Susah untuk menalar apa yang terjadi pada 8 Oktober 2014 di Desa Sekaralas, Widodaren, Ngawi, Jawa Timur. Berbagai media, lokal, nasional, ataupun media sosial, ramai memperbincangkan pernikahan yang terjadi antara Bagus Kodok dan Peri Rara Setyowati.
Masalahnya, “peri” dalam konteks ini bukanlah nama sang mempelai wanita. Ia diklaim sebagai peri dalam arti sesungguhnya; bisa disebut juga sebagai danyang atau makhluk halus penjaga suatu tempat. Wajar bila warga sekitar gempar.
“Meski berbeda alam, kedua kekasih memiliki perhatian dan keprihatinan serta kecintaan yang sama pada alam raya dan budaya manusia, khususnya pada lingkungan tanah Jawa.” Demikian pengantar dalam rilis acara.
Dua pekan sebelum perhelatan, isu yang berkembang memang liar. Banyak orang dari berbagai tempat, entah Solo, Sragen, atau Yogyakarta, datang menemui Kodok di lokasi acara. Ada yang bermaksud meminta kesembuhan, mengais kesuksesan, dan sebagainya.
“Ada juga yang bilang Mbah Kodok sebenarnya sudah mati atau lurah setempat diberi dana Rp 3 miliar untuk mengadakan acara ini. Entah dari mana kabar itu beredar,” kata Bramantyo Prijosusilo, fasilitator acara.
Siapa sebenarnya Kodok yang melompat ke dalam imajinasi terliar ini?
Nama aslinya Prawoto Mangun Baskoro. Ia lahir pada 1951 di Kampung Purwosari, Solo. Panggilan “Kodok” datang dari teman-teman sepermainannya. Sebab, saat kanak-kanak Prawoto gemar mencari kodok, belut, atau lele di sekitar rumah.
Kodok seniman serba bisa. Awalnya ia dikenal sebagai seniman batik. Ia juga sempat bergabung dengan Bengkel Teater pimpinan mendiang WS Rendra pada 1972 dan aktif bermain di sana hingga 2003. Rendra membaptisnya sebagai anggota dengan nama panggung Kodok Ibnu Sukodok.

Setelah itu Kodok banyak menghabiskan waktu berkarya di Solo, menulis puisi atau melukis. Kodok tinggal di Taman Budaya Jawa Tengah yang tak jauh dari kampus Institut Seni Indonesia. Di sana ia kerap bergaul dengan para mahasiswa sembari bermusik. Pada 2011 ia menelurkan album Langkahku Aksaraku.
Bramantyo yang akrab disapa Bram adalah junior Kodok di Bengkel Teater. Setelah kelompok itu berhenti beraktivitas, mereka masih rutin menjalin silaturahmi.
Kira-kira enam tahun silam Kodok berkunjung ke rumah Bram di Desa Sekaralas. Kemudian mereka bersama menyambangi Alas Ketangga di daerah Paron. Melihat sungai yang jernih dan penuh bebatuan, tiba-tiba Kodok terdorong untuk buang air besar. Bram menegurnya karena menurut kepercayaan warga setempat, Alas Ketangga tempat keramat. Toh Kodok tak mengacuhkan teguran itu.
“Sejak itu saya suka didatangi perempuan dalam mimpi. Saya dimarahi, tapi saya tetap bertahan, karena yang saya lakukan itu alami saja,” tutur Kodok.
“Lalu kadang-kadang kalau malam saya suka mencium bau wangi, padahal nggak ada bunga di tempat saya tinggal. Saya juga suka dibisiki atau dicolek ketika sedang duduk santai.”
Mulanya Kodok takut dengan rentetan kejadian tersebut. Namun, perlahan ia jadi terbiasa. Sang perempuan pun memperkenalkan diri dalam mimpi dengan nama Rara Setyowati. Menurut Kodok, dari wajahnya terlihat sang perempuan dalam mimpi itu berusia sekitar 40 tahun.
Bisikan yang didengar Kodok juga nyatanya bernada positif. Ia kerap diingatkan untuk mawas diri dan lebih memperhatikan sekitar. Sebagai seniman, ia sering disentil agar tak lupa berkarya. “Karena saya dibuat, maka saya harus berbuat untuk membuat,” katanya.
Interaksi yang terbangun antara Kodok dan Rara Setyowati semakin intens. Hubungan mereka tanpa disadari berlandaskan dan menumbuhkan kasih sayang.
“Saya anggap dia saudara, kakak, guru, istri, sekaligus juga ibu. Saya tulus sayang sama dia. Saya juga tidak pamrih mengharap apa-apa, entah kekuasaan, uang, materi dan sebagainya,” kata Kodok.
Sekitar dua tahun lalu Kodok iseng meminta Bram untuk menikahkannya dengan sang peri. Tak disangka, Bram menyetujui dengan syarat: pernikahan berlangsung dalam konsep seni kejadian.
“Seni kejadian itu memperluas kanvas atau panggung menjadi ruang dan waktu itu sendiri. Jadi, di situ seniman menghadirkan sebuah kejadian,” kata Bram. “Konsep seni ini seru untuk didiskusikan, bukan untuk dibeli orang.”

Salah satu tokoh aliran seni kejadian adalah Joseph Beuys, asal Jerman, yang meninggal pada Januari 1986 di usia 64 tahun. Semasa hidupnya, Beuys kerap mempraktikkan gaya seni ini. Misalnya kala ia menyebar 7 ribu bibit pohon oak dan batu basal di berbagai penjuru Kassel, Jerman, pada 1982.
Dengan bantuan para relawan, proyek penanaman pohon itu berlangsung selama 5 tahun. Maksudnya agar dalam waktu 50 hingga 100 tahun ke depan, kita bisa menemukan pohon oak besar dengan sebuah batu sebagai tempat duduk di sebelahnya. Di bawah pohon oak besar nan rindang itu kita bisa duduk santai sembari merenung.
Bram juga bukan orang baru dalam seni kejadian. Pada 1989 ia mempelajari konsep ini dari Arahmaiani dalam Sanggar Suka Waras di Bandung. Kemudian ia mulai mempraktikkannya pada saat peralihan rezim Orde Baru ke era Reformasi.
Pada awal 1999 Bram melansir lukisan berjudul “Masturbasi Reformasi” yang menunjukkan manusia berkepala 10 sedang masturbasi. Lukisan itu dipajang di 6 kereta kuda berisi sekumpulan anak jalanan yang ramai memainkan gamelan. Kereta kuda itu kemudian berputar mengelilingi Yogyakarta dan memancing perhatian warga. Lukisannya ini sempat dipamerkan di Amerika Serikat.
Bram tertarik untuk mengangkat kembali seni kejadian dalam pernikahan Kodok dengan Rara Setyowati. Berbagai alasan mendasari. Salah satunya, ritual adat kejawen semakin terkikis dari kehidupan masyarakat Jawa dewasa ini.
Misalnya, dulu masyarakat Jawa menggelar upacara persembahan bagi Dewi Sri, lambang kesuburan pertanian. Upacara itu bisa digelar berkali-kali dalam setahun, terutama di awal proses kerja para petani, masa tandur atau tanam, dan masa panen. Perkembangan agama literer dan kepercayaan modern di Tanah Air membuat ritual adat ini terpinggirkan, dikucilkan, dan dianggap tindakan musyrik.

“Menurut Karl Marx, cara produksi kita menentukan ideologi kita. Misalnya petani yang hidupnya tergantung pada iklim dan cuaca akan cenderung lebih percaya pada Tuhan. Sementara buruh yang masuk kerja dan gajian rutin dari pabrik cenderung sebaliknya. Ini salah satu hal yang membuat ritual adat tradisional terpinggirkan di Jawa,” kata Bram.
Keberadaan danyang dalam kepercayaan masyarakat Jawa kuno pun kian terpinggirkan. Menurut Bram, danyang adalah makhluk halus penjaga berbagai tempat yang penting secara ekologis di lingkungan kita. Misalnya mata air, gua, atau pohon besar. Belum lagi adanya Revolusi Hijau sejak awal pemerintahan Orde Baru yang membuat kesenjangan ekonomi kian menganga. Bahan-bahan kimia diperkenalkan dalam proses bercocok tanam, lingkungan juga tercemar karenanya.
“Karena itu, budaya tradisional kita kini jadi tinggal kenangan. Budaya kita jadi nggak punya akar,” kata Bram. “Makanya ada kerinduan yang hadir dari kenangan itu.”
Sepertinya ucapan ini ada benarnya bila melihat apa yang terjadi di lapangan. Sebelum acara pernikahan berlangsung, Bram menyebar 800 undangan. Rumahnya di lahan seluas 3 hektare yang menjadi tempat acara dirasa cukup untuk menampung orang sejumlah itu. Namun, yang terjadi di luar dugaan. Sekitar 4 ribu orang datang memadati ruangan, halaman, hingga pintu depan. Semua terbakar rasa penasaran dan terdorong apa yang disebut Bram sebagai kerinduan.
Prosesi berlangsung sesuai adat kejawen, walau tak sepenuhnya. “Soalnya kita belum ada pakem soal adat pernikahan antara manusia dan makhluk halus di alam manusia,” kata Bram.
Sehari sebelum acara, dilangsungkan midodareni atau malam menjelang akad nikah. Pada sorenya Bram dan beberapa kawan mendatangi Sendang Marga, yang diperkirakan sebagai tempat tinggal Rara Setyowati. Mereka menaruh sesaji dan membakar dupa untuk mengundang Rara Setyowati datang ke tempat acara.

Pada hari H semuanya berlangsung lebih meriah. Seperti pesta rakyat semalaman. Sejak sore dilakukan acara siraman pada kedua mempelai. Kehadiran Setyowati diwakili sebuah anglo. Lalu dilakukan acara dodol dawet yang memancing kehebohan pengunjung. Semua seakan berebut ingin mendapat bagian dawet. Tak hanya itu, beberapa orang bahkan berdesakan berusaha membasuh tangan di air siraman hingga polisi terpaksa mengamankan.






Kemudian pada pukul 7 malam, Kodok datang bersama arak-arakan dari luar rumah untuk menjalani temu temanten. Suasana riuh. Warga berdesakan maju untuk menyaksikan pernikahan itu. Para fotografer dari berbagai media berebut mengambil gambar terbaik. Setidaknya 80 personel kepolisian dan 5 anggota Komando Rayon Militer diturunkan untuk menjaga keamanan, tapi tak banyak yang bisa mereka lakukan. Bahkan salah satu tentara ikut berdesakan bersama para fotografer untuk merekam video arak-arakan di baris terdepan.




Di sini, Bram dan kawan-kawan juga bermaksud melakukan reinterpretasi mitos. Menurut Bram, kisah legenda di tanah Jawa selama ini kerap memunculkan sudut pandang serta nilai ajaran yang salah. Misalnya legenda Jaka Tarub yang mencuri selendang Nawang Wulan hingga sang bidadari tak bisa kembali ke kahyangan.
“Di situ akhirnya Nawang Wulan terpaksa tinggal bersama Jaka Tarub dan melayaninya dengan setia. Jaka Tarub bahkan memperkosanya hingga Nawang Wulan hamil. Nilai-nilai yang diajarkan dalam cerita itu adalah menghalalkan segala cara serta memperlakukan perempuan sebagai budak. Pelecehan seksual yang dilakukan tak pernah dikritik, justru dibanggakan,” kata Bram.
Dalam teori semiologi filsuf Roland Barthes menjabarkan konsep membaca tanda. Mitos adalah gaya bahasa yang bermakna tersirat. Dengan begitu, proses memaknai tak berarti objek yang ada sekadar membawa informasi. Objek-objek itu justru ingin berkomunikasi sembari merangkai sistem tanda yang terstruktur.
Karena itu, pernikahan antara Bagus Kodok dan Peri Rara Setyowati tak bisa dimaknai secara kasatmata belaka. Ia membawa penawar kerinduan serta diskusi budaya tentang kepercayaan tradisional masyarakat Jawa. Dari sudut pandang seni, Bram berhasil merangkai kejadian yang melibatkan semua pihak, dari mempelai hingga pengunjung penasaran.

Semua bersatu membentuk kejadian dalam kemasan sebuah pesta rakyat.
***
Tulisannya keren!