Komunitas Film Kini

Ilustrasi menonton film.
Ilustrasi menonton film. Krists Luhaers/Unsplash.

Ifan Adriansyah Ismail adalah seorang penggila film. Tak puas cuma menonton saja, jemari Ifan gatal menuliskan kritik serta pandangannya tentang film dan isu-isu soal itu. Banyak tulisan ia kirimkan ke situs Rumah Film. Tertarik dengan tulisannya yang menggelitik, redaksi Rumah Film pun merekrutnya sebagai salah seorang staf editor.

“Kami lihat dia sering ngirim tulisan yang bagus, lucu. Wah potensial sekali ini. Yaudah,” kata Hikmat Darmawan, founder sekaligus staf editor Rumah Film.

Pada situs yang dikelola Rumah Film Indonesia, perhimpunan yang bergerak memajukan kajian dan telaah yang berkaitan dengan film Indonesia. Di situ bisa ditemukan review film-film Indonesia dan dunia terbaru, opini, kabar terkini, serta kajian dan riset mendalam dari sudut pandang ekonomi politik.

“Kita ingin mengembalikan karakter film sebagai produk budaya. Jadi, bukan sekadar barang dagangan. Walaupun kalau sebagai barang dagangan, kita juga harus aware dengan sisi ekonomi politiknya,” kata Hikmat.

Situs-situs yang menampilkan film sebagai diskursus utama kini banyak bermunculan, misalnya, Komunitas Film, Film Indonesia, dan Cinema Poetica. Kebanyakan, kehadiran mereka, seperti bisa dibaca dalam pengantar situs-situs itu, untuk menunjukkan kecintaan dan kekhawatiran terhadap dunia perfilman Indonesia dewasa ini.

Cinema Poetica adalah proyek Adrian Jonathan Pasaribu dan Makbul Mubarak sejak masih masih mahasiswa. Mereka berdua rajin mengunduh film, dan rajin pula mengobrolkannya bersama teman-teman. Nama Cinema Poetica adalah nama folder yang biasa Adrian untuk menyimpan film unduhannya.

“Pada satu titik, kami merasa kalau mengobrol saja tidak cukup. Jadilah, kami menulis, dengan harapan dapat menciptakan obrolan-obrolan lebih luas,” kata Adrian.

Cinema Poetica sendiri dibentuk dengan tujuan dapat menjadi media khusus kajian film yang berdiri di antara pendidikan populer dan kajian akademis.

“Kami berniat membuka tingkap-tingkap pengetahuan perihal film lewat tulisan, dan mendistribusikannya dalam format yang bisa dinikmati oleh orang sebanyak-banyaknya,” kata Adrian.

Selain itu, Cinema Poetica juga mengarsipkan film-film yang tak banyak beredar di masyarakat untuk nantinya bisa diakses siapapun secara gratis. Sejauh ini, Cinema Poetica telah memiliki lebih dari 1.200 film.

Film Indonesia yang digawangi J. B. Kristanto dan Lisabona Rahman, boleh dikatakan termasuk yang pertama dalam situs sejenis, tapi terlihat disusun lebih serius, lebih berkonsep, dan lebih jelas maunya. Situs ini memiliki katalog yang berisi data film-film cerita panjang Indonesia yang diproduksi sejak 1926 hingga saat ini.

Awalnya, katalog tersebut diterbitkan dalam bentuk buku. Pengubahan bentuk publikasi data Film Indonesia dari format buku ke bentuk online bertujuan agar informasi tentang film Indonesia dapat diakses oleh publik secara lebih mudah, cepat, dan murah dengan cakupan informasi yang lebih luas dan lengkap.

Lalu, bagaimana dengan masyarakat Indonesia yang hanya ingin menjadi penikmat saja? Untuk memenuhi kebutuhannya akan menonton film, publik bisa menyambangi ruang pemutaran bernama Kineforum yang terletak di Taman Ismail Marzuki (belakang Galeri Cipta 3), Jakarta.

Kineforum adalah bioskop pertama di Jakarta yang menawarkan ragam program meliputi film klasik Indonesia dan karya para pembuat film kontemporer. Ruang ini diadakan sebagai tanggapan terhadap ketiadaan bioskop non-komersial di Jakarta dan kebutuhan pengadaan suatu ruang bagi pertukaran antar budaya melalui karya audio-visual.

Penggagas Kineforum adalah Gotot Prakosa, dosen IKJ dan juga seorang praktisi film dan kesenian. Sebelum jadi Kineforum dulu bioskop yang sebenarnya mengambil satu layar milik jaringan bioskop 21 itu bernama Art Cinema.

Gagasan Gotot adalah ruang itu dipakai untuk memutar film-film eksperimental dan art tyang jarang berkesempatan tampil di bioskop konvensional.

“Kita kebanyakan dijajah sama ruang mainstream, seperti film-film Hollywood gitu, dan menurut dia ada kebutuhan untuk muterin film-film art itu,” kata Publisis Kineforum, Amalia Sekarjati.

Kineforum rutin mengadakan pemutaran film setiap Jumat, Sabtu, dan Minggu masing-masing tiga film dalam satu harinya. Biasanya, film yang diputar di sana bisa ditonton gratis.

Selain Kineforum, ada pula komunitas-komunitas pencinta film yang terbentuk akibat kebiasaan menonton di bioskop yang sama, salah satunya adalah Blitz Club. “Blitz Club itu awalnya dari milis. Karena kegemaran kita menonton film, terutama di Blitzmegaplex, lalu kita curhat dan cerita-cerita di situ,” kata Founder Blitz Club, Fauzi Pahrezi.

Dari milis mereka temu darat pada 15 Februari 2009, lalu bersepakat membuat sebuah komunitas yang bisa menjadi wadah kita nobar secara rutin.

Blitz Club sempat ditawari untuk menjadi bagian dari official staff Blitzmegaplex, tapi mereka menolak karena ingin berdiri secara independen.

***

Catatan
1. Tulisan ini pertama dimuat di majalah GeoTimes edisi 21 April 2014.

Bagikan

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Scroll to Top