Seorang pemuda berkelana sendirian, menuju kota besar gemerlap yang selama ini hanya ada dalam angan. Tak banyak yang dibawa, hanya paspor dan uang seadanya. Lalu ia tiba di sebuah daerah gersang. Cuma beberapa tiang listrik dengan kabel kusut yang terbentang renggang. Kemudian muncul tiga sosok gelap, menyerang si pemuda hingga tak berdaya. Suasananya mencekam.
Tiba-tiba seorang anak kecil dari bangku penonton bertanya dengan nada cemas, “Is he okay?”
Penonton lain sontak tergelak mendengarnya. Orangtuanya hanya bisa geleng-geleng kepala. Si anak begitu terbawa kisah yang dibawakan Les Rémouleurs dengan judul Frontiéres. Padahal, pertunjukan teater boneka dengan durasi sejam itu berlangsung tanpa dialog. Dengan kombinasi permainan cahaya, video dan alunan perkusi sebagai pengiring, grup asal Prancis tersebut berhasil menyuguhkan pentas wayang modern nan atraktif.
Pentas Frontiéres adalah bagian dari serangkaian acara Festival Printemps Français pada 15 Mei hingga 23 Juni 2014. Acara ini rutin diadakan setahun sekali. Memasuki tahun ke-10, kali ini ia berlangsung di 11 kota besar Tanah Air, dari Banda Aceh hingga Bali. Ada pentas tari, teater, sirkus, musik dan pameran fotografi yang ditampilkan dalam keseluruhan acara. Seni budaya ala Prancis ditonjolkan di sana.
Les Rémouleurs mendapat kesempatan manggung di Teater Salihara, Jakarta, pada 15 Juni. Setelahnya, mereka akan bertolak ke Yogyakarta dan Bandung untuk unjuk gigi.
Kisah Frontiéres terinspirasi dari lagu pengantar tidur tradisional di Thailand. Tembang itu bercerita soal seekor burung yang harus pergi mengembara karena pohon tempatnya bersarang ditebang oleh manusia. Lantas, kisah ini diadaptasi jadi perjalanan hidup seorang imigran yang menghadapi kerasnya dunia dalam perantauan.
Permainan bayang yang ada jadi daya tarik tersendiri. Di awal kisah, terdapat empat wayang di dasar panggung dengan layar putih besar di belakang sebagai latar. Kemudian, dalang masuk dan meletakkan lilin di depan wayang tersebut. Bayangan besar tercipta di layar dan kisah pun dimulai.
Sebagai tokoh utama, sang pemuda dihadapkan dengan berbagai rintangan dalam tiap jejak perjalanan. Setelah dikeroyok oleh beberapa sosok di kota gersang, ia bertemu dengan orang tua berkerudung gelap. Orang tua itu menyarankan agar si pemuda menumpang truk bersama para perantau lainnya untuk mencapai kota tujuan.
Tak gratis tentunya. Pemuda terpaksa menyerahkan sebagian uang simpanan sebagai biaya perjalanan. Gambar uang kertas muncul dan melayang perlahan masuk ke mulut orang tua.
Lalu truk berjalan jauh dari satu daerah ke daerah lain. Hingga sampailah para imigran gelap itu di sebuah perbatasan. Ada dua penjaga bersenapan yang bersiaga. Dengan galak, mereka menghentikan truk dan memeriksa isinya. Para penumpang tertangkap basah dan terpaksa digiring oleh para penjaga.
Saat itu dua dalang maju ke depan panggung membawa selembar kertas buram penuh kerutan. Cahaya menyorot kertas itu dan mencipta efek garis-garis simetris gelap layaknya jeruji penjara.
Pemuda mencoba melarikan diri dari tempat tahanannya. Ia terus berlari tanpa kenal lelah. Saat kondisi dirasa aman, ia terduduk di sebuah sudut sembari merenungkan seluruh perjalanan yang telah dilalui. Masuk video yang memperlihatkan kedua tangan si pemuda sedang melihat beberapa foto dan sebuah koin. Tak ada lagi keluarga menemani dan ongkos perjalanan semakin menipis dari hari ke hari.
Pemuda pun melanjutkan langkah hingga bertemu lagi dengan si orang tua. Ia marah besar karena merasa ditipu untuk naik truk secara ilegal. Kali ini kapal besar diusulkan sebagai alternatif. Pemuda setuju dan uang lagi-lagi melayang ke mulut orang tua.
Awalnya semua berjalan lancar. Kapal berlayar menyusuri ombak besar. Namun, perlahan kondisi lautan semakin tak terkendali. Ombak tersebut dengan mudah menyapu kapal hingga karam begitu saja. Hampir seluruh penumpang tenggelam hingga ke dasar. Hanya si pemuda yang beruntung terdampar di sebuah pantai.
Tak disangka, ia telah sampai di kota impian, penuh gedung tinggi dengan gemerlap warna-warni. Namun, kota itu seketika berubah menjadi monster berkaki empat. Semakin si pemuda berusaha mendekati, semakin sang monster galak menghadapi. Di satu titik, pemuda justru dimakan mentah-mentah masuk ke dalam monster kota.
Di dalam perut monster, terlihat bahwa berbagai sendi kehidupan di sana dijalankan oleh para budak manusia. Mereka bekerja tanpa henti, melalui repetisi tak berujung agar monster kota bisa tetap hidup. Seperti mesin yang terus berjalan hingga akhir zaman.
Pemuda mencoba keluar dari sana, mengoyak perut sang monster dari dalam. Monster kota kesakitan dan meraung tak tertahan. Namun, di setiap lapisan yang berhasil diterobos paksa, sang pemuda hanya menemukan kegelapan.
Pada epilog, terlihat empat sosok di awal: keluarga yang ditinggalkan sang pemuda. Salah satunya memegang sebuah surat – tampaknya dari pemuda – bertuliskan, “Bien arrive.”
Artinya, “Aku di sana.”
***