Gregor Samsa adalah tulang punggung keluarga. Miris, melihatnya terjebak dalam repetisi harian tak berujung: kerja dari pagi hingga malam, tanpa kenal hari dan jam. Sementara ayahnya begitu malas mencari nafkah, cuma bisa menonton TV setiap hari sembari menimbun utang tanpa henti.
Semua begitu bergantung pada Gregor. Bahkan sang kakak, Grete Samsa, harus membunuh mimpi melanjutkan pendidikan di sekolah musik karena impitan ekonomi. Namun, apa yang terjadi kala Gregor tak lagi bisa diandalkan dan justru berubah jadi beban?
Tak ada. Sang ayah tetap asyik mabuk-mabukan dan menonton TV. Sang ibu dan kakak semakin kelimpungan mencari cara untuk sekadar bertahan hidup dalam keseharian. Mereka terlalu lama bergantung pada Gregor, hingga lupa caranya berdiri dengan kaki sendiri.
Itulah sekilas kisah dalam pentas Metamorfosis yang dibawakan Stock Teater dalam acara Helateater Salihara 2014, tepatnya pada 28-29 Maret di Teater Salihara, Jakarta. Naskah tersebut diadaptasi dari karya Franz Kafka berjudul Die Verwandlung yang pertama kali terbit pada 1915. Sementara, pada pentas kali ini naskah yang sama ditulis oleh Rebecca Kezia dengan beberapa modifikasi tambahan.
Cerita dimulai dengan narasi kisah keluarga Samsa dan rutinitas yang dihadapi sehari-hari dalam rumah oleh Grete. Pemeran Grete, Arini Kumara, sedari awal bertugas mengatur tempo permainan dengan alunan cello yang ia bawakan sendiri sembari bernarasi.
“Itu tantangan sih, karena buat saya main cello sambil ngomong adalah sesuatu yang baru. Kadang-kadang saya bahkan harus tertawa di atas lagu yang sangat sedih. Pada akhirnya, saya harus bisa memahami dan mendalami naik turun fluktuasi emosinya si Grete di sini,” jelas Arini.
Misalnya, perubahan tempo kerap terjadi saat penceritaan rutinitas Gregor dari hari ke hari. Setiap pagi, Gregor terburu-buru bangun dan mempersiapkan diri untuk pergi bekerja menjajakan sepatu palsu dengan merek-merek terkenal. Musik yang mengiringi dimainkan dengan tempo cepat dan bernuansa ceria. Sementara, ketika Gregor pulang dengan lemas di malam harinya, musik yang masuk bertempo lambat dan bernuansa suram.
Suatu pagi, datang kejadian tak terduga. Gregor yang baru saja membuka mata tersentak begitu rupa ketika menyadari bahwa dirinya telah berubah menjadi kecoak. Entah apa yang terjadi padanya. Namun, tiba-tiba sepasang sungut telah terpasang di kepalanya, dan setiap kata yang terucap dari mulutnya berubah menjadi dengung serangga.
Saat Gregor keluar kamar, semua sontak berteriak ketakutan. Bahkan supervisor yang datang mencari Gregor pun segera lari terbirit keluar dari rumah. Suasananya kacau. Sang ayah pun cuma bisa melempari Gregor dengan sendok dan garpu.
Lalu, saat semuanya telah pergi bersembunyi, Gregor hanya bisa terpekur merenungi nasib di pojok kamarnya. “Mungkin mereka ketakutan melihat tubuhku. Jangankan mereka, aku pun takut melihat tubuhku sendiri,” ujar Gregor.
Tak hanya fisiknya yang berubah, selera makan Gregor pun tak lagi sama. Ia bahkan segera memuntahkan masakan sang ibu yang dibawakan diam-diam oleh sang kakak untuknya. Gregor baru bisa mengisi perut kala sang kakak membawakan makanan basi yang sesuai dengan seleranya.
Yang menarik, sosok Gregor yang menghilang dari rumah tak menjadi perhatian utama sang ayah. Setelah beberapa bulan terlewati, ia justru menyesali begitu rupa soal hilangnya sumber pemasukan utama keluarga. Karena utang makin menumpuk, ayah memaksa seluruh anggota keluarga lainnya untuk mengetatkan ikat pinggang: jangan boros menyalakan lampu, minum dari air keran saja, dan sebagainya.
Ayah pun cuma bisa marah-marah setiap harinya tanpa usaha untuk mencari kerja. Sementara ibu mau tak mau mengikuti kemauan ayah hingga harus bertahan hidup seadanya.
“Jangan marah-marah. Marah-marah itu butuh tenaga, sementara kita enggak punya makanan untuk dibuang jadi tenaga,” ujar ibu pasrah menghadapi kelakuan ayah.
Bahkan, mereka sempat berdelusi bahwa Gregor sebenarnya tidak kenapa-kenapa. Digambarkan bahwa Gregor akhirnya sukses mendapat pekerjaan dengan gaji 100 kali lebih besar sehingga keluarga dapat hidup berlimpah dan bergelimang harta. Namun, semua itu hanya utopia.
Di lain pihak, hanya kakaklah yang sedari awal menyadari dan menerima bahwa adiknya telah berubah jadi kecoak. Dengan sabar, Grete selalu membawakan makanan dan menjaga Gregor sehari-hari.
Namun, lama kelamaan hal ini justru jadi bumerang bagi Grete. Di akhir kisah, Grete hilang kesabaran saat Gregor keluar kamar mengusir dua tamu yang sedang mendengar alunan cello sang kakak. Gregor marah karena dua tamu tersebut datang diajak sang ayah untuk menyewa kamar Grete.
Alhasil, Grete naik pitam dan segera mengusir kecoak yang tak lagi dianggapnya sebagai adik. Sementara ibu cuma bisa panik sembari terus menyebut nama Gregor.
“Ibu, jangan panggil dia Gregor. Dia bukan adikku. Kita harus membuangnya,” tegas Grete.
Hal ini terjadi karena Grete merasa jenuh dengan kelakuan sang adik yang begitu membebaninya. Ia merasa sudah saatnya untuk menyongsong lembar baru, yaitu dengan membuang jauh-jauh Gregor dari kehidupan keluarganya.
“Karena, kalau dilihat yang bermetamorfosis di cerita ini bukan hanya Gregor. Secara fisik Gregor bermetamorfosis, tapi Grete juga bermetamorfosis dari protagonis menjadi antagonis,” ujar Arini usai pementasan.
Selain itu, salah satu aspek yang ingin ditekankan dalam kisah Metamorfosis ini adalah soal keterasingan keluarga ini sebagai manusia.
“Jadi, maunya Kafka ini adalah menonjolkan ketertekanan. Bagaimana orang-orang marjinal itu tertekan dengan persoalan ekonomi, tapi mereka bisa bertahan,” kata Faisal Ali Rasyid Aidid, pemeran tokoh ayah sekaligus asisten sutradara.
“Masalahnya adalah juga masalah masyarakat Jakarta, kaum urban yang teralienasi oleh dunia kerja dan keluarga. Ini masalah yang membumi bagi kami. Kami mencoba menafsir Gregor Samsa sebagai manusia, bukan sekadar sebagai kecoak. Hasilnya terserah Anda,” tutur Totos Rasiti, sutradara pentas ini.
Di luar itu semua, Stock Teater juga tetap menonjolkan ciri khasnya dengan menggunakan teknologi multimedia dalam permainannya. Hal ini terlihat saat dua proyektor menyorot dinding belakang setting rumah dan menampilkan berbagai video yang mendukung adegan serta jalannya cerita.
Misalkan, gambar close up kecoak yang hadir di layar sebelah kiri – atau di dinding kamar Gregor – saat Gregor menyadari dirinya telah berubah menjadi kecoak. Lain lagi halnya ketika Grete sedang meratapi nasib di dalam kamarnya. Di layar kiri, muncul gambar Grete membunuh ayah dan ibunya yang sedang terikat tak berdaya di atas ranjang. Hal ini seakan menjadi representasi pikiran Grete yang begitu jengah dengan tingkah polah kedua orangtuanya.
Selain itu, Stock Teater juga berusaha mengangkat masalah lainnya: perbudakan brand atau merek produk pada kaum urban dewasa ini. Hal tersebut ditonjolkan saat Grete menceritakan pekerjaan adiknya menjual sepatu-sepatu palsu bermerek terkenal seperti Adidas, Nike, New Balance dan lainnya.
Hal yang sama juga terjadi kala ibu menyebutkan berbagai barang kebutuhan sehari-hari yang harus dibeli agar mereka bisa bertahan hidup, seperti Rinso, Mie Sedaap dan sebagainya.
Keterasingan atau alienasi memang kerap datang di tengah hiruk pikuk kehidupan kota besar. Tak hanya Gregor, mungkin masih banyak kecoak lainnya dalam rutinitas kita sehari-hari, yang muncul sesekali tapi begitu mencekam dan menjadi beban di tiap kehadiran.
Atau jangan-jangan, kita sendirilah kecoak itu?
***