Saya sempat keranjingan main Championship Manager (CM) saat kelas 5 SD. Dalam permainan itu, kita berperan sebagai manajer tim sepak bola dari berbagai belahan dunia. Saya selalu pilih menangani Manchester United (MU). Saat sudah bermain, tak terasa waktu terbang begitu saja. Saya sampai harus membagi jam main yang adil dengan kakak di rumah. Bila terlewat lima menit saja, yang satu bisa ngamuk dengan yang lainnya.
Selama bertahun-tahun saya asyik bermain CM. Bahkan, saya pernah memulai permainan dari musim 2001/2002 dan berakhir di musim 2012/2013. Saat itu, rasanya seluruh nama pemain yang ada di sana sudah tak lagi bisa dikenali. Para pemain bintang asli dari dunia nyata telah pensiun, digantikan pemain muda rekaan atau hasil didikan akademi klub.
Saat SMA, barulah saya berganti haluan ke Football Manager (FM), permainan serupa hasil pecahan pengembang CM sebelumnya. Buat saya dua-duanya sama menarik, serta menyajikan detail data yang luar biasa soal kemampuan pemain dan pelatih lintas benua. Saya sampai girang betul kala menemukan profil Bambang Pamungkas di tim nasional Indonesia. Seingat saya, kemampuan sundulannya ketika itu dihargai poin tertinggi oleh CM, yaitu 20.
Para pelaku sepak bola di dunia nyata juga memberi apresiasi serupa. Pada November 2008, klub asal Inggris, Everton, bahkan meneken kontrak dengan FM agar bisa mendapat database lengkap sekitar 370 ribu pemain dari seluruh dunia. Dengan begitu, Everton bisa mengendus bakat pemain muda atau pelatih jempolan yang belum terkenal hanya dengan mengintip data dari FM itu.
Saya ingat benar, kala menangani MU saya kerap mempromosikan beberapa pemain muda dari tim junior dan memainkannya di laga-laga penting. Misalnya saja Michael Stewart, Bojan Djordjic atau Jimmy Davis. Stewart adalah gelandang tengah, sementara Djordjic main di sayap kiri dan Davis sebagai striker. Ketiganya terlihat menjanjikan karena punya beberapa angka 20 di profilnya.
Memang, pada kenyataannya tak ada satupun dari mereka yang benar-benar bisa menembus tim utama MU. Saat masuk kuliah, saya pun mulai jarang main FM hingga nama-nama itu perlahan terlupa. Kini, 12 tahun telah terlewati sejak saya pertama kali menjajal game CM. Namun, tiba-tiba saya teringat kembali akan pasukan muda saya dahulu tanpa sengaja.
Beberapa bulan lalu saya membeli autobiografi Sir Alex Ferguson versi bahasa Indonesia. Buku itu memang terbit setelah Fergie memutuskan pensiun dari sepak bola pada akhir musim 2012/2013. Walau begitu, selama ini buku itu hanya tersimpan rapi di rak dalam kamar rumah. Saya baru sempat membacanya hingga habis dua hari lalu.
Ada satu pembahasan Fergie yang menarik perhatian saya. Dalam salah satu bab, ia mengenang kembali perjalanan MU di musim 2003/2004. Kala itu, mereka hanya bisa finis di posisi ketiga klasemen akhir Liga Inggris, tapi sukses menjuarai Piala FA melalui kemenangan 3-0 atas Millwall di laga puncak. Namun, bukan itu yang menarik perhatian saya. Tiba-tiba, Fergie menyentil kenangan masa kecil saya dengan paragrafnya di akhir bab.
“Tahun itu juga diwarnai dukacita: kematian Jimmy Davis dalam kecelakaan lalu lintas. Jimmy, 21, adalah seorang yang cemerlang dan riang. Dia juga memiliki potensi. Andai masih hidup, dia bisa punya karier sepak bola yang bagus. Kami meminjamkan dia ke Watford. Dalam perjalanan menonton pertandingan yang akan dilakoni oleh sekolah sepak bola kami pada Sabtu pagi, saya mendengar bahwa pertandingan Watford yang akan dilakukan pada sorenya, ditunda. Tidak ada penjelasan lebih lanjut. Lalu, ketika pertandingan berlangsung saya diberi tahu mengenai kematian Jimmy dalam kecelakaan.”
“Dia anak yang ulet, sangat populer. Banyak orang dari klub hadir di pemakamannya. Dua tahun kemudian, pada satu acara resepsi pernikahan, saya merasakan deja vu. Selagi para tamu berfoto di luar, pendeta mendatangi saya dan berkata, ‘Apakah Anda mau melihat makam Jimmy?’ Saya belum menyadari bagaimana hubungannya, dan saya jadi merinding. Sedih sekali rasanya. Dia tidak akan dilupakan oleh Manchester United.”
***
Minggu lalu, pada Jumat dini hari, saya tiba-tiba ditelepon oleh Jody, rekan sekantor sekaligus karib sejak masa kuliah.
“Wir, Bapaknya Mando meninggal jam 11 malam tadi.”
Mando, adalah adik kelas saya di Universitas Multimedia Nusantara, Tangerang. Usianya sama, tapi telat masuk kuliah hingga Mando berbeda dua angkatan dengan saya di sana. Ia adalah anak yang periang dan mudah berbaur dengan kawan-kawan lintas jurusan ataupun angkatan. Saya pernah aktif dalam satu kelompok teater bersama Mando. Selama kira-kira dua tahun bekerja sama dengannya, saya terkesan dengan etos kerja Mando. Buat saya, dia adalah salah satu orang lapangan yang paling bisa diandalkan.
Sejak lulus kuliah dan kerja di Jakarta, saya jarang bertemu dengan Mando. Namun tiap kali tak sengaja berjumpa, kami pasti bertegur sapa dan bertukar obrolan seru. Dia senang sekali jalan-jalan, terutama naik gunung bersama perkumpulan mahasiswa pecinta alam di kampus. Mando memang tangguh, dan kerap bekerja tanpa mengeluh.
Syahdan, saya segera datang ke RS Medistra di Jalan Gatot Subroto, Kuningan. Saat bertemu Mando, saya lihat matanya sembab. Ia pun kerap menangis saat menceritakan kembali soal ayahnya pada saya. Baru kali ini saya lihat Mando menangis, dan saya jadi sungguh tak tega melihatnya.
Rasa kehilangan memang bisa meruntuhkan pertahanan terbesar dalam diri kita. Papa saya juga orang yang kuat dan tegas dalam kesehariannya. Saya hanya pernah sekali melihatnya menangis. Saat itu saya masih kelas 1 SD. Pada suatu pagi, saya terbangun mendengar keriuhan di dalam rumah. Rupanya orang rumah baru dapat kabar kalau pesawat yang ditumpangi nenek dan paman saya mengalami kecelakaan, jatuh di Palembang.
Kala itu, papa sampai menangis terisak tak kuat menerima kabar duka yang menimpa ibu dan adiknya. Sementara saya cuma bisa termangu melihat semuanya.
Buat saya, kematian adalah hal yang abstrak. Kematian selalu membawa duka; ada yang selesai dan baru saja dimulai setelahnya. Namun, apalah yang berarti dalam hidup tanpa kematian. Kita justru jadi berjuang sekuat tenaga untuk meraih yang terbaik sebelum ajal menjemput tak terduga. Tak ada yang kekal, hingga hidup jadi mahal.
Jimmy Davis meninggal di usia sangat muda. Saya memang mengenali kematiannya kira-kira satu dekade setelah kejadiannya. Namun rasa duka tetap menyeruak buncah tak terkira. Skalanya jelas beda dengan apa yang dirasakan Mando atau papa saya. Walau begitu, mereka semua adalah orang-orang yang pernah membekas dalam diri yang ditinggalkannya. Mereka tiada, tapi selalu ada dalam kenangan kita.
Suatu kali saya pernah berujar, kita bisa mengukur seberapa berharganya hidup kita dengan menghitung jumlah pelayat yang datang ke pemakaman kita. Rasanya hal ini senada dengan ujaran Albert Pike, seorang pengacara dan penulis asal Amerika Serikat.
“Apa yang telah kita lakukan untuk diri kita sendiri ikut mati dengan kita; apa yang telah kita lakukan untuk orang lain dan dunia tetap bertahan dan akan abadi selamanya.”