Memulihkan Ekonomi dengan Tenaga Matahari

Sistem fotovoltaic yang mengonversi tenaga surya menjadi listrik.
Sistem fotovoltaic yang mengonversi tenaga surya menjadi listrik. Sebastian Ganso/Pixabay.

Pandemi Covid-19 memberi pukulan telak pada sektor kesehatan dan ekonomi dunia. Tidak ada negara yang siap menghadapinya. Semua sontak terpuruk, dan seakan kembali ke titik nol.

Namun, ini juga berarti setiap negara memiliki kesempatan untuk memulai kembali dari awal. Seperti yang Presiden Joko Widodo katakan dalam pidatonya saat sidang tahunan Majelis Permusyawaratan Rakyat pada 14 Agustus 2020, ibarat komputer, perekonomian dunia tengah macet. Karena itu, komputer harus dimatikan dulu sesaat. Dengan begitu, ia bilang, “Semua negara mempunyai kesempatan men-setting ulang semua sistemnya.”

Dalam proses “men-setting ulang” itu, muncul peluang untuk menjalankan strategi pemulihan hijau, atau pemulihan ekonomi dengan cara yang berkelanjutan dan ramah lingkungan. Pandemi virus korona ini toh muncul di dunia yang terus memanas akibat kian tingginya emisi gas rumah kaca, utamanya karena penggunaan masif bahan bakar fosil. Lantas, kenapa tidak sekalian menyelamatkan Bumi sembari berusaha memulihkan ekonomi?

Indonesia, dengan potensi energi baru dan terbarukan (EBT) berlimpah, memiliki modal kuat untuk melakukan pemulihan hijau. Potensi EBT di Nusantara diperkirakan bisa menghasilkan listrik hingga 442 gigawatt (GW), menurut data Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM). Potensi terbesar ada di tenaga surya, yang setara dengan listrik berdaya puncak 207,9 GW.

Walau begitu, hingga akhir 2019 kapasitas pembangkit EBT baru menyentuh 10,15 GW, atau sekitar 14,7% dari kapasitas total pembangkit nasional. Kapasitas pembangkit listrik tenaga surya (PLTS) bahkan cuma 97,4 megawatt (MW), atau 0,04% dari total potensinya.

Padahal, tenaga surya dapat dimaksimalkan untuk menopang sektor pertanian dan perikanan yang tengah bergejolak karena pandemi.

Pada triwulan kedua 2020, sektor pertanian hanya tumbuh 2,8%, melambat dibanding laju 5,41% pada periode sama di 2019, menurut data Badan Pusat Statistik (BPS). Di saat yang sama, sektor perikanan terkontraksi 0,63%, walau setahun sebelumnya mereka tumbuh hingga 6,24%. Ini berdampak besar karena sektor pertanian dan perikanan – ditambah kehutanan – merupakan kontributor kedua terbesar terhadap perekonomian nasional setelah industri pengolahan.

Agrivoltaic
Di saat seperti ini, pemerintah bisa mendorong praktik agrivoltaic, atau bertani di bawah panel surya untuk memaksimalkan penggunaan lahan. Dalam satu lahan yang sama, petani dapat bercocok tanam sekaligus memasang instalasi panel surya dengan jarak cukup tinggi di atasnya. Dengan penempatan yang tepat, sebagian sinar matahari bakal diserap oleh panel surya, dan sebagian lainnya akan menghidupi tanaman di bawahnya melalui celah antar-panel.

Praktik ini memungkinkan petani untuk mendiversifikasi pendapatannya, tak hanya melalui hasil bertani, tapi juga dari menjual “listrik bersih” ke PLN atau bahkan para petani lain. Apalagi, sebuah studi yang terbit di jurnal Scientific Reports pada Agustus 2019 menunjukkan bahwa panel surya paling efisien bila dipasang di lahan pertanian, rerumputan dan lahan basah seperti sawah. Selama ini, pengembangan PLTS dunia justru banyak dikerjakan di gurun yang tandus.

“Panel surya itu rewel,” kata Chad Higgins, salah satu peneliti di studi tersebut. “Efisiensi mereka menurun saat panel semakin panas.”

Sebelumnya, Higgins juga terlibat dalam studi lain yang terbit di jurnal PLOS One pada November 2018. Studi itu mengindikasikan bahwa pemasangan panel surya di lahan pertanian bisa meningkatkan hasil panen. Itu karena area teduh yang tertutup panel surya memiliki tingkat kelembaban tanah lebih tinggi dibanding area terbuka, hingga mendorong pertumbuhan tanaman lebih signifikan.

Tenaga surya juga bisa digunakan untuk sistem irigasi, memompa air untuk hewan ternak, serta melistriki rumah para petani, utamanya di daerah-daerah terpencil di pelosok Indonesia.

Hingga akhir 2018, Indonesia memiliki lahan pertanian bukan sawah dengan luas total 27,7 juta hektare, sementara total lahan sawah adalah 7,1 juta hektare, menurut data Kementerian Pertanian. Karena itu, Indonesia punya potensi besar untuk menjalankan praktik agrivoltaic. Ini juga bisa jadi solusi atas masalah ketersediaan lahan yang kerap menyulitkan pengembangan PLTS.

Pendingin tenaga surya
Di sektor perikanan, tenaga surya dapat digunakan untuk mengoperasikan gudang pendingin atau cold storage. Peran fasilitas pendingin ini jadi kian krusial di tengah pandemi, saat nelayan kesulitan menjual ikan hasil tangkapannya. Pasokan ikan yang ada jadi berlebih, sementara permintaan menurun hingga harga jual ikut jatuh. Tanpa gudang pendingin, ikan pun bakal cepat membusuk dan membuat nelayan semakin merugi.

Indonesia memiliki 1.741 unit gudang pendingin, mencakup milik swasta dan pemerintah, dengan kapasitas penyimpanan total sebesar 2,46 juta ton, merujuk data Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP).

Masalahnya, sejumlah gudang pendingin kini telah menampung ikan melebihi kapasitas aslinya karena banyak pasar dan unit pengolahan ikan yang berhenti beroperasi di tengah pandemi. Lantas, waktu penyimpanan pun jadi lebih lama karena minimnya aktivitas logistik. Pengguna gudang meminta penundaan pembayaran karena ekonomi lesu, sementara pemilik gudang mesti terus membayar biaya operasional, termasuk listrik. Situasinya pelik.

Di sisi lain, banyak pula gudang yang kosong tak terpakai. Untuk gudang swasta, bisa jadi karena pabrik-pabrik berhenti beroperasi atau perusahaan belum mendapat izin penangkapan ikan. Untuk gudang bantuan pemerintah bagi nelayan kecil, banyak yang tak mampu membayar ongkos operasional untuk menggunakan fasilitas tersebut. Alasan lainnya, utamanya bagi para nelayan di daerah timur Indonesia, adalah jarak gudang yang terlalu jauh dari pelabuhan perikanan.

Dengan menggunakan tenaga surya, nelayan dapat menghemat biaya operasional untuk pendinginan ikan dengan menghasilkan energi secara mandiri. Dengan begitu, mereka bisa menggunakan gudang pendingin secara berkelanjutan untuk menjaga kualitas ikan. Ujung-ujungnya, harga ikan di pasaran jadi lebih stabil, dan perekonomian para nelayan bisa pulih kembali.

Ini pun sejalan dengan usaha Kementerian ESDM mendorong pemanfaatan tenaga surya untuk gudang pendingin ikan. Kini, mereka tengah menyiapkan pilot project bersama dengan Kementerian KKP untuk mewujudkannya. Diperkirakan, sektor perikanan tangkap memiliki potensi menghasilkan energi surya sebesar 721,26 MW.

“Ada peluang untuk bisa melakukan penghematan dari pemanfaatan EBT,” kata Harris Yahya, Direktur Aneka Energi Baru dan Energi Terbarukan Kementerian ESDM, pada pertengahan Juni 2020.

Kejar target 2030
Segala usaha mendorong penggunaan tenaga surya di atas diharapkan dapat membuka jalan bagi Indonesia untuk mewujudkan komitmennya dalam menangani perubahan iklim global. Sesuai dengan ratifikasi Perjanjian Paris pada November 2016, Indonesia menargetkan untuk memangkas emisi gas rumah kaca pada 2030 hingga 29% dengan usaha sendiri, atau 41% bila mendapat dukungan internasional, dari kondisi skenario dasar pada 2010.

Untuk memenuhi target penurunan 29%, Indonesia mesti memangkas emisi gas rumah kaca di sektor energi sebesar 314 juta ton CO2. Ini diperkirakan membutuhkan investasi hingga Rp 3.500 triliun, yang mana Rp 1.690 triliun di antaranya dialokasikan untuk pengembangan berbagai pembangkit EBT. Pada 2030, kapasitas pembangkit EBT Indonesia diharapkan telah mencapai 69,7 GW, atau 36,6% dari kapasitas total pembangkit nasional, seperti yang tertera di Rencana Umum Energi Nasional (RUEN).

Kapasitas PLTS dalam RUEN diproyeksikan terus meningkat hingga menyentuh 6,5 GW pada 2025 dan 45 GW pada 2050. Namun, dalam Rencana Umum Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) 2019-2028 yang disusun oleh PLN, tercatat hanya ada tambahan PLTS baru setara 840 MW pada periode 2020-2025.

Karena itu, pemerintah tengah menyiapkan Peraturan Presiden yang akan mengatur harga listrik pembangkit EBT. Akan ada setidaknya tiga skema yang berlaku: feed-in tariff, harga patokan tertinggi, dan harga kesepakatan. Dengan pengaturan baru tersebut, diharapkan tarif listrik EBT, termasuk dari PLTS, jadi lebih kompetitif, dan akan ada lebih banyak investor yang tertarik untuk masuk ke Indonesia.

Dengan begitu, akan lebih mudah pula bagi pemerintah untuk mendorong pemanfaatan tenaga surya di sektor pertanian dan perikanan. Ekonomi Indonesia pun bisa perlahan pulih dengan mengandalkan energi bersih.

Bagikan

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Scroll to Top