dini hari. Ini mungkin tak pernah terbayangkan dalam pikiran terliar setiap penggemar sepak bola sekalipun. Brasil dihajar habis-habisan, lalu ditinggal begitu saja di rumah sendiri.
Brasil pernah dilecehkan sebelumnya, tapi tidak sekeras ini. Pada 1950, pertama dan terakhir kalinya Piala Dunia diselenggarakan di Negeri Samba, Brasil melaju hingga babak final. Kala itu sistem kompetisinya berbeda. Tidak ada babak gugur. Empat tim terbaik harus bersaing kembali dalam grup dan mengumpulkan poin terbanyak untuk bisa jadi juara. Ada Uruguay, Brasil, Swedia dan Spanyol di sana.
Pada 16 Juli, dua laga berlangsung secara bersamaan, Uruguay lawan Brasil, serta Swedia lawan Spanyol. Brasil memimpin klasemen sementara dengan empat poin hasil dari dua kemenangan sebelumnya – kala itu satu kemenangan hanya mendapat dua poin. Uruguay mengekor di belakang dengan tiga poin, sementara Spanyol dan Swedia sama-sama telah pupus peluangnya jadi juara karena hanya mampu meraih satu dan nol poin.
Penentuan ada di Stadion Maracana, Rio de Janeiro, tempat berlangsungnya laga antara Uruguay dan Brasil. Brasil cuma butuh seri, sementara Uruguay harus menang. Friaca sempat membawa Brasil unggul di menit ke-47. Namun, semua berubah jadi tragedi kala Uruguay bisa membalas dua kali lewat gol-gol Juan Alberto Schiaffino dan Alcides Ghiggia, masing-masing di menit ke-66 dan 79. Puluhan tahun kemudian, rakyat Brasil menyebut hari itu sebagai Maracanazo, tragedi Maracana.
Pada 2014, rakyat Brasil mencoba menghapus ingatan buruk tersebut. Trofi keenam Piala Dunia di rumah sendiri sungguh sempurna untuk mengembalikan identitas Brasil sebagai raja sepak bola – setelah enam tahun terakhir predikat itu diambil oleh Spanyol. Dengan menjadi juara, seluruh protes kaum sosialis akan penyelenggaraan Piala Dunia yang menumpuk utang dan menyengsarakan rakyat diharapkan dapat hilang perlahan. Nasionalisme bangkit dan bisa jadi preseden positif untuk pemilu pada Oktober mendatang.
Persiapan pun dilakukan dengan serius. Luiz Felipe Scolari yang membawa trofi Piala Dunia pada 2002 lalu dipanggil kembali untuk membesut tim nasional. Peremajaan dilakukan sebagai penanda lahirnya era baru. Tidak ada Kaka ataupun Ronaldinho dalam tim. Wajah-wajah segar menghiasi berbagai lini, dari Oscar hingga Neymar. Hanya pos pertahanan yang masih dominan diisi muka lama seperti Julio Cesar, Dani Alves dan Maicon.
Namun semua berbalik jadi bumerang. Brasil tampil pas-pasan dari fase grup hingga perempat final. Setelah pertandingan pertama yang dimenangkan Brasil melawan Kroasia 3-1, wartawan Reuters Michael Taylor menyemburkan kritik melalui akun Facebook-nya.
“Bila Brasil hanya mengandalkan Neymar sebagai bintang utama tim, maka ini adalah kompetisi terbuka,” katanya.
Lolos sebagai juara Grup A dengan tujuh poin, Brasil hanya bisa menang adu penalti lawan Chile di 16 besar dan unggul tipis atas Kolombia yang bermain lebih baik di perempat final. Melawan Jerman di semi final, rakyat Brasil masih berharap banyak pada tim nasionalnya.
Singkat cerita, Maracanazo sukses terlupakan. Bukan karena kemenangan, tapi karena kekalahan yang lebih memalukan. Siapapun yang tidak menyaksikan babak pertama pertandingan dan baru melihat papan skor di layar kaca pada awal babak kedua, rasanya tidak akan percaya. Skor 0-5 untuk kekalahan Brasil, dan seluruh gol tercipta hanya dalam waktu 18 menit dari menit ke-11 hingga 29. Yang lebih menyakitkan, ada nama Miroslav Klose terselip di sana.
Klose, penyerang gaek Jerman yang telah menciptakan 15 gol di empat Piala Dunia, sama dengan jumlah rekor gol terbanyak dalam sejarah ajang tersebut atas nama Ronaldo Luiz Nazario de Lima. Dengan golnya ke gawang Brasil – negara asal Ronaldo – Klose sukses jadi yang tertajam.
Malam itu, yang terjadi bagaikan tim U-21 Brasil lawan tim senior Jerman. Semua berjalan benar bagi Jerman. Operan mengalir lancar dari kaki ke kaki, para gelandang Jerman pun dengan mudah melewati pertahanan Brasil. Kita pun sontak teringat kemenangan Jerman atas Arab Saudi 8-0 di Piala Dunia 2002.
Namun, Brasil bukan Arab Saudi. Brasil adalah Brasil, tempat lahirnya pemain-pemain legendaris sepak bola dari Pele, Garrincha, Romario, Ronaldinho dan Ronaldo. Mereka identik dengan juara. Biarpun gugur dalam satu ajang Piala Dunia, kita yakin selalu ada kemungkinan bagi mereka untuk menjuarainya empat tahun kemudian. Sayangnya, kali ini kondisinya berbeda. Banyak yang lupa bahwa untuk ukuran Brasil, komposisi pemain dalam timnya sungguh mengenaskan. Tengoklah lini depan mereka yang diisi Fred, Hulk dan Jo.
Fred adalah striker medioker yang tak pernah bermain di tim besar di liga besar Eropa sepanjang kariernya. Lima tahun lalu, saat baru berumur 26 ia telah meninggalkan Lyon kembali ke kampung halamannya untuk bermain bagi Fluminense. Sebuah keputusan yang biasa dilakukan pemain senior jelang akhir kariernya. Hulk memang sempat cemerlang di Porto, tapi setelah pindah ke Zenit ia biasa saja. Ia disukai karena sosoknya yang tinggi besar dan tendangannya yang (kadang-kadang) melesat bagaikan roket; tapi jarang terlihat untuk tim nasionalnya sendiri. Sementara Jo adalah pemain buangan Manchester City yang bahkan gagal berkarier di Internacional. Kini, baru lima gol yang ia raih untuk Atletico Mineiro pada musim 2014 Liga Brasil.
Sisanya, ada Neymar yang menurun permainannya di semester dua Liga Spanyol bersama Barcelona. Ada Julio Cesar yang sempat terdegradasi bersama Queens Park Rangers di musim 2012/2013 dan bermain sebanyak tujuh kali saja bagi Toronto FC di Kanada pada 2014. Ada pula Maicon, pemain AS Roma yang sudah terlupa oleh banyak penggemar sepak bola. Yang bisa diharapkan hanyalah duet Thiago Silva dan David Luiz di lini pertahanan.
Maka, ketika Silva terkena akumulasi kartu dan Neymar cedera retak tulang belakang usai laga melawan Kolombia, asa untuk jadi juara semakin tipis saja. Babak pertama laga melawan Jerman menunjukkan segalanya. Saat jeda turun minum, staf pelatih Jerman sampai harus menasihati timnya agar tidak kelewat jumawa.
“Di paruh babak, kami memberitahu pemain untuk menghormati hasil pertandingannya dan tidak mentertawakan Brasil,” kata manajer umum tim, Oliver Bierhoff. “Kami memberitahu pemain untuk tetap tampil dengan serius – dan pemain-pemain kami melakukan itu.”
Namun apa daya, penyakit Brasil sudah kadung kronis. Andre Schurrle mampu menambah dua gol di babak kedua dan Jerman menuntaskan pertandingan dengan skor 7-1. Maracanazo benar-benar terlupa dan tergantikan oleh Mineirazo, tragedi Mineirao.
Usai pertandingan, Scolari mengaku bertanggung jawab penuh akan hasil memalukan tersebut, walau mengaku hari itu tak akan pernah bisa ia lupakan.
“Jika saya mengingat-ingat hidup saya sebagai seorang pesepak bola, sebagai seorang pelatih, sebagai guru pendidikan fisik, saya pikir ini adalah hari terburuk dalam hidup saya,” kata Scolari. “Saya mungkin akan diingat karena saya kalah 1-7, kekalahan terburuk dalam sejarah Brasil. Tapi itu adalah sebuah risiko yang saya tahu akan saya tuju ketika menerima posisi ini.”
Scolari pun meminta maaf, tapi semua tak mau tahu. Esoknya, media-media lokal membantai Brasil dengan beragam headline. Koran Lance menerbitkan halaman depan putih polos, dengan tulisan di bagian bawah, “Kemarahan, perubahan, frustrasi, menyakitkan…”
Sementara itu, koran Metro Belo Horizonte menampilkan foto langit gelap di atas stadion saat pertandingan berlangsung. Di bagian bawah, papan skor yang ada menunjukkan angka 1-7.
Kini, kondisinya serba salah. Entah siapa yang Brasil harus dukung di partai puncak, Jerman yang membantai mereka atau Argentina sang rival abadi. Yang pasti, trauma ini akan terus membekas di benak rakyat Brasil. Suatu hari mereka mungkin bisa memaafkan, tapi tak akan pernah melupakan.
***