Kita pernah menyaksikan momen-momen tragis yang menggugah sisi kemanusian di atas lapangan sepak bola. Cedera, merupakan salah satunya. Wajar, karena kontak fisik adalah bagian tak terpisahkan dalam permainan. Robek otot, patah kaki, gegar otak, hingga hilangnya nyawa pernah terjadi di sana. Penanganan medis yang tepat wajib hukumnya untuk menghindari situasi terburuk.
Alan Smith pernah dianggap begitu menjanjikan di masa mudanya, terutama kala membela Leeds United pada rentang 1998-2004. Hal itulah yang membuat Manchester United (MU) merekrutnya dari sana. Namun, cedera merusak segalanya.
Pada 18 Februari 2006, MU melakoni laga tandang ke Anfield untuk berhadapan dengan Liverpool di ajang Piala FA. Sundulan Peter Crouch berhasil membawa Liverpool unggul di menit 19. MU terus berusaha mencari celah untuk membalikkan keadaan, tapi urung menemui sasaran.
Memasuki menit 88, Liverpool mendapat tendangan bebas jauh di luar kotak penalti MU. John Arne Riise, pemain kidal asal Norwegia jadi eksekutornya. Mendapat operan pendek dari Dietmar Hamann, Riise langsung menendang keras bola tersebut ke arah gawang. Smith, jadi pemain pertama yang menyambutnya. Ia berlari kencang sembari menyampingkan badan dan menghalau bola dengan kakinya.
Nahas, ia salah jatuh dengan posisi kaki kiri menyilang. Kaki kirinya patah dan mengalami dislokasi engkel. Tim medis segera datang dan mengangkatnya dengan tandu ke mobil ambulans. Seharusnya mobil tersebut segera pergi meninggalkan stadion menuju rumah sakit terdekat. Tak disangka, mobil dihadang sekelompok pendukung garis keras Liverpool yang melempari dengan botol, gelas bir dan batu. Beberapa orang bahkan berusaha menggulingkan kendaraan tersebut.
Untungnya Smith tak terlambat tiba di rumah sakit. Penanganan segera dilakukan dan kariernya sebagai pesepak bola tidak mati. Namun, kecaman keras datang dari berbagai pihak. Manajer Stadion Anfield, Ged Poynton, bahkan mendapat sebuah surat bertuliskan, “Saya merasa ini adalah hal paling menjijikkan yang pernah saya saksikan selama 40 tahun menonton pertandingan sepak bola profesional.”
Peraturan FIFA sendiri menyebutkan bahwa atas perintah wasit, tim medis harus bisa segera memindahkan pemain yang cedera di atas lapangan dan menjamin keselamatannya.
“Setelah menanyakan keadaan pemain yang cedera, wasit menugaskan satu, atau paling banyak dua dokter, untuk memasuki lapangan, memastikan jenis cedera yang ada, dan mengatur keselamatan pemain serta memindahkannya dari lapangan permainan,” itulah yang tertulis lengkap dalam kitab peraturan FIFA.
Maka, keselamatan pemain harus jadi prioritas. Sesuatu yang kerap diabaikan dan dianggap remeh oleh ofisial pertandingan sepak bola Indonesia.
Mayoritas pemain sepak bola Indonesia punya kisah tragisnya masing-masing yang sesuai dengan dramaturgi serta plot sebuah sinetron. Gaji tak dibayar berbulan-bulan, hingga mati mengenaskan. Anehnya, kejadian yang sama atau mirip terus terulang dari tahun ke tahun. Ramai sesaat, menghilang secepat kilat. Tak terselesaikan dan terkesan diabaikan.
Masyarakat tanah air pernah begitu berduka saat mendengar berita kepergian Jumadi Abdi, gelandang PKT Bontang, pada Maret 2009 lalu. Saat berlaga melawan Persela Lamongan, Jumadi mengalami benturan keras dalam situasi perebutan bola dengan pemain lawan, Denny Tarkas.
Kala itu, Denny mengangkat kaki sepinggang dan bermaksud menerjang bola dengan telapak sepatunya. Tak disangka, sodoran kaki Denny justru mengenai perut Jumadi. Jumadi tersungkur kesakitan hingga tak bisa melanjutkan pertandingan. Ia segera dibawa ke rumah sakit untuk mendapat perawatan.
Setelah kira-kira seminggu dirawat, Jumadi mengembuskan napas terakhir. Terjadi kerusakan di sejumlah organ vital. Ususnya sobek, sehingga muncul kuman yang mendorong terjadinya infeksi berat di bagian dalam perutnya. Jumadi meninggal pada 15 Maret 2009, atau kira-kira tiga minggu sebelum rencana pernikahannya seharusnya berlangsung.
Lima tahun berselang sejak kejadian tersebut. Namun, rasanya kita tak banyak belajar dari apa yang terjadi. Pada 10 Mei 2014, insiden serupa terjadi pada Akli Fairuz, penyerang Persiraja Banda Aceh.
Kala itu Persiraja sedang berhadapan dengan PSAP Sigli. Dalam sebuah kemelut di kotak penalti PSAP, kiper Agus Rahman dan Akli saling adu cepat untuk merebut bola dengan situasi 50-50. Akli menang dalam perebutan bola, hanya sesaat sebelum kaki Agus menerjang perutnya dengan telak.
Akli meringis kesakitan. Ia mengalami luka dalam dan kandung kemihnya bocor. Hal ini tak diketahui sebelum ia dibawa ke rumah sakit. Masalahnya, sesaat setelah kejadian berlangsung, tim medis Persiraja tak langsung membawa Akli meninggalkan stadion. Akli hanya dibawa ke pinggir lapangan untuk menyaksikan laga hinggai usai.
Ia baru masuk rumah sakit usai matahari terbenam. Selama enam hari, Akli mendapat perawatan intensif di RSUD Zainoel Abidin. Di sana, ia bahkan sempat bercerita pada wartawan. “Keras sekali terkena sepatu di sini,” ujarnya sembari menunjuk daerah bawah perutnya sendiri.
Namun apa daya, Akli meninggal pada 16 Mei 2014 lalu. Masyarakat kembali berduka, baik lokal maupun internasional. Berita ini memang tersebar cepat ke berbagai penjuru dunia. Daily Mail dan Daily Star asal Inggris, The Sydney Morning Herald asal Australia, La Gazetta dello Sport asal Italia dan Marca asal Spanyol ramai-ramai memberitakan insiden ini.
Tak hanya sampai di situ, ternyata Persiraja juga masih menunggak gaji Akli selama tiga bulan terakhir. Ia sempat melakukan aksi protes belum lama ini, tapi urung mendapatkan hasil hingga kini.
Masalah menunggaknya gaji pemain sepak bola memang bukan hal baru di Indonesia. Pemain asal Paraguay, Diego Mendieta, meninggal pada Desember 2012 lalu karena tak mampu membayar perawatan penyakit tifus yang diidapnya kala itu. Hal ini terjadi karena hak gaji sebesar Rp100 juta masih ditunggak oleh Persis Solo yang dibelanya.
Kebiasaannya memang selalu seperti itu, yang bertanggung jawab berlomba mencuci tangan kala masalah besar muncul ke permukaan. Manajemen Persis Solo justru marah-marah ketika dihukum tak boleh berkompetisi lagi oleh Badan Olahraga Profesional Indonesia.
“Saat (dirawat) di rumah sakit, Diego sudah tidak lagi bersatus sebagai pemain Persis karena tim sudah dibubarkan. Sehingga biaya perawatan Diego sudah tidak menjadi tanggung jawab manajemen, namun manaemen tetap membantu semampunya,” kata Totok Supriyanto, eks Manajer Persis Solo.
Di lain pihak, Ketua Umum Persiraja Jamal Muku, tiba-tiba mengundurkan diri dari jabatannya sehari setelah kematian Akli. Hal itu karena Jamal merasa yang seharusnya bertanggung jawab soal tunggakan gaji adalah para pengurus lama.
“Kami sudah mencari pengurus-pengurus lama sampai ke rumah tapi tak ada, jadi mereka harus mempertanggung jawabkan semua. Enggak mau, kalau beban mereka dibebankan ke kami,” kata Jamal.
Tak hanya soal oknum yang lari dari kewajiban. PSSI sebagai wadahnya pun seakan tidak melakukan tindakan tegas untuk mencegah hal sama terulang lagi. Oleh karena itu, tak ada efek jera bagi para pemain. Bahkan, dalam regulasi kompetisi Divisi Utama 2014 juga tak dijelaskan secara terperinci perihal prosedur penanganan medis bagi pemain yang cedera ketika berlaga.
Pasal 56 dan 57 dalam regulasi tersebut hanya mengatur soal kewajiban pengadaan fasilitas dan personel medis di stadion kala sebuah pertandingan berlangsung. Jadi, secara de jure walau para petugas medis telah bersiap dengan peralatan lengkap, mereka tidak wajib memberikan pertolongan pada pemain yang cedera.
Memang, terlalu banyak lubang dalam regulasi sepak bola Indonesia. Akibatnya kita kerap geram, sedih, dan tertawa mengamati apa yang tejadi di dalam ataupun luar lapangan. Selalu seperti itu, tanpa solusi memadai.
Beruntung betul Alan Smith. Bila insiden patah kaki ia alami di tengah pertandingan sepak bola Liga Indonesia, mungkin kini ia sudah diamputasi.