Selasa, 16 Oktober 2012. Siang itu cukup terik di Kecamatan Siak Hulu, Kampar, Riau. Semua berjalan seperti biasa sebelum dentuman keras sontak melabrak telinga. Didik Herwanto, fotografer Riau Pos yang kebetulan sedang berada tak jauh dari lokasi segera mencari tahu apa yang terjadi. Usai berlari beberapa saat, ia melihat pesawat tempur Superhawk 200 yang sudah tergeletak jadi bangkai di atas permukaan tanah.
Tak pikir panjang, Didik segera mengabadikan momen jatuhnya pesawat tersebut bersama dua rekan wartawan lainnya: Rian Anggoro dari kantor berita Antara biro Riau dan Fakhri Rubiyanto dari Riau TV. Namun, tiba-tiba terdengar seorang berseragam TNI Angkatan Udara berteriak, “Kamu orang mati malah diambil gambarnya!”
Keadaan berubah ricuh. Beberapa orang berseragam sama memukuli, menginjak dan mencekik Didik. Tak jauh beda, Rian dan Fakhri pun harus menerima pukulan di wajah dan perutnya. Kamera yang dibawa ketiga orang tersebut juga sempat coba dirampas oleh para oknum TNI AU di lapangan.
Itulah adegan pembuka film dokumenter Kubur Kabar Kabur buatan WatchDoc yang diputar dalam acara Trilogi Dokumenter Media, Teater Kecil Taman Ismail Marzuki (TIM), Jakarta (30/4). Film ini dibuat dengan konsep multi-fragment, maksudnya di dalamnya terdapat berbagai kepingan adegan dari beberapa kejadian berbeda yang ditampilkan secara acak.
Film ini sendiri berfokus pada masalah kekerasan dan pelanggaran HAM yang dialami wartawan dalam kurun waktu kira-kira dua dekade terakhir. Sejak 1996 hingga saat ini, setidaknya ada delapan wartawan yang terpaksa menjemput maut ketika sedang menjalankan kewajiban liputan, dan nihil penyelesaian secara hukum.
Dimulai dari Fuad Muhammad Syarifuddin – atau biasa dipanggil Udin – dari harian Bernas Yogyakarta yang meninggal pada 16 Agustus 1996 setelah diserang orang tak dikenal. Lalu ada Naimullah, wartawan Sinar Pagi yang ditemukan tewas dengan luka tusuk di leher pada 25 Juli 1997 di Pantai Penimbungan, Kalimantan Barat. Setelahnya masih ada Agus Mulyawan dari Asia Press yang meninggal karena kasus penembakan di Timor Timur, 25 September 1999 dan kameramen TVRI Muhammad Jamaluddin yang ditemukan tewas di sungai di Lamnyong, Aceh, pada 17 Juni 2003.
Jangan lupakan pula sosok Ersa Siregar, wartawan RCTI yang tewas akibat baku tembak antara pasukan GAM dan TNI di Aceh pada 29 Desember 2003. Lalu, wartawan lepas Delta Pos Sidoarjo, Herliyanto, ditemukan tewas pada 29 April 2006 di Probolinggo, Jawa Timur, dan wartawan TV lokal Merauke, Adriansyah Matra’is Wibisono di Sungai Maro, Merauke, 29 Juli 2010. Kasus teraktual terjadi pada Alfred Mirulewan dari tabloid Pelangi, yang ditemukan tewas pada 18 Desember 2010 di Maluku Barat Daya.
Menariknya, usai cuplikan beberapa kasus pembunuhan wartawan tersebut masuk dalam film, gambar yang ada sempat berganti ke situasi perayaan Hari Pers Nasional 2014 di Bengkulu pada Februari lalu. Setiap kali riuhnya perayaan hari pers masuk ke layar, musik yang ada berganti menjadi bernada ceria dan bernuansa komedi.
Saat ditanya apakah hal ini sengaja dilakukan untuk mengesankan bahwa Hari Pers Nasional yang diramaikan para petinggi negara seperti Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan istrinya Ani Yudhoyono adalah lawakan semata, sutradara Kubur Kabar Kabur, Hellena Souisa, dengan tegas mengiyakan.
“Ketika kita lihat, Hari Pers Nasional saya rasa malah menjadi lawakan besar. Orang-orang berpesta. Ada delapan orang wartawan yang meninggal tapi presiden hanya berkata bahwa ia memantau dari Twitter, Facebook dan YouTube hampir setiap hari. Namun, ya begitu saja. Harusnya kalau Anda memantau juga ya Anda tahu dong bahwa ada kasus Udin yang belum terselesaikan hingga kini,” tegas Hellena.
Memang beberapa kali gambar yang masuk seakan menunjukan kemeriahan yang salah di Hari Pers Nasional. Para pedagang berlomba menjajakan barangnya di festival yang diadakan di sana. Ada pula acara pelepasan penyu dan seminar bertajuk “Konvensi Media Massa” dengan Dahlan Iskan sebagai salah satu pembicaranya. Namun, kala kamera menyorot, terlihat kurang lebih enam orang peserta tertidur pulas kala mengikuti seminar tersebut. Ironi pun hadir ketika Ketua Umum Persatuan Wartawan Indonesia Margiono memberikan gelar “Sahabat Pers” pada SBY di sana.
Selain itu, diangkat pula kasus koresponden SUN TV, Ridwan Salamun, yang dibantai massa saat meliput tawuran di Tual, Maluku. Terlihat sosok istri Ridwan yang menjadi narasumber acara Kick Andy di stasiun Metro TV. Di sana, ia memperlihatkan sebuah surat ungkapan bela sungkawa dan janji pemerintah untuk memberi beasiswa pada anak Ridwan sebagai kompensasi. Surat itu ditandatangani langsung oleh staf khusus presiden sejak Agustus 2010, tapi hingga saat ini belum benar-benar terealisasi.
Kemudian, tiba-tiba gambar berganti ke adegan kampanye CEO MNC, Hary Tanoesoedibjo, yang berjanji akan menyelesaikan masalah kesejahteraan rakyat. Gambar kembali berganti ke acara kampanye Golkar saat orang-orang berbaju kuning di atas panggung menyanyikan lagu soal sosok Aburizal Bakrie yang dianggap sebagai anak sejuta bintang. Lebih lanjut, adegan kembali berganti ke suasana kampanye Surya Paloh yang berujar bahwa bangsa ini harus memiliki keteladanan.
Tiga orang yang disebutkan di atas adalah sosok politikus sekaligus bos besar media nasional di Indonesia. Mereka berbicara soal janji untuk memajukan bangsa. Namun, sayangnya mereka kerap lupa dengan kewajiban melindungi para wartawannya sendiri.
“Perlindungan dari perusahaan pertama kali adalah menyangkut kesejahteraan wartawan, termasuk asuransi hidup dan risiko yang dapat terjadi pada saat liputan. Selain itu juga kesiapan perusahaan ketika ada kasus kekerasan ataupun kasus hukum lainnya. Perusahaan harus melindungi karyawannya dan harus siap memberi bantuan hukum,” ujar Ignatius Haryanto, Direktur Eksekutif Lembaga Studi Pers dan Pembangunan sekaligus produser film Kubur Kabar Kabur.
Lebih lanjut, beberapa media ternyata berusaha melakukan komersialisasi pemberitaan terbunuhnya wartawan yang bernaung di sana.
“Saat proses produksi, awalnya kami sempat meminta sumbangan gambar atau tayangan dari seluruh stasiun TV di Indonesia yang wartawannya pernah mengalami kasus kekerasan – minimal ada delapan TV yang kita minta. Bila tidak mau disumbang, kami pun bermaksud untuk membeli dengan harga sosial,” ujar Dandhy Dwi Laksono, yang juga berperan sebagai produser. “Apa yang terjadi? Ada satu TV yang dua jurnalisnya pernah tewas meminta harga 500 US$ untuk setiap lima menit gambar yang mereka punya.”
Menurut Hellena, memang hanya ada dua stasiun TV yang bersedia memberikan gambarnya secara cuma-cuma, yaitu Metro TV dan SCTV. Karena keterbatasan dana yang ada, Dandhy, Hellena dan kawan-kawan pun berusaha mendapatkan gambar yang ada dengan berbagai cara, seperti memintanya dari arsip Remotivi dan Aliansi Jurnalis Independen.
Dandhy sendiri tidak habis pikir dengan perlakuan para media yang meminta tarif tinggi tersebut. “Bagi saya, mereka telah mengkhianati almarhum wartawan, mengkhianati profesi wartawan, dan mengkhianati publik. Ini adalah wajah rakus dari korporasi media,” ujar Dandhy.
Dalam acara Trilogi Dokumenter Media, sesungguhnya ditayangkan pula dua film dokumenter lainnya: Oligarki Televisi dan The Years of Blur, dengan tema serupa. Setelah pemutaran pada 29-30 April di TIM, film yang ada akan diunggah ke YouTube agar masyarakat awam bisa melihat dengan terbuka.
“Untuk para wartawan, setelah mereka menonton Kubur Kabar Kabur, semoga mereka bisa ingat lagi dengan teman-temannya, dengan profesinya, dan mudah-mudahan mereka tetap setia dengan profesinya walau ada kekerasan terjadi,” ujar Hellena.
***