Krek, Krek

Ilustrasi.

Krek, krek.

Bunyi itu pertama terdengar delapan tahun lalu. Tidak kencang, bahkan cenderung samar di telinga. Namun, ia mengubah segalanya.

Rabu malam, 25 April 2012. Saat itu saya sedang bertanding di Liga Futsal Universitas Multimedia Nusantara (UMN). Bagi tim saya, iKost, kemenangan adalah hal langka. Kami jarang latihan. Bahkan, jadwal pertandingan saja suka lupa. Karena itu wajar, iKost selalu berada di bagian bawah klasemen liga.

Namun, laga kali ini beda. Permainan tim terasa asyik, dan saya pun sedang semangat-semangatnya. Beberapa kali saya menciptakan peluang. Giring bola dari sayap kiri, tusuk ke tengah, tembak! Sayang, tak ada yang jadi gol.

Di tengah pertandingan, pemain lawan menggiring bola dengan cepat. Saya kejar dia sembari coba tutup pergerakannya. Dia mengambil ancang-ancang untuk menendang. Segera saya julurkan dan tekuk kaki kanan untuk memblokir. Dia menembak. Bola meluncur deras, lantas menghantam lutut kanan saya.

Krek, krek.

Saya ambruk, dan rasa sakit luar biasa datang melabrak. Rasanya bagai diserang kutukan Cruciatus, tapi hanya di lutut kanan.

Saya tak tahu apa yang terjadi, tapi seperti ada yang bergeser dengan cepat di lutut. Saya hanya bisa merintih kesakitan.

Pemain kedua tim dan panitia kompetisi segera mengerubungi saya yang tergeletak di lapangan. Mereka bertanya, “Mana yang sakit?” Saya tunjuk lutut kanan. Saya tak ingat persis, tapi sepertinya ada yang menyemprotkan pereda nyeri, yang toh tak berpengaruh apa-apa. Sakitnya bikin pengin tobat.

Saya terus saja merintih. Di tengah usaha melawan rasa sakit, samar-samar terdengar suara seseorang nyeletuk, “Kaya suara orang ngewe ya.”

Bajingan. Kalau bisa, saya pengin sumpal mulutnya dengan kotoran kuda.

Singkat cerita, saya dibawa ke Rumah Sakit Eka di BSD, Tangerang Selatan. Silvanus Alvin, karib saya sejak semester 1 di UMN, berbaik hati menyetir mobil saya dan mengantarkan. Setelah menjalani pemeriksaan, saya diberi tahu bahwa ligamen lutut anterior (ACL) dan meniskus kanan saya robek.

ACL adalah salah satu dari empat ligamen utama di lutut yang menghubungkan tulang paha dan tulang kering. Bila ia robek, stabilitas sendi lutut bakal terganggu. Gampangnya, lutut jadi mudah “goyang”. Sementara itu, meniskus adalah jaringan tulang rawan yang berperan sebagai bantalan. Jika ia robek, bisa timbul rasa nyeri atau sakit di lutut saat beraktivitas.

Kala itu, saya belum paham betul mengenai cedera lutut ini dan dampaknya ke depan. Saya sadar, sepertinya ia cukup serius, tapi urung mengambil tindakan medis lebih jauh dengan alasan sederhana: takut mahal. Alhasil, saya kabari orangtua di Jakarta bahwa saya tidak apa-apa dan mereka tak perlu datang menengok. Lalu saya pulang ke tempat kos di daerah Kelapa Dua, Tangerang, dengan kondisi lutut bengkak dan nyeri, hingga untuk berjalan biasa pun harus bersusah payah.

Beberapa hari kemudian, barulah saya pulang ke rumah di Jakarta untuk diantar orangtua berobat ke sinse. Saya menjalani terapi akupunktur, lalu diberi obat minum yang rasanya benar-benar bikin mual. Setelah beberapa kali menyambangi sinse tersebut, lutut saya terasa membaik, dan kemudian saya memutuskan untuk… main futsal lagi.

Dengan penuh kenaifan, saya ikut bertanding kembali di Liga Futsal UMN. Sebelum laga mulai, saya lakukan pemanasan kecil sambil mengecek kondisi lutut kanan. Sepertinya baik-baik saja. Kalau saya main tidak sembrono, harusnya sih tidak apa-apa ya, begitu pikir saya.

Lantas, wasit meniup peluit tanda kick off. Bola ada di tim kami. Seorang rekan mengoper pada saya yang berada di belakang, dekat gawang. Saya hentikan laju bola dengan telapak kaki kanan, lalu saya geser pelan bola itu ke kiri.

Krek, krek.

Saya ambruk, dan rasa sakit luar biasa kembali datang melabrak.

***

Saya senang bermain bola sejak SD, entah menggunakan bola futsal, bola sepak untuk lapangan rumput besar, atau bola plastik yang dibeli di warung. Saya bisa bermain di mana saja, bersama siapa saja, entah di sekolah bersama teman-teman sekelas atau di jalanan aspal depan rumah bersama tetangga kompleks.

Bila pada satu pertandingan saya berhasil menggocek pemain lawan dengan trik keren atau mencetak gol cantik, saya bisa semringah. Kadang, bahkan bisa kepikiran sampai beberapa hari ke depan. Runutan kejadiannya tiba-tiba muncul di kepala, entah kala sedang bengong di mikrolet atau terjebak macet saat naik ojek.

Saya bukan pemain hebat. Saat laga senang-senang, saya bisa pamer kemampuan dan melesakkan gol kemenangan. Namun, saat bertanding di kompetisi resmi, saya cenderung melempem, mengecewakan. Ini sudah terbukti saat saya SMP, SMA dan kuliah. Mental saya tempe.

Walau begitu, saya tetap rajin bermain bola, sesederhana karena saya senang saja. Apalagi sejak SMP, saya rutin menonton berbagai pertandingan sepak bola Eropa, utamanya Liga Inggris dan Liga Champions. Jadi setelah menyaksikan pemain-pemain hebat seperti Ronaldinho dan Cristiano Ronaldo mengeluarkan trik-trik canggih di sebuah laga, saya langsung ngebet ingin mencobanya sendiri. Saya benar-benar keranjingan.

Bila diingat-ingat, saat SMP saya bisa bermain bola hampir setiap hari. Frekuensinya mulai berkurang jadi seminggu sekali atau dua kali saat SMA, dan kian turun jadi beberapa minggu sekali saat kuliah.

Maka, saat saya diajak bergabung dalam tim hura-hura iKost untuk mengikuti Liga Futsal UMN, saya sangat bersemangat. Kekalahan demi kekalahan di liga tak pernah jadi masalah, karena saya hanya ingin bersenang-senang di lapangan. Namun, cedera lutut yang datang benar-benar jadi pukulan telak.

Setelah Liga Futsal UMN usai, saya masih beberapa kali ikut main futsal bersama teman-teman kampus. Saya coba memakai pelindung lutut, mengurangi gerakan-gerakan aneh, dan menghindari kontak fisik berlebihan di lapangan. Namun, hasilnya selalu sama.

Krek, krek.

Pada satu titik, dengkul saya selalu bergeser dan terasa nyeri. Lantas, saya bakal minta diganti dan hanya bisa duduk di pinggir lapangan sembari meratapi nasib.

Lama-kelamaan, sakitnya memang berkurang. Saat pertama kali cedera lutut, rasanya seperti habis ditonjoki Muhammad Ali: sakitnya ngeri. Belakangan, bila mendadak lutut bergeser lagi, rasanya bagai habis dicela warganet yang sok tahu: sakit sih, tapi ya sudahlah.

Masalahnya, lutut saya kadang berulah tak kenal tempat dan waktu. Ia pernah tiba-tiba geser saat saya sedang pentas teater, menyetir mobil, atau bahkan berdiri santai di dalam lift kampus. Pokoknya, salah posisi sedikit saja, ia bisa “goyang”.

Saya ingat betul, pada suatu sore di semester 8 masa perkuliahan, saya terpaksa berlari cepat dari parkiran mobil ke toko ATK kampus untuk nge-print skripsi dan mengejar tenggat pengumpulan. Selesai nge-print, saya kembali berlari ke bagian administrasi dan kemahasiswaan untuk menyerahkan skripsi tersebut. Akhirnya, skripsi saya sukses dikumpulkan. Namun, lutut kanan saya juga sukses geser tiga kali dalam waktu kira-kira 15 menit. Rasanya sangat nyeri.

Seiring berjalannya waktu, saya mulai berdamai dengan cedera lutut ini, apalagi saat mendengar dari kawan bahwa biaya operasi untuk mengatasi ACL robek bisa mencapai puluhan juta rupiah. Saya enggan meminta uang pada orangtua. Bisa saja saya menabung sendiri, tapi rasanya lebih baik uang sejumlah itu digunakan untuk hal-hal lain yang lebih mendesak.

Jadi, saya anggap saja cedera lutut ini sebagai bagian tak terpisahkan dari diri saya, dan saya mesti hidup akur bersamanya. Toh, asalkan tak beraktivitas berat yang membebani lutut, seperti berlari, bermain futsal atau basket, saya bakal sentosa. Konsekuensinya, tentu saya kini jadi tidak pernah berolahraga.

Pada Agustus 2016, saya sempat menjajal bermain futsal lagi setelah sekian tahun berhenti. Hasilnya? Dengkul saya geser satu kali, dan pulang-pulang saya langsung minta dikerokin karena badan terasa remuk.

Setelahnya, saya malas mencari masalah lagi.

***

“Kalau memang mau main (futsal) lagi ya kita teropong ke dalam, kita bersihin lukanya, sekalian ACL-nya kita lihat. Kalau dia putus total ya kita ganti langsung.”

“Dia putus sekarang. But the question is, is that total or partial? Kalau masih partial, kita tarik, kita lihat. (Kalau) kekuatannya masih 80 persen, 70 persen, ya ngapain dikerjain?”

Itulah yang diucapkan Nicolaas C. Budhiparama, dokter ahli bedah tulang di Rumah Sakit Medistra, Jakarta, saat saya berkonsultasi dengannya pada 11 November 2019. Seminggu sebelumnya, saya telah menjalani pemeriksaan magnetic resonance imaging (MRI) untuk mengetahui kondisi terakhir lutut kanan saya.

Sebenarnya, sudah lama lutut saya tidak berulah. Namun, belakangan saya kepikiran mencari cara untuk menyembuhkannya. Saya masih relatif muda dan ingin melakukan banyak hal. Saya ingin berolahraga lagi, bermain futsal lagi. Saya ingin memperbaiki gaya hidup yang berantakan, yang penuh dengan kopi, rokok, dan begadang hingga subuh. Dokter Nicolaas pun mengamini hal ini.

“Kalau kamu sudah tua, misalnya umur 40an atau 50an, ya sudah, ya biarin aja, kan olahraga juga sudah enggak aktif. Karena masih muda kan kamu masih mau ini, mau itu.”

“Kalau dioperasi, apakah akan kembali normal 100 persen?”

We have to see (saat operasi). Ini tulang rawannya kan enggak bisa kelihatan (dari hasil MRI). Kalau tulang rawannya masih intact semua – karena ini kan sudah tujuh tahun nih – ya bisa balik lagi.”

“Berapa lama masa penyembuhannya, Dok?”

“Biasanya kalau ACL putus, itu satu bulan pakai tongkat. Kamu memang sudah enggak main, tapi nanti enggak boleh main dulu selama delapan bulan.”

“Tapi kalau saat operasi ternyata ketahuan dia enggak putus total, jadinya bagaimana?”

“Kita lihat kekuatannya masih berapa persen. Kalau misalnya sangat sedikit, ya terapi.”

Mendengar penjelasan tersebut, saya cukup yakin untuk menjalani operasi ACL. Masalahnya tinggal satu: biaya. Namun, dokter Nicolaas bilang dia tidak mengurusi biaya, sehingga saya mesti menanyakan langsung ke bagian administrasi Medistra.

Sebelumnya saya telah melakukan sedikit riset. Asuransi kantor tempat saya bekerja saat itu bisa menanggung hingga sekiranya Rp 30 juta. Bila biaya operasi lutut ada di atas itu, saya mungkin bisa menutupi sisanya dengan tabungan pribadi atau menggunakan skema coordination of benefit (CoB). Skema ini memungkinkan klaim medis ditanggung bersama oleh BPJS Kesehatan dan perusahaan asuransi swasta yang bekerja sama dengan badan publik tersebut.

Karena itu, saya optimis cedera lutut saya bisa segera sembuh.

Saya lalu datangi bagian administrasi Medistra untuk menanyakan biaya operasi lutut. Namun, orang yang paham detailnya sedang istirahat makan siang. Karena itu, petugas jaga berjanji akan menyampaikan pertanyaan-pertanyaan saya pada rekannya nanti, dan menghubungi saya via nomor WhatsApp resmi Medistra.

Selewat kira-kira dua jam, datanglah pesan yang saya tunggu-tunggu. Disebutkan bahwa estimasi biaya untuk layanan kelas 1 adalah Rp 225 juta, sementara untuk kelas 2 kurang lebih Rp 210 juta.

Saya bengong.

Untuk standar saya, biayanya mahal betul. Saya cukup terkejut karena sebelumnya saya sempat menemukan artikel di Kompasiana yang ditulis Ara Manroe. Di sana, Ara menceritakan pengalamannya mengurus operasi ACL menggunakan BPJS Kesehatan di Rumah Sakit Omni di Alam Sutera, Tangerang Selatan. Biaya yang ia habiskan untuk layanan kelas 1 kira-kira Rp 75 juta.

Akhirnya, saya putuskan untuk sementara menahan keinginan saya untuk operasi lutut. Saya ingin mencari tahu dulu segala opsi rumah sakit yang ada dan membandingkannya satu per satu.

Lalu, tanpa diduga, datanglah pandemi virus korona sejak awal 2020. Saat ini jangankan ke rumah sakit, mau ke warung beli rokok saja saya segan. Berbagai rumah sakit juga pasti sedang kewalahan menghadapi setumpuk pasien. Karena itu, saya jadi merasa egois sekali bila harus mengurus cedera lutut sekarang.

Ya sudahlah, saya coba nikmati saja apa yang ada. Perkara lutut “goyang” masih bisa diatasi di lain waktu.

Bagikan

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Scroll to Top