“Tidak masuk akal; mustahil.”
Itulah definisi yang tertera dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia atas kata “absurd”. Sebuah penggambaran situasi yang irasional dan berbenturan dengan nalar.
Salah satu naskah teater legendaris yang identik dengan situasi penuh absurditas adalah Waiting for Godot karya Samuel Beckett. Sejak pertama kali dipentaskan pada 1953 silam, naskah ini telah dimainkan ulang lintas generasi di berbagai negara hingga kini.
Keunggulan Waiting for Godot adalah kebebasan tafsir yang sepenuhnya diberikan pada penonton. Dalam suasana penuh kejenuhan dan kebingungan, kita diajak untuk menemukan celah kontemplasi yang tersebar di pelbagai dialog dan adegan.
Hal inilah yang menjadi alasan bagi Teater Kami untuk mengadaptasi naskah tersebut dalam pentas Menunggu Sesuatu Godot yang Telah Pergi pada 11-12 Juni 2014. Pentas ini merupakan bagian dari serangkaian acara perayaan 25 tahun grup ini yang dimulai sejak 7 Juni di Taman Ismail Marzuki, Jakarta.
Dalam perjalanannya, Teater Kami telah menunggu selama seperempat abad untuk mencapai posisinya saat ini. Dari menunggu, kita bisa mengerti arti kedatangan. Ada harapan dan kesabaran yang berkelindan di tengah proses yang dilalui. Itulah alasan di balik pemilihan naskah pementasan.
“Kerja menunggu adalah kerja yang memproses manusia menjadi apa dan siapa mereka sejatinya. Menunggu mensyaratkan adanya sebuah kesabaran, dan juga kerelaan tak tertawarkan yang mana daripadanya ketekunan dan keteguhan kita terujikan di situ,” seperti yang tertulis dalam buku acara.
Di naskah aslinya, Estragon dan Vladimir jadi dua tokoh yang begitu setia menanti kehadiran Godot dalam situasi penuh kerancuan. Sementara dalam adaptasinya, Teater Kami menambah satu karakter lagi dalam pergulatan tersebut. Mereka adalah Ribka, Dewi dan Ummi.
Tiga wanita itu terus menunggu dari hari ke hari, menemui repetisi aksi tanpa ujung yang pasti. Mereka duduk, rebah, meregangkan badan, menengok kiri-kanan dan bahkan tertidur di tempat yang sama tanpa kenal waktu. Namun, yang ditunggu tak kunjung datang sehingga kekecewaan bertumpuk tak terelakkan.
“Godot? Kamu Godot?!” tanya salah seorang wanita usai terbangun dari lelap.
“Mimpi.”
“Tahu gitu enggak usah bangun sekalian.”
“Sia-sia.”
Sampai di suatu titik, mereka mulai ragu dengan apa yang dijalani selama ini. Benarkah Godot akan datang? Benarkah ini adalah lokasi yang tepat? Hari apa ini? Bagaimana kalau dia tidak datang? Semua terlontar dengan cepat seperti rentetan peluru memburu waktu.
Lalu, harapan membuncah kembali kala datang seorang lelaki dan ajudannya yang setia, Bah dan Tom. Dalam naskah asli, mereka adalah Pozzo dan Lucky. Tiga wanita salah menyangka Bah sebagai Godot. Harapan mereka sudah tinggi sebelum terbanting ke tanah kembali.
Kemudian, mereka justru terkesima melihat kelakuan Tom yang serba bisa. Hanya berbicara ketika diminta, Tom mampu mencipta puisi dalam waktu singkat. Temanya: tiang listrik.
“Apapun bisa jadi puisi yang menarik bila dia penyair yang baik,” ujar Bah.
Setelah Bah dan Tom pergi, tiga wanita semakin bingung. Saat itulah seorang anak kecil bernama Salvo datang membawa kabar. Katanya, Godot sudah datang sebelum tiga wanita tiba di sana.
Mereka pun memutuskan untuk pergi dan kembali esok hari. Lalu semua terulang lagi. Di tempat serupa, bertemu orang-orang yang sama, tapi dengan ingatan yang berbeda. Tak ada yang ingat bahwa kemarin pernah menemui atau berinteraksi dengan ketiga wanita tersebut. Semakin membingungkan kala Bah berubah jadi buta, tak lagi ditarik dalam peti, tapi digendong Tom di atas bahu.
“Semua berjalan seperti kutukan,” kata salah seorang wanita. “Itulah takdir yang mesti kita jalani.”
Kemudian, mereka pun bernyanyi seakan ingin menghibur diri.
Seekor anjing masuk ke dapur dan mencari sepotong daging.
Lalu tukang masak datang dengan parang dan memukul anjing itu sampai mampus.
Lalu anjing-anjing berdatangan dan menggali kubur untuk anjing itu.
Dan menuliskan namanya pada nisan sebagai penanda untuk ziarah.
Akhirnya, Godot tak juga datang hingga kisah usai. Namun, dalam proses menunggu kita menemukan perjalanan dan perenungan, soal tawa, kecewa dan lara. Tak semua bisa kita mengerti, tapi kita tetap teguh menjalani.
Tidak masuk akal; mustahil.
***