Kilas Balik Commpress

Logo pameran jurnalistik Commpress.
Logo pameran jurnalistik Commpress.

Commpress bermula dari sebuah keisengan. Rasanya gemas melihat beragam pameran seni yang kerap diadakan oleh mahasiswa DKV di berbagai sudut kampus Universitas Multimedia Nusantara (UMN). Kalau mereka bisa unjuk karya, kenapa saya dan kawan-kawan mahasiswa jurnalistik tidak bisa?

Maret 2012, saya sampaikan ide saya pada dua kawan, Benediktus Krisna dan Felix Jody. Bagaimana bila kita adakan pameran sebagai wadah apresiasi dan aktualisasi diri anak-anak jurnalistik UMN? Berbagai karya pilihan berupa tulisan dan foto kawan-kawan bisa dipajang di sana. Kita juga bisa menampilkan kilas balik sejarah dan tokoh-tokoh pers Tanah Air.

Saat itu, kami bertiga baru masuk perkuliahan semester 6. Kebetulan, saya sedang menjabat sebagai pemimpin redaksi majalah kampus independen bernama Sembilan dan redaktur pelaksana majalah terbitan marketing kampus bernama UMN Insight. Di sisi lain, Krisna dan Jody masing-masing adalah pemimpin redaksi dan pemimpin umum majalah kampus Ultimagz. Pikir saya, ini bisa jadi acara hasil kolaborasi antara dua tim majalah: UMN Insight dan Ultimagz.

Singkat cerita, Krisna dan Jody setuju dan sama-sama antusias untuk merealisasikan acara ini. Masalahnya, saat itu Ikatan Mahasiswa Komunikasi juga bermaksud mengadakan acara besar bernama CommFest. Kami khawatir, acara pameran jurnalistik bakal bentrok waktu dan lokasinya dengan CommFest.

Kami bertiga pun segera atur janji bertemu Marsela Stefanie, perwakilan dari CommFest, di kantin lama kampus. Kami ceritakan ide dan konsep acara yang ada. Ternyata, Stefanie menyambut baik maksud kami. Ia pun berjanji untuk berbagi ruang penyelenggaraan acara dengan kami.

Satu masalah selesai, muncul masalah lainnya. Pameran jurnalistik ini butuh tim, sebuah susunan kepanitiaan, dan jelas, ia butuh pemimpin. Saya, Krisna dan Jody secara terbuka menyatakan tak bersedia jadi ketua panitia. Tanggung jawab di media masing-masing plus tugas kampus yang begitu menumpuk selama ini saja sudah bikin mual. Setelah berembuk singkat, kami sepakat: kami butuh tumbal.

“Siapa ya kira-kira?”

“Mesti orang yang bisa mimpin dan dipercaya sama anak-anak.”

“Raff?”

Rafael Miku Beding, itulah jawabannya. Ia adalah sohib kami bertiga sejak awal kuliah di UMN. Sebenarnya, ia tak kalah sibuknya. Ia adalah anggota redaksi Ultimagz dan juga masuk dalam kepengurusan Keluarga Besar Mahasiswa bersama Krisna. Namun, bayangan untuk bisa mengisengi dan menjerumuskan Raff begitu menggoda, mengalahkan segala pertimbangan lainnya.

Alhasil, kami segera kumpulkan anak-anak untuk rapat perdana di Student Lounge kampus. Saat itu, kami segera menjalankan akal busuk kami.

“Oke, pertama kita mesti cari dulu ketua panitianya,” kata saya. “Gue usul Raff aja. Yang setuju mari angkat tangan.”

Semua peserta rapat sontak mengangkat tangan sembari mesem-mesem. Raff cengo.

“Loh kok gitu sih?! Mending pakai voting aja gimana?”

“Oke kalau Raff maunya begitu. Saya usul calon ketua kedua adalah Babang. Sekarang mari angkat tangan, siapa yang pilih Raff?”

Semua peserta rapat kembali mengangkat tangan sembari mesem-mesem. Raff makin cengo.

Setelah tertawa sampai sakit perut dan berusaha menenangkan Raff seadanya, kami lanjut membahas detail acara. Rencananya, pameran ini akan dibagi ke dalam tiga konsep besar. Pertama, kilas balik sejarah jurnalistik Indonesia. Gambar dan info soal berbagai peristiwa pers bersejarah akan ditampilkan di lorong samping Function Hall. Kedua, kami akan memajang profil dan latar belakang tokoh-tokoh pers Indonesia dari masa ke masa di depan lift Gedung B UMN, dari lantai 1-5. Ketiga, karya-karya mahasiswa jurnalistik UMN dari berbagai angkatan, entah tulisan ataupun foto, yang dipamerkan di dalam Function Hall.

Semua terasa begitu indah dan sempurna, sampai kami sadar, pameran ini belum punya nama. Proses pencarian nama tak pernah mudah dan kadang bisa jadi begitu pelik. Nama ini akan digunakan sampai bertahun-tahun ke depan. Jadi, ia tak boleh sembarangan.

Diskusi pun berlangsung hangat. Masing-masing mengeluarkan idenya, dari yang paling aneh sampai paling tidak masuk akal. Hingga kemudian, Lupita Wijaya bersuara.

Lupita adalah kawan sekelas saya sejak semester 1. Sedari awal mengenalnya, saya dan teman-teman tahu, ia bisa terancam lulus cum laude bila tak segera disadarkan. Bacaan dan pengetahuannya luas. Nilai ujiannya selalu memuaskan. Orangnya rendah hati pula. Melihat sosoknya di kampus bisa berefek pada jatuhnya rasa percaya diri dan munculnya delusi bahwa hidup kita selama ini adalah semu dan sia-sia.

Pada tahun pertama kuliah, saya sempat iseng membuka blog pribadi Lupita. Sebagai mahasiswa bau kencur, saya langsung minder melihat tulisan-tulisannya yang membahas isu politik terkini. Di semester akhir kuliah, saya kembali membukanya. Asu, isinya bahkan sudah berganti menjadi tulisan berbahasa Inggris. Pantas saja ia sukses mendapat beasiswa untuk S2 ke Taiwan tak lama setelah lulus dari UMN. Saat ia sedang studi di Taiwan itu, saya sempat membuka kembali blognya. Isinya, bahkan sudah ditambah dengan tulisan berbahasa Mandarin. Saya cuma bisa terdiam dan berpikir, apa lebih baik saya dagang kaus saja di Tanah Abang dibanding jadi penulis?

Maaf melantur.

Intinya, Lupita mengusulkan sebuah nama untuk pameran jurnalistik kami: Commpress. Ia adalah gabungan dari “Communication” dan “Press”. Ia juga pelesetan dari kata bahasa Inggris “compress” yang berarti memampatkan. Jadi, maksudnya karya-karya mahasiswa jurnalistik UMN dapat dipampatkan dalam sebuah wadah bernama Commpress.

Tepuk tangan membahana untuk Lupita.

Setelahnya, kami mulai bergerak mencari dana, melakukan riset, mengumpulkan adik-adik kelas yang rela menyisihkan waktu dan tenaga sebagai kuli properti, dan sebagainya. Hingga kemudian pameran jurnalistik perdana di UMN bernama Commpress terlaksana pada 9-22 Mei 2012.

Kini, Commpress kian besar saja. Acara-acaranya semakin beragam, entah seminar, workshop, pemutaran film dan diskusi, serta ajang penghargaan Young Journalist Award. Sesungguhnya, Young Journalist Award juga dicetuskan oleh kawan-kawan jurnalistik angkatan 2009. Tadinya, ia diadakan terpisah dengan Commpress.

Jadi ceritanya, saat semester 6 saya dan kawan-kawan di kelas Editing dan Produksi Program TV mendapat tugas membuat acara TV untuk UAS. Di kelas saya, tim yang ada memutuskan membuat acara berjudul Show Off – konsepnya mirip dengan Indonesia Mencari Bakat di Trans TV. Di kelas lain, kawan-kawan memutuskan membuat ajang penghargaan untuk karya-karya jurnalistik mahasiswa UMN bernama Young Journalist Award yang berlangsung pada 6 Juni 2012.

Karena bernapaskan semangat yang sama, akhirnya Young Journalist Award masuk jadi bagian dari Commpress. Ia biasa diadakan berbarengan dengan malam puncak Commpress.

Sekarang, saya, Krisna, Jody, Raff, dan kawan-kawan lain tentu sudah sibuk dengan dunianya masing-masing. Untuk sekadar menengok persiapan kawan-kawan panitia Commpress angkatan bawah saja rasanya sulit betul. Namun percayalah, kami bangga dengan perjuangan adik-adik kelas yang terus membesarkan nama Commpress hingga saat ini.

Semoga semangat itu bisa terus terjaga.

Bagikan

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Scroll to Top