Final. Langkah terakhir yang harus ditempuh sebuah tim atau seorang individu sebelum mencicipi gemerlapnya kejayaan. Di sanalah timnas sepak bola Indonesia saat ini sedang berpijak. Suatu hal yang sangat menyegarkan karena datang di saat kemarau prestasi melanda, tapi di sisi lain juga sangat meresahkan.
Tidak bisa dimungkiri, kerinduan masyarakat kita akan gelar juara sudah begitu dalam. Terakhir kali timnas berprestasi adalah saat mendapat medali emas di SEA GAMES Manila 1991. Setelah itu, prestasi terbaik kita adalah medali perak di SEA GAMES 1997 serta menjadi runner-up Piala AFF pada 2000, 2002, dan 2004. Untuk Piala Asia, Indonesia secara konsisten masuk putaran final dari tahun 1996 sampai 2007, tapi langkah mereka selalu terhenti di babak penyisihan grup. Bisa dibilang, kegagalan telah menjadi konsistensi dalam perjuangan timnas di berbagai ajang internasional.
Memang, dalam beberapa tahun terakhir persepakbolaan Indonesia terus mengalami degradasi kualitas. Dari gagalnya Indonesia masuk ke putaran final Piala Asia 2011, keributan antarsuporter yang tak ada habisnya, banyaknya pemain yang gajinya masih nunggak serta tim yang melakukan tindakan indisipliner, serta berbagai masalah lain yang hadir dari tubuh PSSI.
Hal ini tentu memancing ketidaksabaran rakyat dan timbulnya berbagai tekanan untuk menjatuhkan Nurdin Halid dari kursinya sebagai Ketua Umum PSSI. Ya, banyak orang menganggap Nurdin sebagai biang keladi kekacauan dan akar dari segala bencana dalam sepak bola kita.
Bila Anda tidak kenal siapa itu Nurdin Halid, saya akan beri sedikit bantuan. Nurdin menjabat sebagai Ketua PSSI dari 2003. Sejak itu, ia pernah menjadi tersangka dalam kasus penyelundupan gula impor ilegal serta ditahan atas dugaan korupsi dalam distribusi minyak goreng pada 2004. Lalu, ia juga sempat terlibat kasus pelanggaran kepabeanan impor beras dari Vietnam. Akhir cerita, Nurdin dapat lolos dari jeratan kasus-kasus tersebut setelah Berita Acara Pemeriksaan Perkaranya dianggap cacat hukum serta mendapat remisi dari pemerintah bertepatan dengan Hari Kemerdekaan Indonesia.
Sungguh licin.
Sebagai Ketua PSSI, kepemimpinannya lekat dengan kontroversi. Seperti yang kita tahu, Nurdin pernah memimpin organisasi dari balik jeruji besi. Padahal, FIFA selaku federasi sepak bola internasional jelas melarang hal ini terjadi.
“A person who has been convicted of a crime and is currently in prison would not be eligible to stand for election.“
Begitulah salah satu bunyi peraturan FIFA yang seharusnya bisa langsung mendepak Nurdin Halid dari tampuk kepemimpinannya. Akan tetapi dengan prinsip pantang pulang sebelum terbakar, ia terus maju dengan berani.
“Tidak ada perintah (dari FIFA) untuk melakukan pemilihan pengurus baru, dan ini berlaku hingga 2011,” begitu ia beralasan.
Berbagai keputusan kontroversial pernah ia keluarkan, seperti mengumumkan ide menaturalisasikan pemain asing serta menentang penghentian pengucuran dana APBD untuk klub. Ia pun dengan tegas menolak ide dibuatnya Liga Primer Indonesia yang akan membuat mandiri para klub sepak bola Indonesia. Padahal, sekaratnya keuangan banyak klub saat ini justru disebabkan terlalu bergantungnya mereka pada APBD.
Di tengah kacaunya kondisi persepakbolaan Indonesia, Nurdin masih bisa mengejutkan kita dengan keputusannya mencalonkan Indonesia sebagai tuan rumah Piala Dunia 2022. Saat mendengar hal itu, terbayang sudah dalam benak saya bagaimana tim sekelas Inggris atau Spanyol harus terlambat datang ke stadion GUBUK (Gelora Utama Bung Karno) karena terjebak macet akibat banyaknya angkot ngetem. Selain itu, bagaimana dengan masalah penjualan tiket? Saat ini, ketika manajemen penjualan tiket turnamen sekelas Piala AFF saja masih amburadul dan mengecewakan sekaligus memancing emosi banyak pihak, jangan bermimpi dulu untuk menjual tiket untuk turnamen sekelas Piala Dunia. Intinya, wacana menjadi tuan rumah Piala Dunia 2022, sungguh menggelikan
Dengan berbekal pesimisme, timnas kita melangkah berani di Piala AFF 2010. Sayangnya, hal itu kembali ternoda oleh ulah Nurdin Halid dan PSSI-nya. Sebelum pertandingan berlangsung, sering kali kita lihat beberapa spanduk besar bertuliskan dukungan terhadap Nurdin Halid terpasang rapi di beberapa sudut stadion. Lalu di tengah pertandingan, para penonton dilarang untuk memasang spanduk yang berisikan kritik atau hujatan terhadap Nurdin. Oknum yang bertanggung jawab atas hal itu adalah orang-orang berkaos merah berlengan hitam, yang sebelum laga berkumpul di kantor PSSI dan setelah itu mengawal Nurdin Halid masuk ke stadion tanpa harus membayar. Keuntungan jadi preman: bisa menonton pertandingan gratis.
Sekarang, di saat Indonesia mendapat kesempatan keempatnya masuk final Piala AFF, hampir seluruh rakyat sadar bahwa inilah kesempatan terbaik kita untuk menjadi juara. Hal itu didasarkan pada penampilan menawan anak-anak asuh Alfred Riedl di babak penyisihan grup dan semifinal lalu. Perpaduan pemain tua, muda, dan naturalisasi berhasil menjadi senjata utama dalam menyingkirkan para pesaing lainnya. Apalagi, lawan mereka di final pun adalah tim yang pernah mereka bantai 5-1 di babak penyisihan grup sebelumnya, yaitu Malaysia.
Jadi, kita bayangkan bila timnas berhasil menjadi juara setelah mengalahkan Malaysia. Apa yang terjadi? Euforia. Kegembiraan luar biasa pasti akan merasuki setiap insan di Indonesia, baik yang mengerti atau tidak tentang sepak bola. Fakta bahwa lawan yang dikalahkan adalah negara yang sering memancing sentimen pribadi kita muncul pun menguatkan hal itu.
Tapi selain itu, prestasi ini justru akan menguatkan posisi Nurdin Halid sebagai Ketua Umum PSSI. Bayangkan saja, bila selama tujuh tahun menjabat dan timnas puasa gelar saja ia tetap tak tergoyahkan, apa lagi saat akhirnya prestasi datang. Hal ini jelas akan mendorongnya untuk melangkah lebih maju lagi membawa PSSI dalam kepemimpinannya. Dengan seribu satu cara, ia akan tetap bertahan di kursinya saat ini dan menikmati gelar pertama yang berhasil ia persembahkan untuk rakyat Indonesia.
Padahal, masyarakat Indonesia sudah telanjur gondok melihat dan merasakan berbagai kontroversi hasil kreativitas Nurdin. Bila hal ini terus berlanjut, bukan tidak mungkin Indonesia kembali mencalonkan diri menjadi tuan rumah Piala Dunia 2026, mayoritas pemain timnas akan diisi pemain naturalisasi, seluruh tembok GUBUK akan tertutup spanduk dukungan Nurdin Halid, dan akan muncul tren memimpin organisasi dan melaksanakan rapat di penjara.
Nurdin harus sadar, orang yang luar biasa adalah orang yang bisa keluar dari jalan yang sudah ada, kemudian ia membuat jalan baru dan meninggalkan jejak yang akan diikuti orang-orang lain di jalan itu. Saat ini, Nurdin memang telah keluar dan membuat jalan baru, tapi jejak yang ditinggalkannya menyesatkan setiap orang yang mengikutinya.
Oleh karena itu, kegembiraan seperti apakah yang harus saya rasakan bila hal ini benar-benar terjadi?