Dalam kisah pewayangan Jawa, tokoh Semar Bodronoyo selalu hadir sebagai pengasuh sekaligus penasihat para kesatria. Ia seakan hidup dalam dua dunia. Selalu tersenyum, tapi bermata sembab. Penjelmaan dewa, tapi hidup sebagai rakyat jelata. Kebijaksanaannya tinggi.
Lalu apa kiranya yang akan Semar lakukan bila melihat konstelasi politik di Indonesia belakangan? Akankah ia akan turun tangan memperbaiki keadaan?
Inilah yang coba diangkat kelompok Indonesia Kita dalam pentas Semar Mendem pada 7-8 November 2014 di Graha Bhakti Budaya, Taman Ismail Marzuki, Jakarta. Di sana, Butet Kartaredjasa berperan sebagai produser, sementara Agus Noor jadi penulis naskahnya.
Dikisahkan, pembangunan dan modernisasi telah merambah ke mana-mana. Salah satunya Desa Karang Tumaritis, tempat tinggal Semar dan anak-anaknya: Gareng, Petruk dan Bagong.
Namun ketiganya tak berbuat apa-apa, hanya bersenang-senang saja dalam keseharian. Entah mabuk, mencuri atau bermain perempuan. Semar pun datang menegur. Ia hadir melalui proyeksi di latar belakang panggung. Butet jadi pengisi suaranya.
“Ini zaman sudah gendeng,” kata Semar dengan suara (mirip) presiden kedua Indonesia, Soeharto. “Bila saatnya tiba, aku akan nitis ke Marcapada. Bila saatnya tiba, aku butuh anak-anakku untuk berbuat baik.”
Di belahan dunia lain, Susilo sedang melakukan kampanye besar-besaran. Ia berambisi besar maju jadi presiden. Berpakaian serba putih, ia muncul sembari menunggangi kuda besar cokelat. Saat berpidato, gaya bicaranya berapi-api sembari sesekali mengutip kata-kata Bung Karno.
“Saudara-saudara, negara kita ini subur, kaya tambang, tapi rakyatnya miskin. Saudara tahu itu?” ujar Susilo. “Beri aku enam, enam fraksi, dan akan aku guncang senayan!”
Untuk membuktikan keabsahannya sebagai calon pemimpin besar, Susilo memanggil Semar dan meminta restu langsung. “Siapa pun yang jadi pemimpin Marcapada, saya restui. Tapi masyarakat yang akan memilih. Kalau kamu butuh sekadar surat, ini saya kasih surat Semar,” kata Semar sebelum ia melengos pergi.
Keadaan pun semakin runyam. Masyarakat terlena melihat aksi calon pemimpin yang merasa dirinya merupakan titisan Semar. Bahkan para panakawan juga urung berbuat apa-apa. Gareng, Petruk dan Bagong hanya tertidur pulas sementara negara sedang bergejolak.
Namun tiba-tiba Semar datang menyambangi mimpi Gareng. Semar merasa sudah saatnya ia menitiskan diri. Gareng dipilih untuk mewadahi kehadirannya. Gareng terkejut bukan kepalang. Walau mulanya tak percaya, tapi ia toh maju juga.
Alhasil, Gareng mesti bersaing keras dengan Susilo dalam proses pemilihan presiden. Bahkan perwakilan tim sukses keduanya berlomba menyuap stasiun Ono Tivi agar memberi porsi pemberitaan bernada positif lebih banyak pada calon masing-masing.
Di stasiun itu pula mereka melakoni debat soal visi dan misi dalam memimpin negara. Tak berlangsung kondusif, debat pun dihentikan di tengah jalan.
Namun tak disangka, saat pendukung masing-masing telah pergi, Gareng dan Susilo baru menunjukkan wajah aslinya. Mereka berdua sesungguhnya berkawan akrab. Susilo bahkan mengundang Gareng datang ke rumahnya untuk beramah-tamah.
Di rumahnya, Susilo mengakui dengan jantan kekalahannya. Menurutnya, Gareng sudah pasti akan memenangkan pemilihan umum. Namun, ia tetap meminta jatah kala Gareng telah berkuasa nantinya. “Eksekutif buat kamu, tapi bagian bisnis dan ekonomi buat saya,” kata Susilo.
Tak lama, datanglah anak perempuan Susilo. Rencananya, ia akan dijodohkan dengan Gareng dan diangkat sebagai Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan. “Jadi kita melanjutkan tradisi lama. Tidak jadi pemimpin, tapi setidaknya saya jadi mertua pemimpin,” kata Susilo.
Setelahnya, istri Gareng datang memergoki suaminya itu bermain hati dengan anak perempuan Susilo. Gareng pun pergi begitu saja hingga sang perempuan sakit hati. Lalu sosok Semar muncul di tengah ratapannya.
“Semar tidak boleh diam ketika ada perempuan menangis. Karena tangis perempuan bisa jadi adalah tangis seorang ibu, Ibu Pertiwi,” kata Semar.
Lalu Semar berjanji akan menunjuk perempuan itu sebagai pemimpin sejati Marcapada. Namun, tiba-tiba datang Semar lainnya. Masing-masing mengklaim diri sebagai Semar sejati. Tak ada yang tahu mana yang benar dan salah, mana yang asli dan palsu.
Maka, tak ada lagi yang bisa dipercaya. Apalagi bila ada seseorang yang mengaku sebagai pemimpin titisan Semar. Karena seharusnya kita tahu, walau punya kebijaksanaan tinggi, Semar lebih memilih untuk hidup bersama rakyat. Ia tidak menjelma atau menjadi.
***