Sejak saya berhenti bekerja sebagai wartawan pada akhir Februari 2015, frekuensi membaca berita, terutama seputar isu politik, jadi jauh berkurang. Namun entah kenapa, saya merasa lega.
Politik memang selalu menyajikan drama. Di sana, kita seakan berlomba membaca makna di balik setiap penanda dan petanda yang ada. Karena itu, semakin lama mendalaminya, saya justru kian apatis. Rasanya benar kata Niccolo Machiavelli, politik tak berhubungan sama sekali dengan nilai moral.
Namun di sisi lain, di situlah daya jual berita politik. Ia menyajikan ketegangan, pengkhianatan, tipu daya, dan plot twist yang kerap tak terduga. Di sana, orang tak peduli seberapa buruk akting seorang politisi atau betapa tidak masuk akalnya alur sebuah cerita. Yang penting menarik. Titik. Ia bagai sinetron lain keluaran Raam Punjabi yang banyak dicerca, tapi toh kerap mendapat rating tinggi.
Lalu saya teringat kata-kata James Luhulima, wartawan senior harian Kompas yang sempat jadi dosen saya saat kuliah di Universitas Multimedia Nusantara. Suatu hari kala sedang mengajar kelas penulisan tajuk rencana dan opini, ia pernah berujar, “Di era Orde Baru, wartawan hanya bisa memberitakan 8 dari 10 fakta, tapi semuanya tepat. Kini, wartawan bisa memberitakan 12 dari 10 fakta, dan kita tak tahu mana yang benar.”
Di era Orde Baru, pers memang jadi alat penting untuk menjaga legitimasi pemerintah. Setelah G30S 1965 saja, ada 46 dari 163 surat kabar yang ditutup tanpa alasan jelas karena mereka diduga terkait atau jadi simpatisan PKI. Gelombang beredel juga terjadi pada 1970-an, salah satunya kala 12 media kehilangan Surat Izin Terbit beberapa minggu setelah kejadian Malari. Itu terus terjadi hingga 1990-an. Media mana pun yang berani “galak” pada pemerintah, akan gulung tikar seketika.
Kini, di era ketika media sosial berkembang pesat dan banjir informasi merebak di mana-mana, pers justru kebablasan. Karena itu, menurut Bill Kovach dan Tom Rosenstiel masyarakat butuh agregator cerdas yang mampu memilah mana informasi yang bisa dipercaya dan beberapa bukti mendasar mengapa demikian. Jangan sampai berita yang disajikan menyesatkan pembaca.
Apalagi, bagi sebagian orang berita telah jadi suplemen wajib dalam keseharian. Ini pula yang dirasakan oleh Jesse Arsmtrong, penulis komedi asal Inggris. Pada awal Februari 2015, ia sempat bereksperimen dengan puasa mengonsumsi berita selama sebulan penuh. Alasannya, ia ingin rehat sejenak dari segala kebisingan dunia.
Beberapa hari pertama adalah yang terberat. Jesse jadi mudah gelisah, bahkan tak tahu harus apa untuk mengisi waktu saat jeda di tengah tumpukan pekerjaannya. Ia pun menyadari, apa yang dilakukannya selama ini adalah berlari mengimbangi kecepatan banjir informasi tentang segala hal dari berbagai penjuru dunia. Sifatnya penuh candu, sekali melahap satu berita, ia jadi ingin tahu lagi dan lagi soal kelanjutannya.
Setelah beberapa waktu, ia mulai terbiasa. Saat itulah Jesse merasakan sejumput kelegaan dalam diri. Ia tak perlu beradu argumen dengan orang lain atau bahkan dirinya sendiri tentang berita-berita kontroversial seperti kasus Charlie Hebdo. Ia pun tak usah bersusah payah menempatkan berbagai hal dalam sebuah perspektif untuk meraba konteks permasalahan. Namun yang terpenting, ia tak lagi menggunakan berita sebagai sarana untuk mengafirmasi tiap prasangka buruknya terhadap dunia. Sesuatu yang terbentuk dengan sendirinya akibat konsumsi berlebih atas segala pemberitaan media massa.
Lalu setelah sebulan berlalu, hal pertama yang Jesse lakukan untuk kembali ke dalam dunia global adalah menonton laga sepak bola. Ia memulai kembali dengan apa yang benar-benar ia suka. Ia pun berujar, “Pada akhirnya, apa yang Anda baca dan tonton adalah refleksi dari apa yang Anda sukai, dan siapa diri Anda sebenarnya.”
“…Kini, wartawan bisa memberitakan 12 dari 10 fakta, tapi kita tak tahu mana yang benar.” << Nah ini nih yang aku rasakan juga terutama ketika portal berita online kian merebak. Banyak media beradu cepat, masalah tepat nanti dulu. Berita sepotong-sepotong dan tak menyeluruh. Kalau sekarang salah, nanti tinggal direvisi di tulisan selanjutnya. Masalahnya tidak semua orang membaca semua berita.
Beberapa waktu belakangan aku mengambil langkah seperti Jesse. Awalnya timbul pertanyaan, apakah ini berarti aku tidak peduli terhadap isu yang sedang hangat? Membaca tentang Jesse, aku merasa punya teman. 😀 *jadi curhat*
manusia takut akan perubahan .. kalau mereka sudah fokus dan menentukan apa tujuan mereka tentu ga akan takut oleh dinamika di luar yang berpotensi mengganggu jalan mereka mendapatkan tujuan akhir tsb ..
hanya berpendapat .. ga usah diambil serius ya . hehe
ya, pada akhirnya kita akan kembali ke apa yang benar-benar kita tuju :))