Mencari Damai di Ujung Parang

Ilustrasi orang Papua.
Ilustrasi orang Papua. Joko Narimo/Pixabay.

Keributan telah terjadi berkali-kali. Para pendatang sudah bosan ditekuk tak berdaya oleh kaum pribumi. Maka, saat anak Kepala Kampung Skanto, Keerom, Papua, mabuk dan memukul seorang pemuda dari pihak pendatang tanpa alasan jelas pada 2013, pembalasan segera dipersiapkan.

Sekali pukul kentungan, warga pendatang berbondong naik ke atas truk. Mereka siap mengepung rumah si anak kepala kampung. Tinggal menunggu aba-aba.

Skanto dikelilingi berbagai kampung transmigran, di antaranya Arso 3, Arso 4, Arso 5, Arso 9, Arso 12, Arso 13, dan Arso 14. Para pendatang, entah dari Pulau Jawa, Bali, Makassar, atau Kupang, tinggal tersebar di sana.

Mayoritas pendatang merupakan bagian dari program transmigrasi pemerintah yang berlangsung deras pada akhir 1970-an hingga pertengahan 1980-an. Sejak itu, konflik antara penduduk lokal dan masyarakat pendatang kerap terjadi dalam berbagai skala.

Salah satunya pada 11 Maret 1988, bertepatan dengan pelantikan Soeharto sebagai presiden Indonesia untuk ketujuh kali. Kala itu orang-orang Bali mengambil janur dan daun pisang dari kebun warga lokal untuk membuat sesaji tanpa meminta izin terlebih dahulu. Keributan terjadi dan korban jiwa berjatuhan, terutama warga di Arso 4.

“Waktu itu saya masih tinggal di Arso 3. Usai salat Jumat, peristiwa terjadi. Banyak yang terbunuh, makanya sampai sekarang tiap tanggal 11 Maret diperingati warga untuk mengenang kejadian tersebut,” ujar Andi Amirudin, 53 tahun, guru Sekolah Dasar Negeri Inpres Skanto yang tiba di Papua sejak 1982.

Untuk mencegah kejadian serupa terulang, para pendatang membentuk paguyuban Persatuan Nusantara. Bila terjadi masalah dengan kaum pribumi, mereka tinggal memukul tiang listrik atau kentungan dan kabar pun tersebar cepat sehingga mereka segera bersiap.

Untunglah, kejadian pada 2013 tak berbuntut panjang. “Akhirnya hanya beberapa orang yang menghajar anak kepala kampung itu. Masalah selesai dan truk tidak perlu berangkat,” kata Andi.

Kondisinya jadi serba salah. Terdapat SD Negeri Inpres di Skanto dan seluruh guru merupakan pendatang. Kericuhan pun kerap terjadi antara orang tua siswa dan pihak sekolah. Misalnya pada semester pertama tahun ajaran 2013/2014.

Saat itu masuk seorang siswa pindahan bernama Nodi Jikwa di kelas V. Ketika turun dana Bantuan Siswa Miskin dari pemerintah, nama Nodi belum terdaftar sebagai murid di Skanto karena datanya masih tertahan di sekolah lama. Orang tua Nodi, Nopen Jikwa, datang ke sekolah marah-marah menuntut jatah BSM sembari membawa parang. Nopen sulit diajak bicara karena tuli.

“Itu bisa terjadi karena kepala sekolah di sini tidak berkoordinasi dengan kepala sekolah yang lama di Arso 13. Akhirnya saat itu guru-guru ditahan di sekolah tidak boleh pulang sampai sore. Lalu polisi datang dan mendamaikan. Kepala sekolah juga berjanji segera mengurus penyelesaiannya,” kata Andi.

Pada Februari 2014 datanglah Amin Makmur ke Skanto. Amin salah satu dari 12 peserta program Relawan Guru Sobat Bumi bentukan Pertamina Foundation yang bertugas mengajar di Papua selama 9 bulan. Awalnya Amin ditempatkan di Kampung Usku, Distrik Senggi, pada Oktober 2013.

Pada awal 2014 muncul konflik antara masyarakat dan dewan guru di SD Negeri Usku. Konflik dipicu kejadian setahun sebelumnya. Pada Januari 2013 guru kontrak bernama Niko tidak diperpanjang masa tugasnya oleh Pemerintah Kabupaten Keerom. Itu terjadi karena Niko memiliki gelar sarjana agama, bukan sarjana pendidikan yang dibutuhkan sebagai syarat utama mengajar SD.

Selain Niko, ada Didi dan Indah sebagai rekan guru dan Suwardi, sang kepala sekolah. Seluruhnya adalah muslim, kecuali Niko. Karena itu, muncul isu bahwa Suwardi hanya memperjuangkan guru-guru pendatang beragama Islam. Belum lagi gaji Didi dan Indah belum turun selama 6 bulan hingga akhirnya mereka mundur dari sekolah pada Januari 2014. Desas-desus kembali berkembang bahwa dana yang ada diambil oleh kepala sekolah. Pada bulan itu Amin sempat mengajar sendirian di kelas I – VI SD.

Puncaknya terjadi pada Februari. Warga bersama-sama memboikot sekolah dengan memalang pintu. Amin pun diminta berhenti mengajar. Amin dan Suwardi menemui Dinas Pendidikan dan Pengajaran Keerom untuk berdiskusi soal masalah itu. Dinas Pendidikan dan Pengajaran merasa kondisi Usku tidak kondusif karena isu agama yang berkembang kuat. Amin dilarang kembali dan dipindahtugaskan dari Usku ke Skanto.

Setelah Amin masuk menjadi guru di Skanto masalah kembali terjadi dengan Nopen. Anaknya, Nodi, pindah ke Skanto karena tidak naik kelas di sekolah lama. Namun, Nopen tetap menuntut agar Nodi bisa mengikuti ujian nasional pada akhir tahun ajaran, walau statusnya merupakan siswa kelas V.

“Kejadiannya hari Kamis pada minggu kedua Mei 2014. Dia datang, lalu kepala sekolah bilang anaknya tidak bisa ikut ujian nasional karena baru kelas V. Kelengkapan untuk ikut ujian juga belum ada. Lalu dia tidak terima. Dia ambil dan bawa pulang gembok ruang kelas sekolah, lalu menyuruh kepala sekolah memanggil kepala dinas datang besoknya,” kata Amin.

Pada Jumat pukul 07.00 Nopen kembali datang membawa lima teman dari suku Wamena. Mereka membawa parang dan jubi (senjata untuk berburu, khas Papua). Para siswa pun bubar karena ketakutan melihat mereka marah-marah. Amin dan guru-guru lain memanggil kembali anak-anak tersebut agar segera masuk ke kelas. Nopen dan kawan-kawan semakin marah. Kepala sekolah dan guru-guru bersembunyi di dalam kelas bersama anak-anak.

Mau tidak mau, kesepakatan dibuat oleh kepala sekolah untuk mendamaikan. Nodi boleh mengikuti ujian nasional. “Kita jadinya merasa dibodohi karena mengikuti kemauan mereka. Kita sudah punya aturan. Kita juga punya kasih sayang untuk anak-anak, tapi kenapa orang tuanya justru bersikap seperti itu,” ujar Amin.

Hal senada diungkapkan Andi. Menurut dia, sulit mengembangkan pendidikan di Skanto. Bila berlaku tegas pada anak, orang tua akan mengamuk. Bila berlaku halus, anak-anak justru melonjak dan mengejek para guru. Jam sekolah pun bergantung pada kemauan siswa. Saat anak murid bosan atau lapar, mereka akan pulang begitu saja tanpa mengacuhkan guru.

Tak banyak yang bisa dilakukan jika parang yang berbicara. Dan itu tak hanya terjadi di Skanto. Sesungguhnya gesekan antara pendatang dan pribumi di Papua terjadi sejak lama. Salah satunya melibatkan gerakan Organisasi Papua Merdeka.

OPM diperkirakan berdiri sejak 1965. Sesuai namanya, gerakan ini bertujuan melepaskan Papua dari pemerintahan Indonesia.

Pada 1984 pasukan OPM melancarkan serangan ke Jayapura, ibu kota provinsi yang justru penghuninya kebanyakan pendatang dari luar Papua. Aksi ini dapat diredam pasukan militer Indonesia.

OPM juga secara terang-terangan menunjukkan ketidaksukaan pada PT Freeport Indonesia, perusahaan penambangan yang resmi beroperasi di Timika, Papua, sejak 1967. Keuntungan yang diraih Freeport dan para petingginya memang berbanding terbalik dengan kesejahteraan penduduk Timika pada umumnya. Padahal, banyak warga bekerja sebagai karyawan ataupun kontraktor di perusahaan tersebut.

Sabotase terhadap operasi Freeport oleh OPM berlangsung sejak 1970-an. Pada April 1986 anggota OPM diperkirakan menjadi dalang perusakan jalur pipa, sistem sanitasi, dan pemotongan kabel listrik Freeport. Beberapa serangan terhadap teknisi Freeport juga terjadi hingga didatangkan polisi dan militer Indonesia.

Pada Oktober 2011 Ketua Federasi Serikat Pekerja BUMN Bersatu Arif Poyuono meminta pemerintah segera bertindak menyelesaikan cekcok antara manajemen Freeport dan pekerja. Manajemen juga didesak untuk membangun hubungan kerja yang baik dengan para pekerja.

“Manajemen Freeport harus lebih bijaksana dalam menjalin hubungan industrial dengan pekerjanya. Dialog sosial dan komunikasi yang intensif antara pengurus serikat pekerja dan manajemen harus dibangun, sehingga manajemen dan pekerja dapat bekerja sama dengan baik,” kata Arif dalam rilis untuk media.

Martin Luther King Jr pernah berujar, “Kerusuhan adalah bahasa orang-orang yang tak terdengar.”

Terkait masalah di Papua, jalan tengah rasanya baru bisa didapat bila seluruh pihak membuka mata dan telinga serta duduk bersama tanpa membawa senjata. Bila tidak, paguyuban Persatuan Nusantara di Keerom akan terus ada sebagai basis pertahanan dan penyerangan para pendatang, bukan untuk menjalin semangat kekeluargaan di tengah perbedaan.

***

Catatan
1. Tulisan ini pertama dimuat di majalah GeoTimes edisi 2 Februari 2015.

Bagikan

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Scroll to Top