Kamis, 25 Maret 2010
Saya duduk di barisan tengah. Terlihat di sekeliling, puluhan penonton tampak asyik dengan penampilan suguhan teater kampus di depan saya itu. Lampu yang berfokus ke arah panggung membuat semua mata tertuju pada seorang pemain berbadan besar yang berperan sebagai hakim. Para penonton tertawa tanpa henti saat melihat ulah hakim tersebut “menolak” suap yang diberikan padanya untuk memuluskan sebuah perkara.
Pengacara: Saya tahu, Pak, kasus kali ini sangat berat dan melelahkan. Beruntunglah kami mendapat hakim yang bijaksana seperti Anda ini, Pak. Saya tahu Anda tentunya sangat lelah mengurus kasus ini. Maka dari itu, ini, hmm, ini ada sedikit uang lelah begitu, Pak. Hanya sedikit tapi, mohon diterima.
Pengacara menyodorkan amplopnya. Namun tiba-tiba hakim berteriak.
Hakim: LAKNAT! PENJAHAT! SAMPAH MASYARAKAT! Bodoh kau. Bodoh. Apa ini?
Pengacara: Maaf, Pak. Maaf.
Hakim: APA INI? APA? Hah? Tidakkah kau tahu sedang berhadapan dengan siapa saat ini, hah? Saya hakim paling terkenal adil dan bijaksana di seantero negeri ini. Tidakkah kau tahu aturan-aturan yang berlaku dan norma-norma luhur yang berlaku dalam peradilan di negeri ini?
Pengacara: Ta…tahu, tahu, Pak. Maaf, maaf saya lancang. Maaf.
Hakim: Tidakkah kau tahu sopan santun, anak muda? Kalau mau nyogok itu di belakang!
Pengacara tampak sungguh terkejut.
Hakim: Saya tidak suka disogok di depan umum. Mengerti?
Saya hanya bisa terpingkal melihat adegan tersebut. Sesungguhnya, tidak hanya adegan itu. Keseluruhan pementasan membuat saya kagum dan terpukau. Saya senang dengan cara teater tersebut mengemas isu sosial yang sensitif menjadi sebuah tontonan yang menghibur dan sarat makna. Saya benar-benar tertarik untuk bergabung dengan mereka.
Langsung saja saya menengok ke kanan dan memanggil seorang teman yang tampaknya juga menikmati pertunjukan tersebut.
“Raff, gue tertarik masuk teater nih.”
“Gue juga, Wir. Kebetulan dulu pas masih ikut seminari di Flores gue juga sempat ikut teater. Masuk bareng yuk.”
“Ayo.”
Tak lama, pementasan pun berakhir. Segera para pemain dan kru pementasan tersebut berkumpul untuk berfoto bersama. Toro, teman yang agak unik, tiba-tiba mengajak saya untuk menyelundup di antara para pemain itu untuk ikut foto-foto bareng. Iseng, saya turuti kemauan Toro.
Dengan berhati-hati, kami berdua pergi ke dekat gerombolan tersebut dan minta seorang teman untuk mengambil gambar seakan-akan kami adalah bagian dari mereka.
Beberapa saat kemudian, para pemain teater tersebut kembali berkerumun, lalu menjulurkan dan menempelkan tangannya menjadi satu. Setelah itu, dengan lantang mereka berteriak, “TEK KOEK-KOEK, KATAK!”
***
Sabtu, 3 Maret 2012
Pukul 15.30 WIB
Gelisah. Itu yang saya rasakan sepenuhnya. Hal ini sungguh saya tidak rencanakan. Awalnya saya hanya ingin menonton saja. Tapi, Kak Ivan sudah minta tolong, dan dia bilang, “Gue engga bisa kasih tugas ini ke orang yang engga gue percaya.”
Saya tak pernah mengurus hal ini sebelumnya. Setelah sempat melihat ruangannya beberapa saat lalu bersama seorang rekan, Very, saya malah makin khawatir. Satu pertanyaan besar, apakah saya bisa?
“Ver, entar lo bantu gue yah. Kalo ada apa-apa bisa gagal semuanya gara-gara gue,” kata saya pada Very saat itu.
“Siap, Wir. Gue juga engga nyangka seribet itu. Tapi entar gue temenin lo deh.”
***
Senin, 21 Maret 2011
Hari ini adalah hari besar. Setelah sebelumnya cuma mendapat peran-peran sampingan di beberapa pementasan seperti rakyat dan petani, akhirnya saya berhasil mendapat kepercayaan untuk memainkan peran yang cukup penting. Saya berperan sebagai si antagonis yang membunuh sang pemeran utama yang diperankan oleh Flores. Saya harus tampil maksimal, tidak boleh ada penyesalan. Begitu pikir saya.
Benar saja, pementasan kami berlangsung sukses. Puluhan orang yang dulu menonton gratis saat saya pertama kali menonton teater ini terasa tidak ada apa-apanya dengan 500 orang yang rela membeli tiket pada hari ini. Seluruh penonton berhasil terbawa dengan apa yang kami tunjukkan di atas panggung. Mereka tertawa berulang kali, dan bahkan beberapa menangis ketika menyaksikan adegan klimaks saat Flores terbunuh.
Selesai pementasan, tepuk tangan penonton membahana di dalam ruangan. Saya terharu. Tak pernah saya sangka, teater bisa menjadi candu yang begitu memikat dan mengikat dalam hidup saya. Saya tandaskan, akan terus bermain teater dan mengusahakan yang terbaik untuk teater kami.
***
Jumat, 29 April 2011
Baru saja kami turun dari panggung. Pentas kami sukses. Panitia Perayaan Paskah Kompas Gramedia di Hotel Santika, Slipi, mengatakan bahwa ini adalah penampilan terbaik kami dalam tiga tahun terakhir. Saat sedang berjalan menyusuri lorong menuju ruang ganti, saya memergoki Oksu sedang menghapus air matanya.
Ia terharu. Impiannya untuk bisa tampil sebagai pemeran utama terwujud berkat perannya sebagai Nebukadnezar dalam pentas tersebut. Bukan hal mudah bagi Oksu. Dalam dua pementasan awalnya sebagai anggota teater, ia kebagian peran sebagai rakyat, bangku, dan bencong. Saya bisa mengerti bagaimana perasaannya saat itu. Bahagia, lega, haru, semuanya campur aduk menjadi satu, buncah dalam perasaannya.
Saya sendiri kali ini berperan sebagai seorang eksekutif muda yang dengan licik berusaha menjatuhkan rekan kerjanya di kantor yang bernama Daniel. Walau bukan pemeran utama, saya berusaha tampil semaksimal mungkin hari ini, tapi dengan alasan yang berbeda dengan sebelumnya. Saya bertekad untuk menjadikan pementasan kali ini sebagai ajang terakhir bagi saya unjuk gigi di teater.
Tugas yang menumpuk tak keruan, manajemen waktu yang berantakan dan jam tidur yang tak pernah teratur membuat saya lelah. Saya cinta teater, tapi mungkin ini saat yang tepat untuk melangkah mundur. Lagipula, masih banyak darah baru teater yang bisa menjadi tumpuan dalam pementasan-pementasan selanjutnya. Begitu pikir saya.
Selang beberapa jam, setelah menempuh perjalanan Jakarta-Tangerang dengan menggunakan bus dan beberapa mobil pribadi, sampailah kami di kampus. Segera saya mencari Panji, ketua teater kami. Setelah bertemu dengannya, saya berucap, “Ji, gue minta izin buat vakum dulu yah dari teater. Tugas lagi numpuk banget.”
“Sampai kapan, Wir?”
“Entah.”
***
Sabtu, 3 Maret 2012
Pukul 19.15 WIB
“Wir, kenapa gue jadi deg-degan yah?” tanya Alung.
“Sama bro. Engga tau nih, parah.”
Sekitar 15 menit lagi, gong kedua akan berbunyi. Hal itu berarti, Stella, wakil ketua teater, akan segera membacakan kata pengantar dan menyambut lebih dari 300 penonton yang datang ke Erasmus Huis untuk menyaksikan pementasan tunggal perdana teater kami di luar kampus. Setelah itu, saya harus segera mematikan lampunya.
Satu per satu penonton mulai memasuki ruangan di dalam gedung pusat kebudayaan Belanda tersebut. Ada beberapa wajah yang saya kenal, tapi kebanyakan sisanya terasa asing. Sementara itu, TV di sebelah menunjukkan kondisi ruang ganti di belakang panggung. Di sana terlihat para pemain hilir mudik melakukan persiapan terakhir.
Berbeda dengan teater besar lainnya yang bisa melaksanakan pementasan selama berhari-hari, atau bahkan berminggu-minggu, kami adalah teater baru dan dana yang ada sungguh terbatas. Karena itu kami hanya mampu menyewa gedung ini untuk satu hari saja. Prinsip kami semua hari ini adalah “do or die“. Lakukan yang terbaik atau Anda akan menyesal di kemudian hari.
Tak lama, gong kedua pun berbunyi.
***
Minggu, 13 November 2011
Sudah lima menit saya menunggu kedatangan Cing Cing di parkiran Hotel Atlet di sebelah mal FX, Jakarta. Rencananya, kami berdua akan pergi ke JCC untuk mengikuti pameran pendidikan internasional di sana. Niat kami berdua memang sama, ingin mencari beasiswa untuk sekolah di luar negeri, tepatnya Inggris. Saat sedang menunggu, saya iseng membuka recent updates di aplikasi BBM.
Saya terkejut, tiba-tiba seluruh anggota teater kenalan saya serempak mengganti status BBM-nya. Semuanya mewartakan, teater kami baru saja jadi juara satu di perlombaan Gen-X Atma Jaya yang baru pertama kali kami ikuti tahun ini. Saya tentu ikut senang untuk mereka. Namun, kesedihan yang terselip juga tidak kalah besarnya.
Seusai pementasan Daniel lalu, saya memang memutuskan untuk mundur sementara dari teater. Semenjak itu, saya terlampau sibuk dengan pekerjaan sebagai anak magang di Kompas.com sehingga tidak sempat menengok persiapan awal teman-teman teater jelang pentas berjudul Kau Tak Sendiri. Pementasan itu sendiri akan berlangsung di depan anak-anak baru yang sedang mengikuti Orientasi Mahasiswa Baru (OMB) di kampus.
Lalu saat menjelang akhir periode magang, barulah saya sempat datang ke kampus untuk melihat persiapan teman-teman sekaligus mengembalikan beberapa properti teater yang masih tertinggal di bagasi mobil saya. Saat itulah saya bertemu Kak Ivan, sang pelatih gondrong yang telah melatih sejak awal berdirinya teater kami. Lalu tiba-tiba dia berkata, “Wir, lo bantu main jadi murid sekolahan yah. Kurang orang nih.”
Entah kenapa, saya selalu tak bisa menolak permintaan Kak Ivan. Mungkin, respek saya yang terlampau besar padanya menyebabkan hal itu. Sejurus kemudian saya menjawab, “Oke deh, Kak.”
Singkat cerita, saya kembali aktif dalam dunia teater kampus. Setelah OMB pun saya sempat menjadi mentor dalam kelompok yang berisi beberapa anggota baru. Tugas saya dan beberapa mentor lainnya adalah membimbing anak-anak baru tersebut untuk mengadakan sebuah pementasan kecil sebagai ajang unjuk gigi bagi mereka.
Setelah itu, barulah kami sibuk mempersiapkan diri untuk mengikuti lomba teater Gen-X di Atma Jaya. Kami benar-benar serius mengikuti ajang ini. Para pengurus seperti Panji, Stella dan Tasya memilih langsung para pemain yang akan tampil di sana. Dari belasan anak yang terpilih, saya merupakan salah seorang di antaranya.
Saya tentu bangga bisa mewakili kampus untuk mengikuti lomba tersebut. Semangat saya sedang membumbung tinggi ketika akhirnya datang kabar yang tak diharapkan. Seminggu setelah pemilihan pemain untuk berlomba di Gen-X, Panji datang menghampiri saya dan berujar, “Wir, lomba ini kan yang ngadain Pastoran Atma Jaya. Makanya salah satu syaratnya adalah, 70 persen pemain yang ikut harus beragama Katolik. Jatah pemain non-Katolik kita udah melebihi batas nih. Gimana kalau lo mundur dulu buat ngasih kesempatan ke anak-anak baru? Kan lo juga udah sering tampil selama ini, hehe.”
Awalnya, saya tidak masalah dengan keputusan itu. Tidak ada perasaan menyesal berlebihan yang menyesaki dada. Lalu, karena latihan teater sering kali berfokus pada lomba, saya kerap merasa kehadiran saya tidak lagi dibutuhkan di sana. Berhubung tugas juga kian menumpuk, akhirnya saya putuskan untuk keluar kembali dari teater secara perlahan.
Puncaknya adalah saat saya membaca status BBM anak-anak perihal keberhasilan mereka menjuarai lomba tersebut. Saya tidak bisa mendeskripsikan rasa sesak yang menghinggapi dada begitu rupa. Entah apa penyebabnya, karena saya merasa tidak lagi dibutuhkan mereka atau karena penyesalan tidak jadi mengikuti lomba tersebut. Lama kelamaan, sedih dan sesal jadi begitu dominan, mengalahkan rasa senang mengetahui teater kami berhasil menjadi juara dalam perlombaan pertama yang kami ikuti.
Jahatkah saya?
***
Sabtu, 3 Maret 2012
Pukul 22.00 WIB
Sukses! Saya dan Very berhasil menjalankan tugas dengan baik. Walau ada beberapa kesalahan kecil, tapi tampaknya penonton tidak menyadari. Senang dan lega rasanya mengingat inilah pengalaman pertama kami mengurus lighting panggung yang begitu kompleks dan rumit. Kami juga baru melihat dan mencoba lampu tersebut siang tadi. Jadi kira-kira kami hanya punya waktu setengah hari untuk melakukan penyesuaian. Untung saja dua orang kru dari Erasmus Huis bersedia membantu dan memberikan arahan singkat pada kami.
Sekarang, giliran Stella kembali maju ke atas panggung untuk membacakan nama pemain, kru dan daftar ucapan terima kasih di depan seluruh penonton yang telah menikmati pertunjukan kami selama dua jam penuh.
“Terima kasih kepada Stage Manager kita, Toro, serta Produser kita, Ekki! Dan tentu saja, tidak lupa terima kasih pula kepada sutradara sekaligus pelatih teater KATAK selama ini, Venantius Vladimir Ivan! Terima kasih banyak, sampai jumpa di pementasan kami selanjutnya!” ucap Stella lantang.
Setelah itu, serempak para penonton bertepuk tangan begitu kencang. Dari dalam ruangan kontrol suara dan cahaya, saya segera menyalakan lampu penonton yang menandakan bahwa pementasan benar-benar telah usai. Lalu, saya segera keluar dan bergabung dengan teman-teman. Tak saya sangka, di luar suaranya terdengar jauh lebih riuh.
Saya benar-benar terharu. Saat melihat sekeliling, tampak para penonton yang sedang mengajak pemain berfoto bersama, para keluarga yang sedang menyalami dan memeluk anaknya, dan lain-lain. Sekilas, terlihat Toro dan Ekki yang tak bisa berhenti menyunggingkan senyumnya. Mereka berdua tentu pantas mendapat apresiasi lebih atas keberhasilan Teater KataK dalam pementasan ini.
Toro, awalnya masuk teater hanya sebagai tim dokumentasi. Begitu juga dengan Ekki yang hanya ingin membantu sebagai musisi. Siapa sangka akhirnya Toro bisa menjadi pemeran utama yang menari telanjang dalam pentas Kau Tak Sendiri serta menjadi Stage Manager dalam pentas Apakah Cinta Sudah Mati hari ini. Sama halnya dengan Ekki yang akhirnya bisa menjadi produser yang mengepalai dan memimpin seluruh divisi pentas kami kali ini.
Pada akhirnya, saya rasa semua kesuksesan ini bisa terjadi berkat polesan Kak Ivan yang telah membangun Teater KataK dari nol. Sedari awal, dia selalu meletakkan penuh komitmennya pada KataK, saat senang ataupun susah. Dia pula yang meletakkan fondasi ideologi KataK yang selalu berusaha mengingatkan isu-isu sosial yang ada di sekitar kita dan menjadikannya pembelajaran bersama. Satu lagi, dia selalu bisa mengeluarkan potensi terbaik dalam diri para pemain. Bukan dengan paksaan dan tekanan, tapi dengan kebebasan dan kebersamaan.
“Having fun. Jangan sampai ada penyesalan setelah ini. Kalian harus main dan having fun bareng di atas panggung!” ujar Kak Ivan setiap kali kami akan naik ke atas panggung.
Saat diwawancara untuk buku pementasan ACSM, ia pun sempat berujar, “Kegigihan dari anak-anak Teater KataK untuk membangun dari nol, dari engga tahu apa-apa, kita mencoba membangun sesuatu yang sampai sekarang juga belum sempurna, tapi justru itu yang berkesan. Karena kita engga tahu apa-apa, tapi kita terus jalan bareng, sehingga kita menjadi tahu akan sesuatu. Ketakutan ketika menghadapi tantangan pasti ada, tapi kita hadapi bareng-bareng, maju bareng-bareng.”
Itulah yang saya sebut sebagai keluarga. Terima kasih KataK, karena telah menyediakan rumah yang senantiasa membuat saya rindu untuk pulang.