Karena Nobita adalah Kita

Doraemon dan Nobita.
Doraemon dan Nobita. Wacko Photographer/Flickr.

Ada sebuah penggambaran masa depan di tengah masa kecil saya, yang membuat segala yang mustahil rasanya punya peluang kemungkinan. Ada angan yang tumbuh secara laten pada generasi kanak-kanak saya, dan bahkan beberapa generasi setelahnya.

Semua bermula saat kelas 5 SD. Bukan saya, tapi Motoo Abiko, tepatnya ketika ia pindah ke sebuah Sekolah Dasar di Kota Takaoka pada pertengahan 1940-an untuk menjalankan takdirnya bertemu sang karib hidup bernama Hiroshi Fujimoto.

Sejak bertemu di sana, mereka mulai tak terpisahkan. Ada cinta yang tumbuh mendalam di antara mereka, bukan layaknya sepasang kekasih, tapi lebih pada kekaguman atas kemampuan masing-masing menuangkan abstraksi di kepala menjadi sebuah coretan gambar bermakna.

Awalnya mereka takut. Begitu kerap mereka menggambar diam-diam, bersama tapi dalam kesendirian, hanya berdua karena takut diolok oleh teman-teman sekelasnya. Ironis, karena gambar mereka justru tidak takut. Gambar mereka bahkan berhasil menumbuhkan mimpi anak-anak di berbagai belahan dunia.

Sejarah mencatat bahwa 1945 adalah tahun kemerdekaan Indonesia usai para pejuang berhasil memproklamirkannya di tengah masa pendudukan Jepang. Namun, tak banyak yang tahu bahwa di sekitaran tahun yang sama, sebuah duet maut dari Jepang yang akan kembali menjajah Indonesia selama puluhan tahun lamanya telah tercipta. Duet itu adalah Abiko dan Fujimoto, atau yang kemudian lebih dikenal sebagai Fujiko F. Fujio.

Buat saya, dan mungkin banyak orang lainnya, Fujiko F. Fujio adalah ayah yang tak pernah hadir, tapi terus bercerita. Soal Doraemon dan Nobita, soal mimpi yang harus tetap terjaga.

Ada cerminan dan teguran halus yang diselipkan pada tiap tingkah Nobita, yang alergi dengan buku pelajaran tapi punya kenaifan mimpi yang ingin dilaksanakan. Ada rasa iri yang membuat kita selalu merasa sendiri ketika melihat Suneo memamerkan sebagian kecil dari keseluruhan kekayaan keluarganya. Ada kepongahan dan arogansi yang menyesakkan dada di sana. Dan tak lupa, ada kegeraman pada setiap bully yang dibawa Giant dalam pertemanannya. Ada persahabatan yang hadir karena ketakutan, ada hardikan yang membuat kita tidak bisa melawan.

Syahdan, saat kekecewaan dan kesedihan mendominasi, Sizuka datang menampakkan diri. Lewat kehalusan kata-katanya, lewat ketulusan tindakannya. Ada yang menyenangkan, dan menenangkan di saat bersamaan dalam diri Sizuka. Ada kebaikan hati yang membuat kita tak berani berpikir lebih jauh setiap kali tak sengaja melihatnya sedang mandi.

Tak lupa, selalu ada jarak antara kita dan Dekisugi. Ada kenyataan bahwa ia populer dan tidak populer di waktu yang sama. Ia selalu menjadi yang terpandai, teridam dan terideal, tapi ia tak teringat ketika saatnya melakukan petualangan musim panas. Ada kecemburuan akan fakta yang mungkin belum bisa diterima oleh kita dan juga Nobita saat itu.

Nobita memang cengeng, dan ia adalah seorang eskapis sejati. Ia kerap terlalu cepat lari sebelum benar-benar menghadapi. Tangisan adalah makanannya sehari-hari. Di satu titik, kita bisa saja muak dengan tingkah Nobita, tapi itu tak pernah terjadi selama Doraemon ada di sisinya.

Karena kita tahu, selalu ada celah iba bagi Doraemon untuk menolongnya. Karena kita tahu ketika Nobita telah menangis, tak ada yang akan bertindak secepat Doraemon untuk menyelesaikan permasalahan. Karena kita tahu bahwa tak ada yang tak mungkin bila kita telah berinteraksi dengan sesuatu yang berasal dari masa depan.

Doraemon adalah angan, dan rasa aman. Angan perihal sesuatu yang luar biasa akan datang menyambut kita di abad ke-22. Aman dari segala kecemasan bahwa hidup manusia akan berujung pada stagnansi, alias sekadar berjalan di tempat.

Namun, Doraemon bukan lambang kesempurnaan. Sebuah robot yang paling sempurna pun ternyata trauma dengan kehadiran tikus di sekitarnya. Sebuah robot yang membawa banyak inovasi dan alat-alat canggih pun ternyata gemetar pula sosoknya bila harus berhadapan dengan Giant, apalagi nyanyiannya yang memekakkan telinga. Dan sebuah robot dari masa depan pun ternyata lebih menyukai makanan berakar tradisional macam dorayaki yang harganya tak seberapa dibanding produk-produk kapitalisme barat yang secara tak sadar telah menjajah nafsu makan kita selama ini.

Seluruh kisah tentang Doraemon dan kawan-kawan itu sendiri tak pernah berujung akan kejelasan konklusi. Banyak pertanyaan yang kita abaikan ketika sedang melahap kisah-kisah singkatnya di buku bergambar di masa kanak-kanak. Siapa sesungguhnya penemu Doraemon? Akankah Giant menjadi preman di hari tuanya, dan bahkan mungkin terjerat narkoba? Mungkinkah Suneo menjadi politikus dan terpikat untuk melakukan korupsi di masa dewasanya? Secantik apakah Sizuka nanti, semolek apa tubuhnya bisa menjadi? Dan apa benar bahwa Nobita adalah seorang yang bodoh hingga akhir hayatnya?

Beberapa pertanyaan itu biar kita yang menjawabnya sendiri, karena sesuatu yang terlampau jelas justru tak memberi ruang bagi imajinasi dan interpretasi pribadi.

Namun, sebagian orang ternyata merasa perlu untuk memberi akhir bagi salah satu kisah paling legendaris ini.

Banyak hal yang terjawab melalui cerita penutup ini. Namun, seperti yang telah saya tuturkan, tetap ada ruang interpretasi bagi kita untuk menerka sendiri.

Dan dari apa yang saya konstruksi, saya cukup puas dengan epilog di atas. Karena ternyata Doraemon bukan sekadar tempat pelarian instan bagi Nobita di masa kanaknya. Karena ternyata Doraemon adalah mimpi yang belum, dan harus selesai bagi Nobita.

Karena ternyata masa depan, ada di tangan kita sendiri untuk mewujudkannya.

***

Catatan
1. Atribusi foto: “Doraemon & Nobita” by Wacko Photographer is licensed under CC BY-SA 2.0.

Bagikan

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Scroll to Top