Konflik Sawit Tak Kunjung Padam

Perkebunan kelapa sawit di Tempilang, Bangka Barat.
Perkebunan kelapa sawit di Tempilang, Bangka Barat. Viriya Singgih.

Bisnis perkebunan sawit memang tak ada matinya. Sawit jadi salah satu primadona pemerintah untuk menggaet devisa yang berguna dalam menambah pundi-pundi kas negara. Namun sebagai tanaman monokultur, sawit berpotensi menimbulkan kerusakan lingkungan berupa kehancuran hutan dan ekosistemnya. Selain itu, ia juga mendatangkan malapetaka bagi manusia yang ditabrak hak-haknya.

Sawit, sebagaimana dibuktikan dengan data, berada di posisi puncak pemicu konflik laten dan terbuka antara pemerintah dan pengusaha, serta antara masyarakat lokal dan adat. Bukannya menyusut, konflik ini diperkirakan makin membesar di masa mendatang.

Dalam rantai produksi sawit, bukan hanya negara yang diuntungkan. Banyak pihak yang juga menangguk profit dalam alur proses mata rantai bisnis komoditas menggiurkan ini. Pengamanan perusahaan sawit membutuhkan biaya tidak sedikit untuk mengisi kantong para penguasa keamanan yang berada di kantor ataupun lapangan.

Ketika terjadi konflik antara masyarakat yang memperjuangkan haknya dan pemilik modal yang menguasai konsesi lahan puluhan hingga ratusan ribu hektare, bisa ditebak aparat keamanan akan berpihak ke mana. Di jalanan, aparat berseragam dan preman juga bisa menangguk “uang jalan” untuk meloloskan sopir-sopir truk pengangkut sawit yang melewati wilayah kekuasaan mereka.

Misalnya di sepanjang jalan poros dari Arso Kota ke arah Kibay, Kabupaten Keerom, Papua. Sejauh mata memandang, di kiri-kanan hanya tampak pepohonan rindang. Namun bila kita masuk 3-4 kilometer saja, pemandangan telah jauh berbeda. Perkebunan sawit mendominasi, terutama milik PT Rajawali Nusantara Indonesia dan PT Permata Putra Mandiri. Saat ini, Keerom memang dikenal sebagai daerah dengan lahan perkebunan sawit terluas di Papua.

“Biasanya truk-truk pengangkut kayu ataupun sawit lewat sini,” kata seorang guru relawan yang tinggal di Keerom. Ia hafal praktik lazim itu karena hampir tiap akhir pekan turun gunung melewati jalanan yang sama ke arah Arso, menuju rumah kontrakan sesama relawan. “Ketika melalui pos-pos penjagaan tentara, sopir tinggal bayar 20, 50, atau 100 ribu untuk uang jalan. Besarannya berbeda, tergantung tingkat jabatan yang jaga. Semua dibayar satu-satu sampai pelabuhan. Aman.”

Lain lagi ceritanya di Jambi, Sumatra. Aparat berseragam loreng dikerahkan untuk menghadapi konflik tak berkesudahan menyangkut konsesi perkebunan sawit antara kelompok masyarakat Suku Anak Dalam marga Batin dan PT Asiatic Persada. Masalahnya menjadi cukup rumit karena masyarakat pendatang dari Jawa dan Sumatra Utara pun bergabung untuk mendapatkan jatah lahan Suku Anak Dalam yang berada dalam konsesi PT Asiatic Persada.

Konflik ini telah memakan banyak korban. Seorang warga pendatang tewas kena hajar. Bahkan jauh sebelumnya, petugas keamanan PT Asiatic Persada putus tangannya. Konflik serupa boleh dibilang merata di provinsi-provinsi lain di Indonesia yang dimasuki para pemodal besar bisnis sawit.

Perkumpulan untuk Pembaharuan Hukum Berbasis Masyarakat dan Ekologis (HuMa) merilis data persebaran konflik dalam laporan “Outlook Konflik Sumber Daya Alam dan Agraria”. Dari hasil studi pada 2006-2012, perkebunan kelapa sawit berada di peringkat pertama penyebab konflik sumber daya alam dan agraria.

Konflik terkait perkebunan sawit menyumbang 118 dari total 232 kasus di seluruh Indonesia. Beragam konflik terkait sumber daya alam dan agraria menyebar dari Kalimantan hingga Nanggroe Aceh Darussalam, terjadi di 98 kota dan kabupaten di 22 provinsi, dengan luas area konflik mencapai lebih dari 2 juta hektare. Setidaknya, 91.968 orang dari 315 komunitas telah menjadi korban.

Studi HuMa menelisik akar konflik sumber daya alam dan agraria yang umumnya didominasi masalah ketimpangan penguasaan lahan dan kekayaan alam. Ketimpangan ini bisa terjadi akibat hak atas lahan dan kekayaan alam dikuasai secara sepihak oleh negara yang berkolaborasi dengan pemilik modal. Alhasil, lahan ulayat yang selama ini diwariskan turun temurun tiba-tiba berganti kepemilikan dan berubah jadi konsesi sawit. Masyarakat pun dieksploitasi sebagai buruh perkebunan dan tak berdaya melawan. Ibarat api dalam sekam, bara konflik bisa berubah dari sekadar laten kemudian terbakar menjadi manifes (terbuka) setiap saat.

Petani kelapa sawit.
Petani kelapa sawit. Viriya Singgih.

Selama ini, izin usaha perkebunan dikeluarkan oleh pemerintah daerah melalui perundang-undangan. Pemilik modal yang mendapatkan izin bisa dengan leluasa mengubah kawasan hutan dengan fungsi hutan produksi. Keleluasaan ini kemudian digunakan untuk menerbitkan pelepasan kawasan hutan jadi perkebunan sawit. Hutan beserta ekosistemnya yang sangat kaya pun hilang. Padahal, nilainya sulit dibandingkan dengan sekadar modal investasi.

Berdasarkan hasil riset Transformasi untuk Keadilan (TuK) Indonesia dan Profundo yang dikeluarkan pada 13 Februari 2015, ada 25 grup perusahaan kelapa sawit yang menguasai lahan seluas 5,1 juta hektare di Indonesia. Ini setara luas setengah Pulau Jawa. Sebanyak 3,1 juta hektare di antaranya telah disesaki tanaman sawit. Kelompok-kelompok perusahaan besar itu dikendalikan oleh 29 taipan yang perusahaan induknya terdaftar di bursa efek, baik di Indonesia maupun luar negeri.

Seluruh perusahaan yang disebutkan dalam riset itu kini menguasai 62 persen lahan sawit di Kalimantan, 32 persen di Sumatra, 4 persen di Sulawesi, dan 2 persen di Papua. Salah satunya Grup Austindo Nusantara Jaya, induk perusahaan Permata Putra Mandiri. Namun, kelompok perusahaan yang disebut paling besar memiliki lahan sawit adalah Grup Sinar Mas, Grup Salim, Grup Jardine Matheson, Grup Wilmar, dan Grup Surya Dumai.

Belakangan, ekspansi perkebunan kelapa sawit memang berlangsung pesat. Dalam lima tahun terakhir, pertumbuhannya mencapai 35 persen. Kini total luas lahan sawit di Indonesia telah menyentuh 10 juta hektare. Padahal, pada 2008 baru ada 7,4 juta hektare. Menurut Direktur Profundo Jan Willem van Gelder, rata-rata setahun pertambahan kebun sawit mencapai 520.000 hektare atau seluas Pulau Bali.

Ironisnya, ekspansi perkebunan kelapa sawit dinilai kerap berbanding lurus dengan mencuatnya konflik agraria di berbagai daerah Indonesia. “Hampir di semua daerah konsentrasi sawit, muncul pula konsentrasi konflik,” kata Dianto Bachriadi, Wakil Ketua Bidang Eksternal Komisi Nasional Hak Asasi Manusia.

Menurut Dianto, ekspansi sawit berawal di Sumatra pada 1970-an hingga 1980-an. Lalu pada pertengahan 1980-an hingga 1990-an mulai menyebar ke pulau-pulau lain, khususnya Kalimantan dan Sulawesi. Ekspansi perkebunan sawit ini diikuti pula dengan konflik.

Semua seakan terjadi secara begitu sistematis. Pertama, pemerintah dituding berperan penting karena kerap “mengobral” izin pengelolaan tanah pada para pemilik modal, entah lahan non-kehutanan dari Badan Pertanahan Nasional ataupun lahan kehutanan dari Kementerian Kehutanan (kini dilebur dengan Kementerian Lingkungan Hidup). Kondisi itu tak hanya melibatkan pemerintah pusat, tapi juga pemerintah daerah. Izin usaha perkebunan dan izin lokasi dengan mudah diterbitkan karena berbagai kepentingan.

“Pemerintah daerah seperti berlomba-lomba ‘menjual tanah’ untuk mengejar investasi, pendapatan, atau menutup biaya politik pilkada,” kata Dianto.

Hal senada dikatakan Sekretaris Jenderal Aliansi Masyarakat Adat Nusantara, Abdon Nababan. Menurut pengamatan AMAN, izin lokasi perkebunan selama ini dikeluarkan oleh pemerintah daerah tanpa data yang akurat. “Misalnya, pemerintah daerah tidak punya data sosial tentang keberadaan masyarakat adat di daerahnya, atau tentang kawasan hutan yang masih ditunjuk atau ditetapkan. Jadi, banyak izin yang keluar bisa salah tempat.”

Akibatnya, kata Abdon, banyak izin yang masuk ke wilayah adat dan menimbulkan konflik dengan penduduk setempat. Padahal, selama ini masyarakat adat di berbagai daerah hidup bergantung pada hutan. Perubahan lahan hutan menjadi perkebunan sawit pun mendorong timbulnya pergeseran budaya dan gesekan sosial.

Perkebunan kelapa sawit di Tempilang, Bangka Barat.
Perkebunan kelapa sawit di Tempilang, Bangka Barat. Viriya Singgih.

Dalam prosesnya, konflik pun kerap terjadi secara horizontal di tengah masyarakat. Menurut Abdon, ini terjadi salah satunya karena perusahaan kerap menyuap elite yang dekat dengan kekuasaan.

Selain menghancurkan lingkungan, ekspansi masif perkebunan kelapa sawit juga berdampak pada tercerabutnya akar budaya dan kehidupan suku-suku asli yang bergantung hidup dari hasil hutan. Tragedi anak bangsa ini menimpa kehidupan Suku Anak Dalam Orang Rimbo yang menyebar di kawasan sempit di Taman Nasional Bukit Duabelas, Jambi. Selama ini mereka hidup secara nomaden dan bergantung pada hasil hutan. Namun sejak beberapa tahun belakangan, mereka kian sulit mencari makan karena hewan dan umbi-umbian semakin langka. Hutan kian gundul karena perambahan oleh perusahaan untuk kepentingan bisnis sawit.

“Mereka tidak punya kebun sawit. Jadi, kalau mengambil hasil dari kebun punya orang desa atau perusahaan, mereka bisa digebuki. Mereka juga sering jadi bulan-bulanan saat mempertahankan lahannya,” kata Robert Aritonang, antropolog dari Warung Informasi Konservasi (Warsi) Jambi. “Akhirnya karena lapar, buah sawit yang jatuh ke tanah mereka rebus dan makan.”

Sepanjang 2014 Warsi membantu memindahkan 15 keluarga Orang Rimbo ke lahan penghidupan baru. Tahun ini Warsi menargetkan jumlah sama. Keluarga yang dipilih adalah yang paling miskin dan termarginalkan hidupnya. “Sebenarnya, yang sangat membutuhkan itu ada 60 keluarga, tapi Warsi tidak punya dana untuk memindahkan semuanya,” kata Robert.

Tak hanya di Taman Nasional Bukit Duabelas, masih ada sekiranya 1.400 Orang Rimbo yang membutuhkan bantuan, entah di Kabupaten Sarolangun, Merangin, maupun Bungo. Salah satu yang terparah adalah kehidupan lebih dari 100 keluarga di Merangin. Mereka tinggal di wilayah konsesi PT Kresna Duta Agroindo, anak perusahaan Grup Sinar Mas.

Robert menyatakan khawatir, bila pemerintah terus membiarkan kondisi ini terjadi, maka budaya Orang Rimbo perlahan akan punah. “Hutan yang menjadi kunci budaya mereka sudah habis. Budaya mereka pun bisa punah,” kata Robert.

Menanggapi tudingan dan kekhawatiran banyak pihak terkait ekspansi perkebunan sawit, Direktur Eksekutif Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia, Fadhil Hasan, buka suara. Fadhil secara tegas membantah anggapan bahwa perusahaan sawit telah menyalahi aturan dalam membuka lahan. Menurutnya, tiap perusahaan telah mendapat izin lokasi dan mengikuti prosedur yang ditetapkan pemerintah. Ia tak membantah kemungkinan ada perusahaan sawit yang kurang melakukan sosialisasi terkait pemanfaatan lahan konsesi mereka.

“Tapi ada pula masyarakat yang punya kepentingan berbeda yang tidak mau lahannya ditanami kelapa sawit. Selain itu, ada pula LSM yang suka memanas-manasi,” kata Fadhil.

Menyikapi konflik terkait lingkungan hidup dan kehutanan, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan telah membentuk tim penanganan pengaduan kasus-kasus lingkungan hidup dan kehutanan pada pertengahan Januari lalu. Namun, langkah ini dinilai belum menyentuh akar persoalan, kata Syamsul Munir, Kepala Divisi Advokasi Hak Ekonomi dan Sosial, Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan. Apalagi, pengesahan Rancangan Undang-undang Perkebunan pada September 2014 masih menyisakan persoalan. Di sana terdapat dua pasal baru tentang penanaman modal dan ketentuan peralihan izin usaha yang justru dianggap memperkuat kedudukan pelaku usaha di industri perkebunan.

Meski sudah ada respons positif dari pemerintah, tampaknya masih akan makan waktu lama sebelum kebijakan yang ada berjalan efektif. Persoalannya, masalah laten dan konflik terbuka di lapangan tak bisa menunggu lebih lama lagi. Bila pengusaha terus melakukan ekspansi, hak masyarakat lokal dan adat kemungkinan tetap terabaikan dan konflik baru akan terus bermunculan. Padahal, biaya penyelesaian konflik agraria di seluruh daerah Indonesia bisa jadi lebih besar dibanding pendapatan dari ekspansi perkebunan kelapa sawit.

“Pemerintah kerap membuat masalah sendiri, lalu kebingungan pula menyelesaikannya,” kata Dianto.

***

Catatan
1. Tulisan ini pertama dimuat di majalah GeoTimes edisi 23 Februari 2015.

Bagikan

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Scroll to Top