Kiprah Kodok yang Tak Kenal Lelah

Ibnu Sukodok.
Ibnu Sukodok. Viriya Singgih.

“Seniman tanpa karya itu omong kosong.”

Itulah prinsip yang dipegang teguh Prawoto Mangun Baskoro yang biasa disapa Kodok. Sebelumnya ia tak pernah mengira bisa bergelut dengan dunia seni. Hidupnya keras; banyak habis di jalanan. Sejak muda ia gemar mabuk-mabukan dan main perempuan. Namun setelah dunia seni menyapa, ia sontak jatuh cinta. Hidupnya perlahan menjadi lebih tertata.

Kodok lahir di Kampung Purwosari, Solo, pada 1951. Ia lupa tanggal lahirnya. Yang pasti, sejak kecil ia bercita-cita menjadi tentara. Cita-cita ini dipicu hubungan Indonesia-Malaysia yang sedang tak harmonis kala itu.

Panggilan “Kodok” datang dari teman-teman sepermainannya dulu. Sebab, saat kanak-kanak ia gemar mencari kodok, belut, ataupun lele di sekitar rumah. Dan panggilan itu bertahan hingga kini.

Kodok sempat masuk sekolah teknik negeri – kini setara sekolah menengah kejuruan – jurusan mesin, tapi keluar saat baru menginjak tahun pertama. Setelah itu ia akrab dengan kehidupan jalanan. Pada akhir 1960-an, Kodok kerap terlibat dalam berbagai kegiatan band rock Solo, Trenchem. Sebagai penggemar, ia sering membantu mereka. Entah sekadar mengangkat peralatan panggung atau tampil sebagai pemain tari ular.

Pada 1972 Kodok bergabung dengan Bengkel Teater besutan WS Rendra di Yogyakarta. Di sana ia menemukan titik balik perjalanan hidupnya. Sistem kekeluargaan yang dibangun mendiang Rendra membuat Kodok kerasan. Ia juga merasa berkembang sebagai manusia dan mampu berkarya sebagai seniman di saat yang sama.

“Namanya saja bengkel. Jadi, di bengkel itu orang yang nggak benar diperbaiki biar jadi benar,” kata Kodok. “Mas Willi ini pintar. Dia membuat kita sering ketemu sehari-hari sehingga ikatan di antara anggota semakin kuat. Hubungan kita pun lama-lama jadi mengkristal.”

Saat itu Bengkel Teater sering mengangkat isu sosial dan melancarkan kritik terhadap pemerintah Orde Baru. Karena itu, pada pertengahan 1970-an mereka mulai kesulitan tampil di muka umum. Pihak keamanan tak memberi izin tampil dengan alasan berpotensi mengganggu ketertiban.

Terhentinya aktivitas Bengkel Teater mendorong Kodok kembali ke Solo. Sejak itu ia mulai menjalani serius kegiatannya sebagai seniman batik. Ia sempat menetap di Bali untuk mencari nafkah dari usaha membatik. “Saya dulu sering bolak-balik antara Solo dan Bali. Pokoknya kalau duit saya habis, saya balik ke Bali untuk kerja lagi,” katanya.

Pada 1985 Rendra mendirikan kembali kelompok teaternya itu di Depok. Beberapa anggota senior, termasuk Kodok, dipanggil untuk bermain dalam berbagai pementasan. Apalagi, ia merupakan salah satu anggota lama yang telah dibaptis sesuai tradisi Bengkel Teater. Selayaknya Mochamad Johansyah yang mendapat “nama panggung” Sawung Jabo, Kodok juga mendapat nama baru sebagai Kodok Ibnu Sukodok.

Bersama Bengkel Teater, Kodok telah berkeliling Tanah Air. Bahkan berkelana ke Amerika Serikat dan Jepang untuk tampil di sana. Pementasan terakhir Kodok adalah Qasidah Barzanji pada 2003 di Senayan, Jakarta.

Setelah itu Kodok banyak berkarya di Solo. Sehari-hari ia tinggal di Taman Budaya Jawa Tengah, tak jauh dari kampus Institut Seni Indonesia. Karena itu, ia dekat dengan para mahasiswa ISI. Mereka akrab memanggilnya Mbah Kodok. Kodok pun gemar bermusik bersama mereka atau sekadar menghabiskan waktu.

“Saya menyanyi bukan untuk orang lain, tapi untuk diri sendiri agar saya tidak lagi merasa sepi dalam hati. Akhirnya itu jadi kebutuhan yang membuat saya tiap malam harus bernyanyi,” katanya.

Kodok bernyanyi dengan gaya sendiri yang khas. Musiknya sederhana, hanya menggunakan nada E Minor dan A. Namun selalu terselip monolog dan tawa dalam tiap aksinya, hingga terkesan seperti musikalisasi puisi.

Belum lama ini Kodok membuat gempar warga Ngawi, Jawa Timur, dan sekitarnya. Penyebabnya, pada 8 Oktober 2014 ia melangsungkan pernikahan dengan danyang atau makhluk halus bernama Rara Setyowati. Acara ini dikemas dalam bentuk seni kejadian. “Seni kejadian bukanlah bentuk seni komersial, tapi seni untuk dialami dan dibicarakan,” kata Bramantyo Prijosusilo, seniman yang menjadi fasilitator acara.

Tak disangka, ribuan warga datang memenuhi rumah Bram di Desa Sekaralas yang jadi tempat pernikahan. Kodok dan Bram setuju ada kerinduan masyarakat untuk menyaksikan kembali ritual adat pernikahan kejawen yang telah lama terkikis budaya modern. Selain itu, warga penasaran atas apa yang terjadi sebenarnya. “Ada misi kebudayaan dan misi kesenian di sini,” kata Kodok.

Apa pun bentuknya, tampaknya Kodok memang belum lelah untuk terus berkarya.

***

Catatan
1. Tulisan ini pertama dimuat di majalah GeoTimes edisi 20 Oktober 2014.

Bagikan

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Scroll to Top