“Setiap orang itu munafik. Anda tak bisa hidup di planet ini tanpa menjadi seorang munafik.”
Begitu kata Paul Watson, aktivis lingkungan asal Kanada. Seakan ia ingin menegaskan, manusia mesti berwajah dua untuk mengarungi rimba kehidupan. Tanpa sadar, itu pun jadi keterampilan dasar kita dalam hidup bermasyarakat.
Kemunafikan pula yang kental terasa dalam lakon Kok oleh Teater Mandiri pada 4-5 Agustus 2015 di Teater Kecil, Taman Ismail Marzuki, Jakarta. Naskah Kok diadaptasi dari dua cerpen Putu Wijaya berjudul Protes dan Bendera yang masing-masing sempat dimuat di Kompas dan Jawa Pos beberapa waktu silam. Pentas ini merupakan bagian dari rangkaian acara peringatan ulang tahun ke-44 Teater Mandiri, sekaligus menyongsong Hari Kemerdekaan Republik Indonesia yang ke-70.
Kisah berputar di sekitar Amat. Sebagai Ketua RT di Astya Pura, ia diandalkan warga untuk menyampaikan protes pada Nyonya Baron perihal mega proyek pembangunan gedung 100 lantai yang berpotensi menggusur lahan penduduk setempat. Bila proyek itu berjalan sesuai rencana, di sana akan dibangun hotel, pusat perbelanjaan, diskotek, panti pijat, serta lokalisasi prostitusi. Dari sanalah semua masalah bermula.
Parade Kemunafikan
Sedari awal, warga terlihat menentang keras mega proyek tersebut. Denpis Cahaya dan Taksu Wijaya berperan sebagai orator yang senantiasa menyuarakan penolakan dengan lantang di muka umum.

Maka wajar kala Amat diundang makan malam bersama Nyonya Baron, warga heboh. Superman, sang lurah, pun sempat menitipkan surat protes pada Amat untuk diberikan pada Nyonya Baron. “Kita harus mempertahankan rumah kita sampai titik darah penghabisan,” ujar sang lurah.
Namun, rencana tak berjalan mulus. Di rumah sang konglomerat, Amat tak berkutik. Nyonya Baron terus saja mengoceh melontarkan pembelaan.
“Apa salahnya kita membangun? Positif, kan? Ini kan nanti bisa memberikan lapangan kerja bagi masyarakat sekitar.”
“Membangun itu bukan hanya tugas pemerintah. Negara yang sehat itu, masyarakatnya, rakyatnya aktif, dinamis, banting tulang, ikut serta membangun tanpa diperintah. Membangun karena diperintah itu watak inlander!”
“Setiap orang wajib menyadari bahwa dirinya masih kere. Negara ini biar sudah merdeka 70 tahun, tapi masih banyak yang bisa dikembangkan. Kita sudah merdeka politik, tapi belum merdeka ekonomi!”
Amat pun terintimidasi menerima serbuan kata-kata Nyonya Baron. Tak banyak yang bisa ia lakukan. Amat menurut saja kala dijamu hidangan dagu ikan seharga Rp 6 juta dan dititipi kunci rumah Nyonya Baron di akhir perjamuan. Sang konglomerat bermaksud pulang kampung sesaat untuk menengok orangtua yang sedang sakit keras.
Nyonya Baron memang digambarkan punya segalanya, hingga uang sama sekali bukan kendala. Karena itu Bu RT, istri Amat, girang bukan kepalang kala menemukan amplop pemberian Nyonya Baron pada Amat usai perjamuan. Padahal sebelumnya ia begitu murka saat mengetahui Amat gagal menyampaikan protes warga.
Namun kesenangannya hanya sesaat. Mendadak Bu RT kembali naik pitam mengetahui hanya ada Rp 50 ribu di dalam amplop tersebut. “Ini penghinaan buat rakyat miskin! Cepat kembalikan!”

Dari sana, seakan muncul penegasan bahwa harga diri bisa dibeli, asal tawarannya sesuai dan memuaskan hati.
Kejadian sama terulang kala Bu RT bermaksud mengembalikan kunci rumah Nyonya Baron esok hari. Bu RT mendadak melunak kala Nyonya Baron mengingatkan soal kemungkinan Amat jadi kepala proyek pembangunan gedung 100 lantai itu. Nyonya Baron pun kembali memberi sebuah amplop. Namun lagi-lagi, isinya cuma Rp 50 ribu. Lagi-lagi, Bu RT emosi.
Tak sampai di situ, satu per satu rencana Nyonya Baron terkuak perlahan. Nyatanya, Denpis Cahaya hanyalah provokator bayaran suruhan Nyonya Baron untuk menyulut amarah warga. Bendera Merah Putih terbalik yang terpasang di rumah sang konglomerat saat ia pulang kampung merupakan bagian dari rencana besarnya. Taksu Wijaya dan Elvis Ticoalu segera melempari rumah itu dengan batu. Lurah yang datang untuk melerai pun justru tak sengaja meledakkan kediaman Nyonya Baron dengan bom. Alhasil, Nyonya Baron hanya bisa pasrah dan minta maaf sembari bersujud berulang kali.
Tak lama, diketahui bahwa Nyonya Baron berhasil mendapat uang Rp 25 miliar dari pihak asuransi sebagai kompensasi rumahnya yang terbakar. Belum lagi orangtuanya meninggal dan mewariskan 100 hektare lahan kelapa sawit yang separuhnya mengandung batu bara.
“Ini sudah sesuai dengan skenario,” katanya.
Jelas sudah, semua kebaikan yang ia janjikan dari mega proyek gedung 100 lantai hanyalah bualan semu. Amplop berisi uang “seadanya”, provokator yang diselipkan di tubuh warga, serta desas-desus yang mengatakan bahwa Amat akan diangkat jadi kepala proyek hanyalah serpihan rencana untuk memuluskan jalan Nyonya Baron untuk jadi lebih kaya. Mundur selangkah, untuk maju dua langkah.
Kemunafikan Bu RT, tak ada separuhnya dari Nyonya Baron.

Komedi
Dalam pertunjukan teater konvensional, dinding keempat merujuk pada ruang imajiner yang membatasi pelakon di atas panggung dengan para penontonnya. Ada kalanya dinding keempat sengaja “dijebol” melalui interaksi langsung pada penonton ataupun dialog absurd akan permainan di atas panggung. Dengan begitu, penonton diasingkan dari penerimaan pasif akan isi pertunjukan. Mereka diajak untuk berpikir kritis serta masuk dalam kerangka pikir analitisnya sendiri. Para pemain di atas panggung bukan lagi liyan yang tak tersentuh.
Dalam pentas Kok, hal ini terjadi berulang kali. Bahkan kala pembawa acara membuka pertunjukan dan bermaksud menuturkan ringkasan cerita, tiba-tiba warga masuk dan menyela. “Turun, goblok!”
Teater Mandiri memang sengaja menghancurkan dinding keempat untuk menambah nuansa komedi dalam pentas. Misalnya kala Nyonya Baron sedang mengoceh tanpa henti, memberikan argumennya soal kebaikan-kebaikan yang ada di balik mega proyeknya kepada Amat.
“Masa saya dibilang iblis, mau bangun gedung 10 tingkat. Salah, yang bener saya ingin bikin gedung 100 lantai!”
Lalu tiba-tiba Nyonya Baron berujar, “Kasih efek dong.”
Kalimat pun ia ulang dan di akhir kata muncul suara dengan efek mencekam. Penonton sontak terpingkal karenanya.
Pada adegan lain, Bu RT terlihat marah pada Amat yang tak berdaya di hadapan Nyonya Baron. Karena itu ia bermaksud pergi, turun dari panggung begitu saja. Di saat-saat akhir Amat menghentikannya, mengingatkan bahwa ia salah arah berjalan menuju penonton.
Di sisi lain, ini juga dilakukan untuk memberi tekanan pada sebuah adegan. Misal, di adegan yang sama saat Bu RT memarahi Amat, ia terlihat membanting kemeja sang suami ke lantai.
“Kamu diutus ke sana buat bicara, goblok!”
Mulanya tak ada yang terjadi. Lalu Bu RT menghentikan adegan dan berkata, seharusnya ada amplop keluar dari kemeja. Adegan diulang, amplop keluar, dan penonton sadar bahwa Amat baru saja disuap Nyonya Baron.

Tidak mudah untuk menghidupkan sebuah adegan komedi. Butuh pengaturan tempo permainan yang tepat dalam prosesnya. Seorang aktor pun biasanya perlu jam terbang lebih untuk membangun dan mengeluarkan lelucon secara tepat waktu di atas panggung, sehingga gelak tawa penonton dapat keluar dengan maksimal.
Nyonya Baron adalah salah satu yang berhasil menghidupkan permainan di tiap kemunculannya. Dialog-dialog panjang dibabat hampir tanpa cela, emosinya pun tidak berlebihan sehingga karakternya jadi komikal dan begitu menghibur. Sepanjang pentas, perjalanan leluconnya juga rapi, dari set up, premise, hingga punchline.
Pemeran Nyonya Baron, Dwi Hastuti, memang aktris senior di Teater Mandiri. Sayangnya, kekuatan Dwi tak diimbangi aktor-aktor muda generasi baru yang ikut tampil dalam Kok. Izul, yang mendapat porsi besar sebagai Amat alias Ketua RT, kerap terpelintir lidahnya saat berdialog, terutama di awal pentas. Kehadirannya juga kurang dominan dibanding Dwi atau bahkan Ari yang berperan sebagai lurah. Belum lagi Taksu yang kerap berteriak lantang memprotes pembangunan. Umpatan dan sentilannya menarik, tapi cepat terlupa usai pentas.
Tampaknya, jalan panjang masih menunggu aktor-aktor muda itu untuk memikul nama besar Teater Mandiri dan Putu Wijaya di waktu ke depan. Namun untuk saat ini, Teater Mandiri cuma bisa bertolak dari yang ada.